• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pesona Gurabunga

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 194-200)

167

I

dealnya jalan naik ke ketinggian berkelok-kelok, seperti ulir sekrup. Meski lebih jauh tapi tidak menguras energi, tidak menyiksa

kendaraaan. Tapi prinsip itu sepertinya tak berlaku jika menuju Gurabunga, yang terletak di punggung puncak gunung tertinggi Pulau Tidore. Dari Kota Soasiu yang berada di pantai menuju Gurabunga, yang berada sekitar 700 meter di atas permukaan laut, jalan menanjak dengan kemiringan nyaris 45 derajat. Belokan tidak seberapa. Jika menggunakan motor, praktis hanya memainkan gigi satu dan dua. Meraung-raung.

Soasiu, ibukota Tidore Kepulauan, tampak di kejauhan dari kebun cengkeh Desa Gurabunga pada ketinggian 680 m di atas permukaan laut.

Kelurahan Gurabunga cukup asri. Berada di punggung gunung yang dikelilingi hutan. Sebagian besar hutan tersebut adalah pohon-pohon cengkeh tua. Tentu itu tak lepas dari keberadaannya di salah satu pulau asal tanaman cengkeh. Di tengah kampung terdapat lapangan bola, yang sehari-hari lebih banyak digunakan sebagai tempat penjemuran cengkeh penduduk setempat. Kala mendung atau malam, ada banyak batu bertebaran di permukaan lapangan. Batu yang digunakan sebagai pemberat tikar kala menjemur cengkeh.

Jalan utama yang melintasi Gurabunga menuju perkampungan lain hingga tembus ke sisi pulau yang lain di kiri kanannya banyak ditemukan pohon cengkeh dan pohon pala. September 2013, di Pulau Tidore adalah masa panen raya cengkeh. Banyak ditemukan kegiatan

Rangkaian kegiatan panen raya di Girabunga, September 2013: memetik cengkeh di atas pohon setinggi rerata 30 m (PALING KIRI); mengangkut hasil panen dari kebun ke rumah (KEDUA DARI KIRI); memisahkan buah cengkeh dari tangkainya (KEDUA DARI KANAN); dan menjemur buah- buah cengkeh di lapangan desa (PALING KANAN).

W A N A L IM U D D IN W A N A L IM U D D IN

pemetikan cengkeh: tenda-tenda atau pondok-pondok yang menjadi rumah sementara para pemetik cengkeh yang datang dari pulau lain, serta para pekerja yang memanggul karung berisi cengkeh.

Sekitar 50 meter sebelah selatan lapangan Gurabunga, satu pohon cengkeh yang umurnya sekitar 60 tahun dipanjati 11 orang sekaligus. Pohon tersebut dan sekitarnya milik Pak Anwar. Bersama anaknya, Ipul, ia mengawasi pemetikan cengkeh serta membantu mengirim logistik ke atas pohon. “Pohonnya cukup besar, para pemetik lebih memilih makan di atas pohon dari pada naik turun,” terang Pak Anwar sesaat setelah mengirim beberapa nasi bungkus ke atas pohon. Caranya, nasi bungkus tersebut dimasukkan ke dalam karung yang juga digunakan menurunkan cengkeh yang telah dipetik di atas pohon. “Cengkeh yang saya punyai ini salah satu yang tertua di sini. Yang sedang memetik di atas itu orang-orang Bacan. Kira-kira pohon ini bisa menghasilkan 50

kilogram cengkeh kering.

M . R ID W A N A L IM U D D IN Pesona Gurabunga | 169

Jadi nilainya hampir 10 juta bila harga cengkeh Rp 128.000 per kilo sebagaimana yang ada sekarang,” jelas Pak Anwar. Tambahnya, “Kami belum jual cengkeh, soalnya belum dipanen semua. Itu tradisi kami di sini.”

Informasi yang sama juga diberikan oleh sepasang suami isteri, Sehat Muhammad Zen (40) dan istrinya, Fatma (40). “Kami belum jual cengkeh yang kami panen. Nanti habis dipanen baru jual. Jika pun harga turun itu sudah resiko. Paling cepat bulan depan baru diadakan syukuran sekampung. Setelah itu baru bisa jual,” cerita Fatma. Alasan mengapa tidak menjual meski sudah banyak cengkeh kering adalah khawatir uang cepat habis.

Agar tetap memperoleh penghasilan di masa panen cengkeh, Bu Fatma membeli cengkeh mentah yang biasa dijual dalam ukuran cupa. “Tahun ini saya siapkan modal 3 juta untuk membeli cengkeh mentah sedikit- sedikit. Cengkeh itu kami jemur, setelah kering dijual. Biasanya dapat untung satu juta,” terang Fatma.

Sehat dan istrinya memiliki pohon cengkeh lebih 100 pohon. “Itu

Sepanjang jalan desa juga dihiasi hamparan terpal- terpal penuh buah cengkeh yang dikeringkan: pemandangan rutin sekali setahun di Gurubunga.

