• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah La Baratang

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 58-64)

T

idak mudah mencapai rumah La Baratang di Kampung Buntu Sawa, Desa Binturu, Kecamatan Larompong, Kabupaten Luwu. Selain harus naik turun bukit selama kurang lebih lima kilometer dari pusat desa, jalanannya pun belum beraspal. Debu mengepul di bagian yang tidak berkerikil. Tetapi, masih beruntung jika menempuh jalan dalam cuaca yang cerah. Jika hujan, medan menjadi berlumpur. Sejauh mata memandang, pohon cengkeh berjajar rapi. Dan, selama musim cengkeh --antara bulan Juni sampai September-- kita akan sering berpapasan dengan motor dan mobil yang mengangkut berkarung- karung cengkeh. Di beberapa bagian pinggir jalan, cengkeh dijemur

di atas terpal. Kita juga akan mendapatkan orang-orang meniti tangga bambu untuk memetik cengkeh.

Kita akan tiba di rumah La Baratang dalam waktu tempuh berkendara sekitar satu setengah jam. Rumahnya adalah rumah panggung. Luasnya sekira 10 x 15 meter, berlantai tiga. Lantai pertama berupa kolong tempat mobil dan motor terparkir. Lantai dua punya empat kamar dan

Seorang pekerja tengah mengeringkan buah cengkeh di atas rumah panggung La Baratang. Atap rumah didesain khusus dengan papan agar kuat dan dapat digunakan mengeringkan cengkeh.

MUHAMMAD IMRAN

satu musallah. Lantai tiga, sepertiganya adalah ruangan yang luas, sisanya adalah atap yang sekaligus tempat penjemuran cengkeh. Malam hari adalah malam yang ramai dan riuh. Hasil petik cengkeh sepanjang hari akan dipatahkan buahnya dari tangkai pada malam hari. Bayangkan saja, sekitar 180 orang memadati ruangan. Dua sampai lima orang mengelilingi satu tumpukan cengkeh yang siap dipatahkan buahnya (mappunnuk). Canda-gurau terkadang memecah ruangan. Pada minggu kedua September, para pematah buah cengkeh itu mulai berkurang. Ini seturut dengan buah cengkeh yang juga mulai berkurang. Lalu dari mana para pemetik dan pematah buah cengkeh itu datang? Berapa pohon yang mereka petik? Siapa pemilik cengkeh yang mereka petik?

Para pemetik yang banyak itu tidak berasal dari Kabupaten Luwu saja. Mereka datang dari berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan. Khususnya sebagian besar berasal dari Kabupaten Soppeng. Ada juga dari provinsi lain seperti Sulawesi Barat dan Tengah. Kedatangan mereka juga tidak serentak, tapi bergelombang. Satu gelombang pergi, satu gelombang lagi datang. Ada yang bertahan seminggu, ada juga yang bertahan sampai tiga bulan.

Ada pekerja yang datang sendiri, diajak teman-temannya, ada juga yang diajak keluarga pemilik lahan pohon cengkeh. Ada yang datang membawa suami, istri dan anak, ada juga yang datang bersama teman- temannya. Tidak semua adalah orang tua dan berpengalaman. Banyak juga dari mereka adalah anak muda yang tamat sekolah menengah atas dan belum berpengalaman. Hal ini tentu saja berpengaruh kepada

La Baratang [berpeci], pemilik lebih dari dua bukit cengkeh di Buntu Sawa, Desa Binturu, Larompong. jumlah buah cengkeh yang mereka bisa petik.

Karena mereka datang dari berbagai tempat dan berbagai etnis di Sulawesi, jam makan kadang juga diatur berdasarkan kelompok etnisnya. Waktu makan tidak sekaligus. Tetapi bertahap. Nah, agar teratur dan rapi, sudah ditentukan siapa yang mendapat jatah makan terlebih dahulu. Di sinilah identifikasi kelompok etnis atau daerah dilakukan. “Kelompok Mandar, waktunya makan!” begitulah perintah yang datang.

Pihak keluarga pemilik lahan biasanya bertugas sebagai tukang catat, meski mereka

R E P R O F O T O K E L U A R G A

Kisah La Baratang | 33 sesekali ikut bersama para pekerja untuk membantu mematahkan bunga cengkeh. Setiap kali ada pekerja yang tuntas mematahkan bunga cengkeh hasil petikannya hari itu, maka dengan sigap tukang catat membawa satu karung, satu buku, dan pulpen. Ia akan menakar berapa liter yang didapatkan.

Pekerja itu dibayar Rp 3.500 per liter. Itu pun biasanya bisa naik sampai Rp 4.000 per liter. Ini tergantung pada harga cengkeh di pasaran. Askar (23), berkata, itu dilakukan untuk memotivasi para pekerja. Askar sendiri adalah anak muda asal Soppeng. Sejak lulus sekolah menengah atas, ia empat tahun menjadi pemetik cengkeh di Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Tahun 2013 ini adalah tahun pertamanya memetik cengkeh di Buntu Sawa. Ia sudah satu bulan memetik cengkeh.

Kemampuan para pekerja memetik cengkeh bisa sampai 50 liter sehari. Seorang perempuan asal Kendari yang baru seminggu lebih menjadi pemetik cengkeh, sejak awal September, bisa mendapatkan sampai 50 liter sehari.

Pekerja yang paling banyak berasal dari Soppeng, khususnya dari Takkalala. Mengapa demikian? Karena pemilik lahan cengkeh adalah orang Soppeng. Namanya La Baratang. Para pekerja ini, selain ada yang datang sendiri, juga dijemput dari daerah asalnya. Bus penjemput adalah milik pemilik lahan. Yang datang sendiri, akan digantikan ongkos perjalanannya. Jika mereka pulang dalam jumlah banyak, akan diantar sampai rumah mereka.

