• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mobil Datsun Om Yan D ulu, akhir tahun 70-an, jual 250 kilogram cengkeh kita sudah

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 125-130)

bisa beli mobil Datsun. Kemudian di tahun 81, saya beli oto lagi setelah menjual 350 kg cengkeh. Sekarang, jual satu ton belum bisa. Nanti dua tiga ton baru bisa,” cerita Yan Kolinug (78) mengenai perbedaan nilai cengkeh dulu dan sekarang.

Yan Kolinug, bersama salah seorang putranya, Fery Kolinug (57), adalah sosok petani cengkeh di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, khususnya di daerah Wioi. Beberapa pemilik pohon atau kebun cengkeh di Wioi baru selesai panen. Di halaman, di teras, dan

di pinggoir jalan dekat rumahnya, terhampar cengkeh yang dijemur. Malah, di ruang tamu Yan Kolinug, lantainya ditutupi oleh cengkeh yang sedang diangin-anginkan.

Yon Kolinug beserta anaknya memiliki ratusan pohon cengkeh. Sebagian ditanam antara tahun 1950-an dan 1960-an. “Awalnya saya tanam tahun 1955, bibit saya ambil dari Teteran. Tapi banyak yang mati. Setelah peristiwa PERMESTA, saya tanam lagi hingga tahun 70- an,” kenang Om Yan.

Pada masa pemberontakan PERMESTA, kawasan Sulawesi Utara dan sekitarnya memang tidak aman. Beberapa perkampungan ditinggalkan. Banyak yang memilih bersembunyi di perkebunan cengkeh. Hanya saja, pemasaran tidak begitu lancar.

Saat situasi sudah aman pada tahun 1970-an, masa-masa kejayaan pun berlangsung. Selain membeli mobil, Yan Kolinug juga membeli tanah untuk kemudian menanaminya dengan cengkeh lagi. Harapannya, ketika makin banyak cengkeh ditanam, maka akan makin banyak uang diperoleh. Setidaknya, setelah beberapa tahun kemudian, ketika cengkeh yang ditanamnya telah berbunga. Namun, impian tersebut sirna di awal tahun 1990-an, ketika cengkeh-cengkeh yang ditanamnya telah berbunga. Kebijakan tata niaga cengkeh, yang dikenal dengan singkatan BPPC, diberlakukan.

Masih jelas dalam ingatan orangtua itu. “Tahun 1992, harga cengkeh anjlok. Pohon-pohon cengkeh tak terawat. Sebab terlantar, banyak yang diserang penyakit. Lama-lama banyak pohon yang mati. Agar tetap ada pendapatan, kami mengandalkan pohon kelapa untuk mendapatkan kopra,” ungkapnya dengan antusias.

Menurutnya, saat kebijakan BPPC, semua cengkeh harus dijual di koperasi. Selain harga rendah, juga tidak langsung mendapatkan bayaran ketika cengkeh dijual. Kadang, bila cengkeh ketahuan tidak berkualitas bagus (kadar air tinggi) pembayaran akan dipotong dan sering dibayar belakangan.

“Makanya kami sangat senang ketika BPPC dibubarkan. Pembeli banyak yang datang lagi. Beda di masa BPPC, susahnya bukan main,” komentar Fery Kolinug, putra sulang Om Yan yang mengikuti jejak

Hasil panen raya cengkeh di Wioi, Minahasa, Agustus-September 2013 ini, benar-benar melimpah sampai memenuhi bahkan ruang tamu rumah Om Yan Kolinug, sehingga untuk masuk ke

ayahnya sebagai petani cengkeh.

“Kami biasa panen pada bulan Juli sampai Agustus. Harga tidak stabil, biasa 130 atau 140.000 di Agustus. Sekarang malah 120.000-an. Harga sampai ratusan ribu mulai tahun 2000-an. Tahun lalu malah sampai 200.000 per kilo. Meski demikian, pada tahun lalu, pohon-pohon cengkeh yang saya panen tidak sampai 50 persen. Sekarang, setelah panen raya, hampir semua pohon cengkeh saya panen. Kira-kira 95 persen,” ungkap Yan Kolinug. “Jadi, walau harga tinggi tahun lalu, tahun ini jauh lebih untung sebab lebih banyak cengkeh yang dijual,” tambahnya.

Lama malang melintang dalam dunia cengkeh, Yan Kolinug memiliki banyak pengetahuan perihal cengkeh. “Banyak bunga cengkeh yang dipetik dipengaruhi oleh umur pohon. Yang masih muda paling dapat 10-an liter, tapi kalau yang tua rata-rata 70 - 80 kilogram, malah ada yang sampai 100 kilogram kalau pohon tua tersebut berukuran besar,” terangnya.

