• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lewat Usia

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 48-54)

Empat Dasawarsa

T

ahun ini adalah usia empat puluh satu bagi tanaman cengkeh di Desa Kompang, di dataran tinggi Sinjai, Sulawesi Selatan. Perjalanan usia yang cukup panjang itu tentu saja tak mulus. Kedatangan tanaman penting primadona Indonesia ini awalnya tak cukup

Tak hanya itu, bertahun-tahun kemudian tanaman ini terjebak dalam masalah tata-niaga dan budidaya. Meski begitu, cengkeh menjadi penanda penting bagi perubahan sosial-ekonomi di Kompang. Pak Hodde (77) adalah salah satu yang paling bisa menjelaskan perjalanan cengkeh di Desa Kompang. Bagaimana tidak, ia adalah Kepala Desa saat bibit cengkeh itu datang. Ia menjelaskan, bibit cengkeh pertama yang datang ke Desa Kompang berasal dari Bogor, pada tahun 1972. Bibit itu sendiri disalurkan oleh Dinas Pertanian.

Bentang alam Desa Kompang, Sinjai. Di latar belakang adalah perbukitan hijau hasil reboisasi tahun 1970-an yang dulu ditanami pepohonan pinus, kemudian cokelat pada tahun 1980-an. Kini, warga setempat mengganggap keduanya tidak menguntungkan dan bersiap menggantinya dengan cengkeh (tampak sebelah kanan).

ARMIN HARI

Bibitnya, dalam bentuk biji yang disimpan dalam peti-peti, dibagikan masing-masing satu peti ke setiap desa, merata di kecamatan di Sinjai Tengah, termasuk Desa Kompang. “Sejak dibagikan ke tahun 1972 tersebut, itu untuk pertama kali warga Kompang mendengar nama tumbuhan cengkeh,” jelas Pak Hodde.

Akan tetapi, warga desa tidak merespons baik pembagian bibit ini. “Hanya beberapa saja yang mau menanam. Bisa dihitung jari,” lanjut Pak Hodde. Mereka yang ‘bisa dihitung jari’ itu antara lain Pak Asikin dan Pak Bahar. Pak Asikin adalah petani yang terbiasa merantau. Sepulang dari merantau di Mangkutana, Luwu Utara, ia segera mengusulkan ke Pak Hodde untuk mengusahakan penanaman cengkeh di desa Kompang. Kala itu, Pak Asikin masih anak muda yang bergelora. Mungkin terinspirasi dari amatannya di tempat perantauan yang penuh dengan cengkeh, ia dengan semangat hendak mengusahakan penanaman cengkeh di desa kelahirannya. Kebetulan Pak Asikin kerap kali berkumpul bersama belasan orang—salah satunya adalah Pak Bahar—di malam-malam yang dingin. Ia gulirkan niat itu. Dari sanalah kemudian niat itu mencapai kata sepakat.

Maka mulailah Pak Asikin dan Pak Bahar menanam cengkeh pada tahun 1974. Ada juga petani lain yang ikut, meski segelintir. Pak Bahar kemudian mengusahakan sendiri pengadaan bibit. Puang Baha, panggilannya sehari-hari, nyaris tiap minggu mengambil bibit di kota Makassar. Pada masa itu, jalan desa ke kota kabupaten, Sinjai, masih berupa pengerasan. Jadi untuk sampai ke kota, Puang Baha harus menumpang truk yang lewat. Di kota, baru kemudian ia naik bus ke Makassar.

Bibit yang dibawa Pak Bahar dari Makassar kemudian dibagikan ke warga yang mau menanam. Tetapi, sebagian besar belum juga tergoda untuk menanam. Salah satu yang awalnya meremehkan adalah Pak Hasan. “Ah, tanaman apa itu?” katanya dengan nada meremehkan. Tak urung, ia ambil juga bibit itu dan menanam di lahannya seluas 2 hektar.

***

Kompang adalah satu desa perbukitan. Luas wilayahnya 14,23 km². Dari Makassar, desa pada ketinggian 400-700 m di atas permukaan laut itu bisa dicapai melalui tiga jalur berbeda dengan jarak beragam, mulai dari 160 km sampai 250 km.

Tahun-tahun sebelum cengkeh datang, sebagian besar wilayah desa ditanami jagung, ubi dan kemiri. Jagung adalah bahan pangan sehari- hari. Setelah program pemerintah dengan penanaman kakao dan cengkeh sebagai tanaman produksi serta pohon pinus sebagai proyek reboisasi hutan, masyarakat setempat mulai mengalami perubahan budaya, sosial, ekonomi politik, dan ekologis secara besar-besaran. Perubahan besar-besaran itu mulai tampak saat cengkeh yang ditanam pada 1974 berproduksi pada awal1980-an. Pak Hodde, Pak Asikin, Pak Bahar, Pak Hasan, dan beberapa yang ikut menanam cengkeh, mulai merasakan manfaat ekonomisnya. Sebagian besar warga yang lain yang awalnya tak ikut menanam kemudian mulai tertarik untuk menanam.

Ketertarikan mereka disebabkan tersiarnya kabar harga cengkeh melangit. Kabar itu salah satu sumbernya dari Pak Hodde. Ia memiliki radio --barang langka di desa kala itu. Dari sanalah ia mencari berita- berita soal harga cengkeh. Pak Hodde memang sudah berprofesi sebagai pedagang sebelum menjadi Kepala Desa. Profesi pedagang ini membuatnya menguasai cukup banyak informasi. Ia sering ke Makassar atau ke kota-kota besar di Indonesia dalam urusan dagang. Padahal saat itu akses jalan sangat susah.

