• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asap di Liliboo

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 93-98)

Asap di Lilibooi | 65

Samuel Hetharion (46) dan beberapa rekannya anggota Kelompok Tani ‘Spirit’ Negeri Lilibooi, Leihitu Barat, Maluku Tengah, bahu-membahu mengasapi cengkeh agar terhindar dari hama.

Hari itu, Sabtu, awal September 2013. Tak berapa lama asap tebal segera mengepul menyelimuti pokok-pokok cengkeh dan bermacam tanaman berbatang keras di lahan tersebut. Begitulah pencegahan hama cengkeh yang dilakukan Samuel dan rekan-rekannya selama ini. Samuel adalah Ketua Kelompok Tani ‘Spirit’, Desa Lilibooi,

Kecamatan Leihitu Barat, Maluku Tengah. Ia membeberkan, setidaknya ada lima jenis hama yang berdasarkan pengalamannya mengganggu pertumbuhan cengkeh yang --tentu saja berdampak pada petani-- yaitu: ulat, kanker batang, benalu, kering pucuk, dan semut lasai (semut hitam dengan gigitan yang menyengat).

“Ada yang bilang kalau semut lasai itu kencingnya panas dan bisa mematikan cengkeh. Semut itu gigitannya sakit, jadi mempersulit pemanenan. Karena semut itu bersarangnya di pohon, bukan semut yang biasa kita lihat di tanah… Pengasapan ini fungsinya banyak. Selain mengusir hama, termasuk babi hutan, asap juga menandakan kalau ada orang di kebun --karena kebun-kebun cengkeh ‘kan biasanya di hutan. Jadi kita bisa saling menyapa,” terang Sammy, panggilan akrab Samuel.

Pengasapan yang biasa dilakukan petani dari pagi sampai sore itu adalah untuk melindungi empat jenis cengkeh yang ada di Desa Lilibooi: [1] Tuni, tumbuhan endemik gugusan Kepulauan Maluku yang kemudian menghasilkan dua jenis cengkeh lainnya yaitu [2] Si Kotok (buah matangnya butuh sekisar sebulan berubah menjadi merah) dan [3] Si Ambon (nyaris serupa dengan Si Kotok, bedanya hanya pada biji yang hijau kekuningan), serta [4] Zanzibar. Di kawasan lain seperti Desa Mamala, tumbuh banyak [5] Cengkeh Hutan dan [6] Cengkeh Raja karena buah dan daunnya lebih besar. Jenis-jenis cengkeh itu bisa dibedakan dari jauh. Bila anda melihat pohon cengkeh dengan pucuk berwarna hijau muda bisa dipastikan itu adalah Cengkeh Tuni, berbeda dengan Cengkeh Zanzibar yang daun- daun barunya selalu merah muda. Bila pohon itu belum berbuah, bisa kita bedakan dengan melihat daunnya --Tuni berdaun lebih ramping, sedang Zanzibar lebih lebar. Kalau sudah berbuah, cukup perhatikan jumlah buahnya. Jumlah buah Zanzibar lebih rimbun, bisa mencapai 60 buah per tangkai; sedang Tuni lebih jarang, tak lebih 10 buah per tangkai.

Harga setiap kilogram kedua jenis ini sama saja. Tapi soal daya tahan, Tuni jagonya. Konon, petani bisa menyimpannya sampai tiga tahun.

A N D Y S E N O A JI

Tuni, kata Sammy, lebih padat; sementara Zanzibar lebih berongga, karena itu lebih ringan. “Kalau kita panen Tuni satu kilo, susutnya hanya seperempat kalau sudah kering. Zanzibar, karena lebih berongga, susutnya sampai seperlima,” kata Sammy, “Tapi, kalau mau kaya, ya tanam Zanzibar,” imbuhnya, tertawa.

Meski tertawa, Sammy tampak serius dengan ucapannya. Karena, kata suami Nuri Widyawati ini melanjutkan, Zanzibar lebih memudahkan dipanen karena dahan-dahannya lentur dan bisa ditarik bila berada di luar jangkauan tangan, tidak sekaku Tuni yang mengharuskan para

Asap di Lilibooi | 67

Bibit cengkeh dan pala hasil budidaya Kelompok Tani ‘Spirit’ di belakang rumah salah seorang anggotanya, yang kini menjadi langganan Dinas Pertanian Maluku mengambil bibit.

pemanen memakai alat bantu seperti tangga atau memotong atau mematahkan dahannya.