Pesona Gurabunga | 171 tidak banyak, soalnya sudah banyak yang kami potong. Di sini, kalau cengkeh terlalu besar, akan dipotong, soalnya susah dipanjat,” kata Bu Fatma. Suaminya menambahkan, “Tapi semenjak orang Ambon datang ke sini membawa metode baru, pohon cengkeh besar tak ditebang lagi. Dulu ‘kan orang sini panennya pakai bambu sebagai alat panjat agar cengkeh bisa dijangkau. Oleh orang Ambon caranya lain. Mereka menggunakan tali untuk menarik dahan-dahan cengkeh ke arah dalam. Dahan tersebut diikat. Nanti bunga cengkeh habis dipetik baru dilepas.”

Informasi yang dikemukakan oleh Pak Sehat sama dengan apa yang dilakukan pemetik cengkeh milik Pak Anwar. Di pohon yang di atasnya ada 11 orang pemetik tampak berseliweran tali laksana jaring laba-laba. Tali terentang kuat sebab menahan dahan cengkeh. Tali lintang melintang juga dijadikan sebagai alat pijak, kala memanjat dan saat memetik cengkeh.

“Metode orang Ambon itu hanya bisa digunakan untuk pohon cengkeh tua dan besar, kalau yang masih kecil tidak bisa sebab bisa-bisa dahannya patah. Jadi tetap pakai metode biasa,” kata Pak Sehat. Bila bunga cengkeh Pak Anwar dipetik oleh orang-orang Bacan, pohon milik Pak Sehat dipanjati orang Halmahera. “Pekerja saya empat orang, pakai sistem gaji harian. Ada juga yang pakai sistem ‘bagi tengah’. Biasanya itu lebih disukai pemanjat yang berasal dari tempat jauh, seperti Ambon, Bacan dan Gorontalo. Tapi sebenarnya itu tergantung juga pada pemilik pohon cengkeh. Pertimbangan lain, jika si pemilik tak ada yang membantunya, mereka terpaksa pakai metode bagi tengah. Tapi kalau ada yang bantu patah cengkeh dan jemur, pakai sistem gaji sebagaimana yang saya lakukan,” ungkap Pak Sehat. Menurut Fatma, cengkeh cepat kering tergantung ukurannya. Yang kecil bisa tiga hari, yang besar lima hari. Tapi kalau mendung, bisa sampai sepuluh hari. “Cengkeh yang tidak sempurna keringnya ada warna-warna putih, nilai jualnya rendah,” kata suami Fatma.

Bila cengkeh selesai dipanen, cengkeh dijual di desa itu juga. Sudah ada pembeli yang datang. Untuk membawa langsung ke Ternate tidak mereka lakukan, sebab butuh biaya transportasi. Menurut Pak Sehat, “Lagian kami tak punya jaringan pembeli cengkeh di Ternate, jadi dijual di sini saja. Sekarang harga cengkeh di sini Rp 127.000 per kilo. Adapun tangkainya Rp 6.000.”

Tahun lalu keluarga Pak Sehat berhasil memperoleh cengkeh kering 200 kilogram. “Tahun lalu harganya masih rendah, Rp 50.000 saja.

M . R ID W A N A L IM U D D IN

Paling rendah Rp 25.000, paling tinggi Rp 80.000,” cerita Bu Fatma. Pak Sehat menceritakan pengalaman masa kecilnya. “Orangtua dan kakek saya juga petani cengkeh. Waktu saya masih kecil, sudah ikut manjat. Dulu belum ada kendaraan untuk mengangkut cengkeh dari sini ke kota. Jadi kita jalan kaki, berangkat dini hari. Kalau kita panen masih menggunakan keranjang sebagai tempat penampungan. Pernah juga pakai kain yang digantung di depan perut. Sekarang pakai karung plastik. Untuk menjemur dulu menggunakan karung goni, karung yang biasa dipakai menampung kopra. Sekarang lebih enak, pakai terpal plastik. Jadi kalau cengkeh belum sempurna keringnya, tinggal digulung saja lalu dibawa ke rumah,” cerita Pak Sehat.

Hampir semua rumah tangga di Gurabunga kegiatannya sama kala panen raya cengkeh. Kaum lelaki dan para pekerja mulai melakukan kegiatan petik sekitar jam delapan pagi. Kegiatan tersebut baru berakhir menjelang jam lima sore.

Antara jam lima dan enam sore, satu per satu pemetik keluar dari hutan, berkumpul di sisi lapangan. Mereka membawa karung yang berisi cengkeh mentah serta batang besi sebagai alat kait ketika

Catatan pembukuan hasil penen raya cengkeh tahun 2013 ini milik salah seorang warga Gurabunga. Semua keluarga pemilik cengkeh di desa ini memiliki catatan pembukuan yang --meskipun sederhana-- namun cukup baik merekam volume panen setiap tahunnya.

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 194-200)