• Tidak ada hasil yang ditemukan

Titik-balik Negeri Mamala

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 64-71)

T

ahun 1992 menjadi titik penting dari bentangan waktu yang dilalui oleh warga Mamala, satu negeri (desa) yang terletak 32 kilometer utara Kota Ambon. Tahun itu menjadi rentangan masa yang terus dikenang sebagai titik balik beberapa segi kehidupan warga Mamala, desa yang terletak di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Sebelum BPPC berkuasa pada 1992, penghuni Desa Mamala

mengandalkan cengkeh sebagai salah satu komoditas utama selain pala dan kelapa. Begitu BPPC mencengkeramkan kekuatannya ke

seluruh petani cengkeh di Indonesia, warga Mamala mulai menanam kakao dan menelantarkan batang-batang cengkeh. Seorang warganya, Anwar Malawat (43) ingat persis tentang ini.

Tak lama setelah Soeharto memberi kesempatan pada BPPC

memegang kendali harga cengkeh, Raja Negeri (istilah setempat untuk Gerbang Negeri (Desa) Mamala, salah satu desa penghasil cengkeh di Jazirah Hitu, Pulau Ambon. Negeri juga terkenal dengan salah satu masjid dan naskah al-Quran tertua di

Nusantara serta tradisi ‘pukul oker’ [pukul lidi].

ANDY SENO AJI

Kepala Adat sekaligus pejabat Kepala Desa) membawa bibit kakao dari Ambon. Warga menanam bibit-bibit itu di ‘belakang kampung’, istilah yang merujuk pada tanah perkebunan di belakang dan mengantarai perkampungan dan hutan. Tak berapa lama kemudian warga menopang hidup mereka dengan hasil panen biji kakao. Sebelum tahun 1992, Anwar, yang dipanggil akrab dengan Babang, merupakan salah seorang pemuda Mamala yang menempuh

pendidikan berkat hasil panen cengkeh dan pala. Tapi ia kemudian berhenti kuliah pada 1992 ketika sedang menempuh pendidikan semester tiga di satu perguruan tinggi swasta di Ujung Pandang (sekarang: Makassar). Ia pulang ke Mamala karena ayahnya meninggal dunia. Tahun itu juga Babang ditahan oleh keluarga besarnya dengan cara mengawinkan dia dengan perempuan setempat.

“Mungkin karena sudah tidak ada lagi laki-laki kepala keluarga, jadi saya ditahan dengan dikasih kawin. Tambah susah saya pergi-pergi,” kata ayah empat anak ini seraya tertawa.

Rupanya, tahun keberangkatannya menuju Makassar untuk kuliah juga menjadi masa-masa terakhir ia melihat orang sekampungnya memanen cengkeh serentak. Setelah kendali BPPC, cengkeh- cengkeh yang tumbuh di hutan tak pernah ditengok lagi sebagai rasa frustrasi orang Mamala atas harga rempah-rempah ini. Panen pun tidak bareng lagi. Bahkan ini berlangsung bertahun kemudian sampai tahun 2013.

Banyak yang menduga ini dampak perubahan iklim lantaran cuaca kian sulit ditebak. Bulan September, yang biasanya sudah kering, malah selalu mengirim mendung dan menurunkan hujan. Bagi warga Mamala, kata Babang, itu dianggap semacam kutukan. “Mungkin ada adat salah yang pernah kita lakukan kata orang-orang waktu itu,” ungkap Babang, ”tapi saya bilang ‘Ah, tidak! Karena semua negeri begitu’,” lanjut lelaki berpostur kecil ini.

Namun di satu sisi, siklus buah cengkeh yang tak bersamaan cukup menenangkan hati orang Mamala. Mereka tidak lagi harus mendatangkan ‘orang-orang dari luar daerah’ dan ‘bisa dipercaya’. Tenaga itu bisa dari dalam desa, kerabat dekat mereka yang tengah lowong dan tidak sedang mengurus cengkeh.

Para pemilik cengkeh di Mamala menyiapkan dua jenis balas jasa bantuan panen. Pertama, menggaji per hari yang membantu panen

Sekisar lima puluhan orang di Mamala seperti Ali Malawat [kanan] yang bertani cengkeh sekaligus pedagang penadah di negeri tersebut.

sesuai harga cengkeh yang berlaku pada masa panen, ditambah menanggung makan, minum, dan rokok. Kedua, sistem bagi hasil, yakni membagi sama rata hasil antara pemilik pohon dan pemetik, minus tanggung makan dan kebutuhan lainnya.