Perkiraan Om Yan, lima liter cengkeh basah itu bisa menghasilkan satu liter kering. Dua liter kering hampir setara dengan satu kilogram. Menurutnya, “Lebih diutamakan menjual yang kering. Tapi kalau membeli, lebih baik basah. Biasanya kalau yang beli buah harga di bawah. ‘Kan ada orang sini yang jual buah, petani-petani kecil.” “Selain kami dan pedagang lain di sini, yang beli cengkeh basah juga datang dari tempat lain, khususnya dari Kawangkoan. Dulu ada yang pakai sistem ijon, sekarang tidak ada lagi. Yang ada sekarang cuma jual buah langsung di pohon,” lanjutnya.

Yan Kolinug sekeluarga tahun ini menjual kurang lebih 3 ton cengkeh, baik dari hasil kebun sendiri maupun membeli dari petani lain. Sebagian masih dalam proses pengeringan, sebagian telah dijual. Untuk menjual cengkeh, anak Yan membawanya langsung ke Manado menggunakan mobil pick up. “Barusan kami membawa ke Manado sepuluh karung. Satu karung isinya berkisar 60 sampai 70 kilogram.” Tambahnya, “Kami membeli cengkeh bila ada modal. Jadi sebagian cengkeh yang kami jual itu adalah hasil kebun sendiri, yang jumlahnya lebih 500 pohon. Biasanya cengkeh dibawa ke Manado bila beratnya sekitar satu ton.”

Menurut Fery, menjual cengkeh langsung di Manado lebih

menguntungkan dari pada di Kawangkoan. “Kalau harga di Manado lebih tinggi, sekarang 135.000. Kalau Kawangkoan sama dengan harga

di sini, sekitar 127.000 saja. ‘Kan lumayan bedanya, sampai 8.000 per kilo. Di Manado, kami menjualnya di sekitar Pasar Ikan Calaca. Di dekat terminal juga ada. Yang bagus itu di Wannea dan Calaca. Pembeli di Manado, baik banyak maupun sedikit cengkeh yang dibawa ke sana, tetap dibeli. Tapi mereka suka kalau kami bawa banyak.”

Sebagaimana pemilik kebun yang memiliki banyak pohon cengkeh, keluarga Yan Kolinug juga menggunakan jasa buruh pemetik cengkeh. Bukan apa-apa, ratusan pohon cengkeh harus segera dipetik. Menurut Fery Kolinug, “Kami di sini pakai sistem bayaran. Satu liter cengkeh basah yang dipetik bayarannya Rp 5.000. Jadi kalau bisa petik 70 liter dalam satu hari, kan gajinya lebih Rp 200.000. Kalau pekerjanya rajin, akan banyak gaji yang dia peroleh. Pemetik cengkeh banyak yang dari Ratahan. Karena rumah mereka jauh, kala musim petik mereka tinggal di sini. Yang kerja sekarang ini hanya memetik sisa dari panen raya. Sebab harus selesai, bayarannya juga tinggi. Hasil petik rata-rata 30 - 40 liter saja per orang.”

Keluarga Kolinug juga menjual tangkai cengkeh yang turut serta saat cengkeh dipetik. Ketika selesai dipetik atau sebelum dikeringkan, antara tangkai dan bunga dipisahkan. Istilahnya ‘pata cingkeh’. Kata Om Yan, “Di sini harga tangkai kering per kilogram Rp 8.000. Selain orang Kawangkoan yang datang beli, juga ada yang dari Bado. Saya tidak tahu persis akan dibuat apa tangkainya. Kabarnya akan dijadikan minyak.”

Jenis cengkeh yang dimiliki Keluarga Kolinug adalah jenis Zanzibar dan Si Putih. “Zanzibar itu rantingnya rimbun, sedang Si Putih agak tinggi. Antara Zanzibar dan Si Putih itu sama harga dan hasilnya. Tapi kalau Zanzibar dirawat baik-baik, dia bisa lebih banyak hasil. Zanzibar yang baru berumur empat tahun pun sudah mulai berbunga. Sedang Si Putih nanti enam tahun baru berbunga.”

Menurutnya, kebanyakan yang ditanam di desanya adalah Si Putih, sebab bibitnya lebih mudah didapatkan. Beda kalau Zanzibar kualitas bagus, bibit harus didatangkan dari Bogor. “Bibit Zanzibar yang berumur 2 - 3 tahun itu berkisar Rp 5.000 sampai 10.000 per batang, yang ketika kita tanam hanya butuh dua tahun untuk bisa mendapatkan bunga awal.” v

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 125-130)