***

Mencari rumah La Baratang bisa dipastikan sangat mudah. Betapa tidak, setiap orang yang tinggal di Buntu Sawa --bahkan juga di desa-desa tetangganya-- akan langsung menunjuk ke balik bukit jika ditanyakan di mana alamat rumah petani cengkeh itu.

La Baratang adalah pemilik lahan cengkeh yang lahannya semakin luas. Jhon, salah seorang menantu La Baratang, mengatakan bahwa keluarga mereka sama sekali tak tahu berapa luas lahan cengkeh milik mertuanya. “Kami sebagai keluarga sama sekali tak pernah tahu persis berapa luas lahan cengkeh milik bapak. Yang kami tahu berapa bukit lahan cengkeh miliknya,” tutur Jhon sambil tertawa.

Jhon berkisah, awalnya La Baratang adalah ‘preman’. Ia pernah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Soppeng. Ia memutuskan

lari. Hutan yang kini jadi lahan cengkehnya, dulunya adalah tempat persembunyiannya bersama teman-temannya. “Satu per satu temannya pergi karena tak tahan tinggal di hutan. Jadi La Baratang bersama sedikit temannya mulai membuka hutan,” tutur Jhon.

La Baratang kemudian mulai menjadi buah pembicaraan pada tahun 1993. Masa itu Soeharto masih berkuasa. La Baratang lalu dikenal sebagai petani yang berani protes satu kebijakan yang bernama Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang pertama kali diberlakukan pada 1992. Salah satu aturan dalam kebijakan ini adalah mewajibkan petani cengkeh untuk menjual hasil cengkeh mereka hanya lewat koperasi.

Efek dari kebijakan ini salah satunya adalah jatuhnya harga cengkeh secara drastis. La Baratang terkena dampaknya. Selain itu, uang petani yang tersimpan dalam koperasi tak pernah kembali, hingga BPPC bubar pada 1998. Petani menjerit. Mereka kemudian menanggapi keadaan itu dengan menebang pohon cengkeh mereka. La Baratang memilih jalan lain. Ia melakukan protes, mulai mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Soppeng dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar. Bahkan, sampai ke Jakarta menemui Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di DPR-RI. Keberaniannya memprotes kebijakan yang akhirnya menyeret

beberapa nama penting --seperti Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, dan Nurdin Halid dari Induk Koperasi Unit Desa (INKUD)-- membuat ia dihargai dan disegani. Pada salah satu sudut di dinding musallah rumahnya, terpajang satu sertifikat bertarikh 2001. Di sana dikatakan: “Penghargaan dan dukungan moral ini diberikan kepada anggota masyarakat yang memiliki dedikasi dan secara konsisten menunjukkan keberanian untuk menjadi saksi, pelapor, dan pembela kepentingan rakyat” --Lokakarya Nasional Anti Korupsi.

Meskipun demikian, La Baratang sendiri dirundung kekecewaan. Akibat kebijakan itu, La Baratang rela membuntungi lengan kanannya dengan parang. Sebab inilah La Baratang semakin ‘melegenda’.

***

Kini yang bertanggung-jawab dan mengelola lahan milik La Baratang adalah istri dan anak-anaknya. Merekalah yang mengorganisir para pekerja, memastikan semua pekerjaan tuntas. Anak La Baratang ada tiga orang. Menantu-menantunya juga ikut membantu.

Kisah La Baratang | 35 Jhon adalah menantu La Baratang yang punya peran penting dalam usaha cengkeh ini. Dialah yang merintis pengerjaan jalan dari pusat desa sampai rumah La Baratang. Ia bisa mengoperasikan eskavator. Jalan yang ia rintis itulah yang menjadi jalan utama yang dilalui banyak warga masyarakat di dusun Buntu Sawa. Berkat perintisan jalan ini, pengangkutan hasil cengkeh bisa dengan mudah diangkut menggunakan mobil.

Usaha cengkeh La Baratang terus meningkat. Tahun 2013, La Baratang membeli tiga bus untuk mengangkut para pekerjanya. Dua mobil hardtop sebelumnya sudah dimiliki untuk mengangkut hasil cengkeh. Jhon berkata, rencana ke depan akan membeli oven besar khusus pengering cengkeh.

La Baratang kini berusia 63 tahun. Usahanya selama ini

mengembangkan tanaman cengkeh mulai dinikmati oleh anak dan cucu-cucunya. Ia sendiri barangkali butuh sejenak beristirahat, dan menyelami sisi spiritualitas dalam jiwanya. Mungkin karena itulah, sejak Juni 2013. ia berkeliling ke beberapa negar. Salah seorang anak perempuannya, Nini, berkata, “saat ini (September) bapak berada di Uni Soviet. Sebelumnya sudah mengunjungi Pakistan.”

La Baratang berangkat ke beberapa negara tersebut bersama satu kelompok keagamaan yang cukup sohor di Indonesia. Kata salah satu anaknya, ia berkeliling untuk berdakwah.v

Pekerja di lahan cengkeh La Baratang sedang mematahkan buah cengkeh dari tangkai. Ketika foto ini diambil pada September 2013 jumlah pekerja hanya berkisar 30 orang seiring berkurangnya buah cengkeh. Pada puncak panen, Juli dan Agustus, pekerja seperti ini bisa mencapai 180 orang. M U H A M M A D I M R A N

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 58-64)