Negeri Lilibooi berada di bagian barat-selatan jazirah utara pulau yang juga dikenal sebagai Jazirah Hitu. Jarakanya sekitar 45 kilometer dari pusat Kota Ambon. Negeri ini dihuni sekisar 400 keluarga, mayoritas beragama Kristen. Lilibooi menghasilkan banyak hasil bumi, seperti cengkeh, pala, durian, langsat, dan nenas. Sammy menaksir, negeri kelahirannya itu setiap musim cengkeh mampu menghasilkan tidak kurang 30 ton cengkeh.

Samuel bersama beberapa tetangga dan kawan sekampung mendirikan Kelompok Tani ‘Spirit’ pada tahun 2011 lalu. Mereka membuat persemaian bibit cengkeh dan pala di halaman rumah salah seorang anggotanya, dengan daya tampung sekisar 7.000 tunas bibit. Sementara dalam kerja luar-lahan, Sammy dan rekan-rekannya membentuk dan memperkuat jaringan yang memperkuat 36 keluarga yang bergabung dalam organisasi mereka.

Kerja pembibitan itu sudah mendapat sertifikasi dari Pemerintah Provinsi Maluku. Sebagaimana layaknya perusahaan yang memproduksi barang-barang, bibit semaian kelompok tani ini

dianggap layak dipakai dalam program pemerintah semisal pengadaan bibit untuk petani di daerah tertentu.

Cara memperoleh sertifikat cukup berliku. Samuel dan rekan mengajukan kelompok mereka ke Dinas Pertanian. Petugas Dinas tersebut kemudian meninjau lahan dan blok penghasil tinggi (sumber bibit unggul dan dapat dipercaya). Bagian terakhir ini mensyaratkan hal utama seperti bibit unggul harus didapatkan dari pohon cengkeh yang berumur sekurangnya 30 tahun dan berbuah besar.

Kelompok ini juga sedang merintis sertifikasi internasional, terutama perdagangan pala, bekerjasama dengan Rainforest Alliance,

Pemerintah Provinsi Maluku, dan BM Uniproducts BV, perusahaan perdagangan yang berpusat di Belanda. Sudah satu setengah tahun terakhir Samuel dan rekannya bolak-balik ke Ambon demi mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan sebagai rangkaian sertifikasi

tersebut. Ia berharap, setelah dua tahun mengikuti pelatihan, sertifikat sudah keluar untuk mereka.

Sertifikasi itu juga mencakup tentang lahan. Hanya sertifikasi internasional ini mengharuskan lahan yang mereka pakai adalah lahan yang tidak pernah disentuh oleh pupuk. “Kalau ini sih saya yakin sekali. Tanah di sini, tanaman yang ada di Lilibooi, memang tidak pernah dipupuk. Buang begitu saja sudah bisa tumbuh. Tanah di sini sangat subur,” tanggap Sammy, menegaskan.

Jaringan ini, terang Sammy, dibuat untuk memotong beberapa titik yang ia dan rekan-rekannya duga mempermainkan harga, seperti tengkulak, agen, dan lainnya. Keyakinannya itu sampai ia tularkan pada anak sulungnya, Risye, yang kini sedang kuliah di Jurusan Agribisnis. “Saya bilang sama dia ‘ambil jurusan itu, jangan orientasi jadi pegawai negeri, tapi jadi petani karena petani di sini bisa kaya’.”

Sammy mengatakan itu lantaran geram mengikuti perkembangan harga cengkeh yang selama ini seolah-olah dikendalikan oleh pihak tertentu. Dari terjunnnya harga cengkeh masa BPPC sampai harga per kilogram mutakhir, menjelang panen di Desa Lilibooi. Ia memberi gambaran, pada 2011 harga cengkeh mencapai Rp 200.000 per kilogram, tapi harga sekarang ‘cuma’ Rp 120.000 per kilogram. “Mengapa harga itu bisa berbeda? Sementara kebutuhan di dalam negeri maupun luar negeri masih sangat besar. Menurut informasi terakhir, pala di Pasar Eropa dihargai 2,5 Euro per 3 biji. Kenapa justru di sini malah turun—sekarang harganya cuma Rp 60.000 per kilo? Padahal juga sempat sampai Rp 100.000 lebih per kilo?” tanyanya.

Mungkin itu pertanyaan pertama yang dilontarkan Sammy hari itu, ketika mendung menggayut lagi di atas Lilibooi, tiga pekan menjelang panen raya petani setempat. v

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 93-98)