Beberapa orang dari desa tetangga yang juga menanam cengkeh mulai mempromosikan pentingnya menanam cengkeh. Pak Asikin mengenang, ada orang dari Desa Pattongko, desa tetangga di sebelah timur, yang datang mempromosikan keuntungan menanam cengkeh. Namanya Puang Cannai. “Coba lihat rumahku. Sekarang sudah beratap seng. Itu semua karena cengkeh,” kata Pak Asikin meniru Puang Cannai. Memang, menurut Pak Asikin, warga desa sebelum cengkeh berproduksi, hidup dalam gubuk-gubuk beratap rumbia. Pak Hodde juga senada dengan Puang Cannai. Menurutnya, harga cengkeh pada waktu itu mahal. Ia menjelaskan, satu liter cengkeh itu setara dengan lima liter beras. Perbandingan ini dibuat untuk menjelaskan betapa cengkeh itu bernilai. Ia juga menambahkan, “satu karung cengkeh basah itu setara dengan satu sepeda motor. Bayangkan, motor saya seharga Rp 120.000 saat itu. Untuk dapat harga segitu, cukup dengan satu karung besar cengkeh basah. Sekarang mana bisa?” kata Pak Hodde.

Pak Asikin, Pak Bahar, dan Pak Hasan, juga merasakan manfaat yang sama. Mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup karena cengkeh.

Anak-anak mereka akhirnya bisa sekolah juga berkat cengkeh. Setelah ditanam secara massal, cengkeh memberi berkah melimpah yang sebelumnya tak dirasakan warga.

Warga Desa Kompang kini cukup bergantung dengan cengkeh. Cengkeh tetap dipertahankan, meski harga kerap tak menentu. Titik sejarah penting terkait harga yang turun naik ini ada pada kurun 1990-an. Masa itu, rezim Orde Baru menerapkan peraturan yang mewajibkan petani menjual cengkeh mereka hanya kepada Koperasi Unit Desa (KUD). Peraturan itu sangat berbekas di ingatan warga Kompang. Akibat terburuknya. harga terperosok sampai Rp 250 per kilogram. “Tommy benar-benar menggerek leher kami,” kata Pak Asikin. Tommy yang disebut Pak Asikin adalah Tommy Soeharto, putra bungsu Presiden Soeharto yang ditunjuk oleh bapaknya sebagai Ketua Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Dialah yang dianggap bertanggung-jawab atas berlakunya peraturan tersebut.

Seorang petani di antara pohon-pohon cokelat yang ditebang karena rusak. Beberapa warga Kompang memilih menebang dan menggantinya dengan cengkeh.

Imbas dari harga yang mencekik petani itu, beberapa petani di Desa Kompang menebang pohon cengkeh mereka. Namun, mampu dicegah oleh beberapa orang, termasuk Pak Hodde, sehingga penebangan tidak terjadi secara massal, sebagaimana terjadi di beberapa desa tetangganya. “Jangan kalian tebang. Justru tanam lebih banyak. Nanti suatu saat Soeharto akan mati. Yakin saja, cengkeh yang kalian tanam harganya akan bagus lagi,” tutur Pak Hodde.

Meski begitu, tak urung beberapa warga mulai menanam tanaman lain di samping cengkeh. Maka tanaman cokelat diperbanyak. Rambutan dan sebagainya ditanam di sela-sela cengkeh. Cokelat perlahan menyaingi cengkeh sang primadona. Pemerintah, lewat Dinas Pertanian, sangat ambil peduli dengan tanaman baru ini. Penyuluhan rutin dilakukan. Seminar-seminar dilaksanakan dan mengundang para petani. Usaha-usaha yang tak pernah diberlakukan atas cengkeh.

Ternyata, masa emas cokelat pun tak bertahan lama. Menjelang akhir tahun 2000-an, tanaman itu perlahan mulai ‘sakit-sakitan’. Penyakit, seperti penggerek batang, mulai menyerangnya. Sekeras apapun

usaha pemerintah mengatasinya, tetap saja tak berhasil. Setidak-tidaknya, begitulah yang dirasakan warga Kompang. Pak Hasan mengatakan, sekarang sudah banyak petani Kompang yang menebang habis cokelat mereka. Cokelat kini nyaris tamat riwayatnya. Pak Hasan sendiri merencanakan perlahan-lahan akan mengganti seluruh pohon cokelatnya dengan cengkeh. “Tahun depan, semua cokelat saya akan saya ganti dengan cengkeh,” tegasnya.

September 2013 ini adalah puncak panen raya bagi Desa Kompang. Bunga-bunga cengkeh memang bukan yang terbaik dibanding bulan-bulan sebelumnya—khususnya Juli dan Agustus. Harganya sedikit turun, namun tidak drastis. Tetapi warga Kompang yakin, cengkeh akan tetap menjadi andalan dan primadona.

Cengkeh adalah tabungan masa depan mereka. v

M U H A M M A D I M R A N

M

asih jelas di ingatan Abbas Abdul Muis, saat ia menjadi pelaut di kapal pengangkut hasil bumi: cengkeh, kopra, dan cokelat. Kapal itu berlayar dari pelabuhan tua di kota Donggala menuju pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Saat itu tahun 1980-an, pengangkutan hasil bumi melalui jalur laut masih nomor satu.

Cengkeh

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 48-54)