• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang-orang TNS U mur pernikahan Rasina Ester Melay dan Ruland Steven Melay,

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 77-81)

pada tahun 1978, baru dua tahunan. Pada awal Maret tahun itu, Rasina yang hamil dan Ruland harus ikut naik ke ‘Tomini’, kapal milik Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), bersama 500- an kepala keluarga yang dipindahkan pemerintah pusat dari Pulau Serua, pulau kecil di tengah Laut Banda. Mereka diberangkatkan hari itu menuju Waipia, kawasan di Pulau Seram di timur yang terletak 370-an kilometer di utara Serua.

Tangis Rasina pecah. Ratap yang sama muncul memenuhi geladak dan lambung kapal tentara itu. Hanya mesin kapal besi itu yang panas. Bagian lainnya, dengan dingin merenggut nasib para penghuni Serua dan membawa mereka menembus sisa-sisa angin barat yang berhembus di Laut Banda.

“Kami hanya bawa pakaian dan tempat tidur, kasur,” kata Rasina. Matanya berkaca-kaca, mengenang peristiwa itu.

Sementara Ruland hanya diam. Ia menyimpan amarah. Belakangan ia tahu, inilah akhir dari proses setahunan yang selama ini ia saksikan di Lesluru, di tanah kelahirannya. Itu bermula pada Maret 1977, ketika satu tim berisikan orang-orang dari pemerintah provinsi melakukan sosialisasi perihal rencana memindahkan penghuni Serua. Jelas, warga menolak. Pada Oktober tahun yang sama, satu tim datang lagi. Rencana itu tetap mereka tolak. Lalu, kali ketiga, pada awal Februari 1978, tentara turun dan bawa senjata. Terjadi kekerasan. Warga terpaksa bergegas.

Esoknya, kapal bersandar di Pelabuhan Makariki, dua puluhan kilometer dari Waipia. Tapi tangis di geladak dan lambung kapal belum reda ketika mereka harus turun. Sekisar sekilometer dari labuhan, orang-orang Serua ini hidup di penampungan. Pemerintah membekali mereka beras, ikan asin, ikan kaleng, dan kacang ijo. Setelah dua tahun di situ, mereka dipindahkan ke permukiman sekarang.

Jalan masuk Negeri (Desa) Waru, salah satu desa orang-orang TNS yang berasal dari Serua.

B E TA P E T TA W A R A N IE 49

Ruland Steven Melay dan Rasina Ester Melay, suami istri yang dipindahkan pemerintah dari Pulau Serua ke Pulau Seram pada akhir dasawarsa 1970-an. Ruland kini Raja Negeri (Kepala Desa) Lesluru.

“Hidup kami di Serua sehat, Nyong. Kami tidak pernah dapat penyakit. Kami tidak pernah makan babi di sana. Kami juga tidak piara karena bisa rusak tanaman. Di sana cuma ikan segar dan ayam. Kami juga tidak makan gula. Gula kami dapatkan dari mangga atau lemon, jeruk manis. Kami juga menyaring air hujan menggunakan belerang dan bisa langsung diminum,” terang Rasina.

Seorang pensiunan Dinas Kesehatan Maluku Tengah, Hasib Muhammad (58) menceritakan pengalamannya bersentuhan antara 1978-1980 dengan para orang-orang ungsian TNS. Pak Hasib

mengaku berdagang sejak SMA. “Saya sering beli kacang ijo dan ikan kaleng mereka. Biasanya berkarung-karung mereka bawa. Mereka pasti bosan makan itu terus. Jadi jatah pemerintah mereka jual saja,” terang Pak Hasib, perantau Bugis yang lari dari Makassar karena masa kacau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Kedatangan Rasina dan Ruland bersama 500-an keluarga itu merupakan satu dari dua gelombang kedatangan 1.120 keluarga penduduk Serua, satu dari tiga pulau yang dikosongkan oleh

pemerintah pada tahun 1978 karena alasan gunung berapi bawah laut. Dua pulau lain yang juga harus ditinggalkan penghuninya adalah

Y S E N O A JI

Orang-orang TNS | 51 Pulau Teon dan Pulau Nila. Tiga nama pulau itu kemudian melekat di kecamatan yang mereka mukimi, Kecamatan TNS, Waipia, Maluku Tengah.

***

Setelah bermukim di Waipia, tidak berarti mereka tidak pernah kembali lagi. Setiap tahun, laksana kawanan ikan terbang,

gelombang manusia itu pulang dan mengarungi Laut Banda dengan semang (perahu bercadik) dan belang (perahu layar) ke Teon-Nila- Serua.

