• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saudagar Sepuh

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 156-161)

T

oko Andar dan Haji Andi Dahri adalah dua nama yang sama populernya di Siwa. Bahkan hingga ke beberapa kecamatan di kabupaten tetangganya—Kabupaten Luwu. Toko Andar nama untuk toko perdagangan cengkeh (dan hasil bumi lainnya). Haji Andi Dahri adalah nama pemilik toko itu.

Haji Andi Dahri adalah pedagang cengkeh yang cukup sepuh. Dari generasinya, sedikit sekali yang masih bisa bertahan dengan bisnis cengkeh. Toko-toko pedagang cengkeh lainnya relatif masih baru. Semua berawal pada kisaran kuartal pertama tahun 1980-an, Haji Andi Dahri membeli sepetak lahan pangkalan (homebase) milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Saat itu, anggota

ABRI memiliki jatah lahan satu sampai dua hektar per orang. Anggota ABRI itu ada yang menanam lahan mereka dengan cengkeh. Lahan itu perlahan-lahan ada yang berpindah tangan kepada pembeli dari luar. Haji Andi Dahri tidak membeli lahan berisi cengkeh, melainkan lahan kosong, yang berisi satu-dua pohon pisang. Segera setelah tanah itu dibeli, maka pria berusia 61 tahun ini pun menanam cengkeh.

Bakat berdagangnya barangkali ditempa pengalaman selama merantau ke berbagai tempat di Indonesia, salah satunya di Sumatera. Haji Andi Dahri tidak menamatkan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Umur 17 tahun, kelas dua SMP, dia ke Sumatera. Setahun ia di Sumatera, ia pindah kerja sebagai pekerja di satu kapal layar. Menjadi pedagang kaki lima di Warakas, Tanjung Priok, Jakarta, pun pernah ia lakoni. Empat tahun merantau, ia kembali ke Siwa.

Andi Dahri mengenang, panen pertamanya ia bawa sendiri ke Makassar, naik bus malam. Cengkeh yang dia bawa sekitar 400 kilogram, sekira 79 karung. Di Makassar, pria empat anak ini, ditawarkan oleh temannya untuk mencari cengkeh di Siwa. “Teman saya itu disuruh oleh seorang pedagang Cina. Saya bilang, saya punya cengkeh. Dari situlah saya mulai dagang cengkeh.”

Lama-lama, Andi Dahri dipercaya oleh pedagang besar di Makassar. “Orang yang dipercaya pedagang daerah itu bisa dikasih pinjaman dari pedagang di Makassar,” katanya. “Bos-bos di Makassar

berburu barang. Yang dianggap bisa dikembangkan, dikasih modal,” tambahnya.

Awalnya, tetangga-tetangga kebunnya datang menjual cengkeh. Kemudian petani-petani cengkeh di daerah penghasil utama cengkeh di Kabupaten Wajo dan Luwu mulai membawa hasil cengkeh mereka ke Andi Dahri. Ia mengaku tak mendapatkan kesulitan pada awal-awal berdagang. “Tidak susah, karena saya sendiri adalah petani cengkeh,” katanya.

Tataniaga Cengkeh di Siwa | 129

M U H A M M A D I M R A N

Haji Andi Dahri, pemilik Toko Andar, salah satu toko tertua yang menjual beli cengkeh di Siwa, Kabupaten Wajo. Setelah melakoni cengkeh sejak 20 tahun lalu, kini ia menanamkan modalnya ke stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) dan real estate.

Bertahun-tahun berdagang cengkeh, Andi Dahri mengaku tak ada kendala berarti. Justru, menurutnya, kendala itu adalah modal dalam dunia bisnis. “Tidak pernah ada kendala kalau soal cengkeh, karena cengkeh selalu siap uangnya. Di dalam bisnis itu, kendala itu modal,” katanya mantap.

Hanya saja, kalau mau menyebut peristiwa yang benar-benar memukul pedagang --juga petani cengkeh-- adalah saat BPPC diberlakukan. Dari keadaan bebas berdagang, menjadi tidak bebas sama sekali. “Di situ pertama kendalanya. Biasanya lancar uang, setelah BPPC, jadi tidak lancar,” terangnya.

Setelah BPPC bubar, tidak ada lagi masalah berarti. “Paling masalah soal harga yang tak tentu. Cengkeh itu yang penting informasi soal harga harus akurat. Kita punya banyak teman, tidak boleh menyimpan rahasia kepada teman pedagang. Saya punya teman di setiap provinsi. Pagi-pagi kita SMS ke teman, minta informasi. Di Jawa Barat sekian, di Bali sekian, dan sebagainya,” jelasnya. Andi Dahri menerangkan, selama ini belum ada satu asosiasi dalam bisnis cengkeh ini. Tidak seperti komoditas pertanian lain seperti kakao. Pemerintah pun tak pernah ambil peduli. Akan tetapi, bagi Andi Dahri, kalau pun ada asosiasi, tak akan ada manfaatnya. “Karena selama ini, kalau ada asosiasi, pasti untuk minta iuran. Tidak pernah ada yang membela petani. Seperti asosiasi kakao kemaren, tidak ada manfaatnya, baik kepada petani maupun pedagang. Kalau tidak ada manfaat ke pedagang daerah, tidak ada juga manfaat ke petani,” jelasnya.

Masih terkait asosiasi, Andi Dahri juga menambahkan, asosiasi tidak dibutuhkan dalam bisnis cengkeh. “Apa gunanya asosiasi? Ini cengkeh tidak sulit pasarnya,” katanya. Yang diperlukan asosiasi itu, menurutnya, adalah, “bisakah asosiasi itu menundukkan pabrik? Atur pabrik agar jangan menurunkan harga. Apakah kita harus menjual ke asosiasi? Sama saja dengan tidak bebas. Sama saja kembali ke jaman BPPC,” terangnya. “Yang dibutuhkan dari asosiasi itu adalah barang yang tidak pernah ada pasarnya itu harus dijembatani, agar barang itu bisa beli. Kalau ada barang tak bisa dibeli, seumpama cengkeh, asosiasi harus hubungkan itu ke pabrik. Masalahnya sekarang, pabrik sudah datang ke petani,” tambahnya.

Andi Dahri mengaku, ia biasa membantu kelompok tani dengan dana ratusan juta. Dana itu digunakan petani untuk membeli beras, untuk

D I M R A N

Saudagar Sepuh | 131 biaya pemetikan, juga untuk kebutuhan sehari-hari.

Di Siwa sampai Larompong (salah satu kecamatan penghasil utama cengkeh di Kabupaten Luwu), masyarakat memang sangat bergantung kepada cengkeh. Jika tak ada cengkeh, kata Andi Dahri, orang Siwa tidak mungkin berkembang. “Siwa pernah bersinar dan redup karena cengkeh,” ungkapnya.

Andi Dahri paham bahwa cengkeh sebagian besar diserap oleh perusahaan kretek nasional. Ia juga mengetahui bahwa saat ini kretek itu diusahakan oleh pihak tertentu untuk dihilangkan. Tapi ia tak percaya kretek itu bisa hilang. “Itu kan dari cengkeh. Sangat disayangkan jika pemerintah benar-benar akan memberlakukan kebijakan yang membunuh kretek. Sebab bukan main banyaknya petani yang bergantung hidupnya pada cengkeh. Kalau tidak ada cengkeh, Siwa ini tidak apa-apanya,” tutur Andi Dahri.

Bisnis cengkeh Andi Dahri saat ini semakin berkembang. Ia punya satu toko besar dan gudang penyimpanan. Bisnisnya sendiri, di luar cengkeh, juga melebar. “Saya punya SPBU di Sengkang, mulai 1996. Saya juga punya bisnis perumahan real estate di Makassar,” tuturnya.

Setahun terakhir, Andi Dahri memilih lebih sering berada di Siwa. Ia tidak sering lagi berada di luar kabupaten. Jadi saat ini dia akan lebih mudah ditemui di tokonya.

Hanya saja, Andi Dahri menyayangkan, banyak pohon cengkeh di dataran Siwa yang tidak produktif lagi. Sementara generasi mudanya, menurutnya, kurang bisa diharapkan untuk memelihara cengkeh. Sehingga banyak kebun yang terbengkalai. Umur cengkeh di Siwa saat ini kurang lebih 40 tahun. v

Tumpukan cengkeh di gudang para pedagang mulai berkurang karena masa panen di Siwa dan sekitarnya memasuki masa akhir. Siwa sejak lama dikenal sebagai salah satu titik penghasil cengkeh di Sulawesi Selatan

Jalur Niaga Cengkeh

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 156-161)