Satu tujuannya: cengkeh!

Cengkeh TNS terkenal sejak lama. Orang-orang menghargainya lebih mahal ketimbang cengkeh-cengkeh panenan dari Pulau Ambon atau kawasan Lease. Kalau cengkeh Tuni dan Zanzibar hasil panen di Lease seharga Rp 125.000 per kilogram, cengkeh TNS dihargai Rp 150.000 per kilogram. Zengkih, demikian sebutan orang TNS untuk jenis rempah ini, selalu ditunggu dari TNS sebelum paket cengkeh dari Kepulauan Maluku dikirim ke Surabaya.

“Itu ditunggu, karena pedagang katanya dorang susun cengkeh Lease di bawah dan cengkeh TNS di atas,” terang Raja Negeri Lesluru.

Wajar bila orang-orang yang berangkat ke sana membawa bekal seperti sukun bakar, ubi jalar bakar, atau bahan makanan hasil asapan. Ini semua karena jenis cengkeh yang berbeda dari yang lain. Jenisnya sama saja, Cengkeh Tuni—cengkeh endemik Maluku (‘tuni’ berarti ‘asli’ dalam bahasa Tana, bahasa adat di Masohi). Tapi apa yang membedakannya?

“Cengkeh biasa seperti tahi tikus. Tapi Cengkeh TNS sekilas

besarnya seperti Cengkeh Hutan. Tapi dia sarat dan susutnya kurang, hanya satu ons per kilonya. Lebih harum dan lebih pedis. Entah apa yang membuatnya begitu. Padahal bibitnya orang ambil dari Saparua. Mungkin hawa panas dari bawah… karena keadaan tanah setiap daerah ‘kan beda-beda...,” jelas Ruland.

Begitu pula pada September 2013, warga TNS Waipia kembali mengarungi Laut Banda. Namun, konon, tahun ini hanya ‘setengah panen’ atau panen biasa, yang berarti hasil panen hanya mencapai sekitar 300 - 400 ton. Istilah ini bersanding dengan istilah ‘panen

luas’ atau panen raya yang berarti hasilnya bisa mencapai 500 - 600 ton. Mungkin begitulah hasil olahan cuaca nan cenderung basah yang melingkupi Maluku dan sekitarnya pada bulan-bulan kemarau ini.

Harum panen cengkeh di TNS mengundang banyak orang datang. Para utusan dan orang-orang kepercayaan pedagang cengkeh etnis Tionghoa datang ke sana membawa uang kontan dan membuat pos pembelian. Cara ini, kata Ruland, sudah mendingan ketimbang pemanen membawa sendiri menggunakan kapal dan harus dikenai biaya angkut Rp 50.000 per karung. Namun, praktik yang sejak lama dipakai adalah hasil panen mereka bawa ke Ambon. Tempat berlabuh mereka bahkan kini dinamai dengan Labuhan Serua.

Terakhir kali, demikian pengakuan Ruland, pernah ke Serua pada 2009, mengantar seorang utusan pertambangan dari Jakarta. Dari situ ia melihat perkembangan tanah kelahirannya sekaligus negeri tempatnya mengabdi sebagai Sekretaris Negeri Lesluru selama 20 tahun. “Banyak kebun cengkeh yang sudah tertutup belerang. Mungkin sudah 40 persen yang tertutup.”

***

Bisa jadi keterangan Pak Ruland tadi merupakan jawaban atas pertanyaan yang selama ini memenuhi benak orang-orang yang dipaksa pindah dari TNS. Namun alasan yang mereka duga selama ini adalah “di sana terdapat tambang minyak lepas pantai, sekitar 20 mil laut dari TNS... kualitas belerangnya nomor dua di dunia... dan terdapat kandungan uranium tinggi”.

Itu bisa benar, bisa juga keliru. Tapi ketika Wakil Presiden Adam Malik datang meresmikan Kecamatan TNS Waipia, Pak Ruland hanya menganggap, “Itu ‘kan program pemerintah pusat. Biar Presiden juga datang kalau itu program pusat. Tapi, kalau ada yang bilang ‘Kenapa Wakil Presiden begitu repot datang dari Jakarta hanya untuk meresmikan kecamatan?’… ya Nyong-nyong samua yang bisa artikan itu,” pungkasnya. v

A N D Y S E N O A JI

Cengkeh & Tradisi Merantau

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 77-81)