Menurut Salahuddin Hatuala (52), salah seorang warga Mamala yang kerap mendapat panggilan untuk membantu memetik cengkeh, ia sendiri lebih suka memilih sistem bagi hasil, sebab “...saya bisa dapatkan lebih karena saya bisa memetik sampai 2 bakul (4-5 kilogram cengkeh kering) per hari,” kata lelaki langsing berkumis yang terkenal sebagai salah seorang pemetik cengkeh yang cukup cekatan di Mamala.

Warga Mamala belum panen cengkeh pada Jumat pekan pertama September 2013. Salahuddin mengatakan, warga di desa

berpenduduk sekisar 3.000 jiwa itu masih perlu menunggu sekisar tiga minggu untuk memanen. Baru satu dua warga mulai menjemur lantaran satu dua batang cengkeh mereka berbuah.

Awan gelap masih menggayut di atas Mamala dan sekitarnya. Angin pun masih berhembus cukup kencang. Keduanya mengirim berita buruk bagi petani bila menjelang panen cengkeh. Angin menghambat dan menggentarkan orang-orang yang harus memanjat pohon untuk memanen. Bila pun berhasil, cengkeh yang harus dijemur bakal

A N D Y S E N O A JI

dibayangi hujan yang sewaktu-waktu bisa turun.

Hambatan cuaca itu mereka tanggulangi dengan asaran, alat pengering yang terbuat dari jaring kawat, yang awam dipakai para petani cengkeh di Kepulauan Maluku. Cengkeh cuma butuh dua hari untuk bisa kering menggunakan alat ini.

Tapi bagi pedagang Mamala seperti Ali Malawat (38), ‘cengkeh asaran’ dan ‘cengkeh matahari’ jelas berbeda tampakan juga aroma. Tampakan cengkeh hasil pengasapan lebih hitam, sementara cengkeh kering oleh terik matahari selama tiga sampai empat hari berwarna coklat. Aroma cengkeh yang dijemur pun lebih harum dibanding cengkeh yang diasapi. “Cengkeh dijemur lebih mahal sekitar 5.000 sampai 10.000 rupiah,” terang Ali.

Titik-balik Negeri Mamala | 41 Petani cengkeh di Mamala, Ambon, Maluku

Tengah, menggunakan alat pengasapan untuk mengeringkan cengkeh bila mendung atau hujan.

petik mereka seharga Rp 6.000 per cupa (istilah lokal ukuran satu kaleng susu). Bagi para pedagang, jelas itu menguntungkan. Mereka bisa mendapat laba lebih besar bila petani menjual mentah dibanding jual kering. Ali menghitung, setidaknya, satu kilogram cengkeh berisi 13-14 cupa.

“Kalau kita hitung, Rp 6.000 × 14 cupa = Rp 84.000. Berarti saya bisa untung sampai Rp 36.000 per kilonya. Kalau kita mengacu pada harga sekarang Rp 120.000 per kilo... Ini beda dengan keuntungan yang cuma sekitar Rp 2.000 per kilo cengkeh kering,” papar Ali. Banyak orang seperti Ali di Mamala. Ia hitung-hitung, ada lima puluhan orang. Kisaran modal Ali adalah Rp 25 juta saja. Bila sudah habis terpakai membeli cengkeh, segera ia membawa karungan cengkeh ke agen langganannya di Ambon. Keuntungan Ali sebagai pedagang yang sekaligus pemilik seratusan batang cengkeh makin berlipat lantaran bisa melego panenannya langsung ke cukong penadah. “Iya. Itu sudah jelas karena saya bisa menjual tanpa perantara,” ujar Ali, tersenyum.

Harga cengkeh menjadi beragam bukan dari segi pengolahan saja. Nilai ini menjadi bermacam harga lantaran di Mamala tumbuh empat jenis cengkeh, yaitu Cengkeh Tuni (cengkeh endemik), Cengkeh Paku (lebih panjang, menurut istilah Ali, seperti paku 3 cm), Cengkeh Hutan, dan Cengkeh Raja (buahnya gemuk dan pendek, jenis cengkeh yang tumbuh liar di hutan).

Dua jenis terakhir tersebar di banyak tempat lantaran disebar oleh burung-burung, karena buahnya cenderung manis; sementara Cengkeh Tuni bibitnya cuma ada di sekitar batang, sebab buahnya pedas dan cenderung pahit. Cengkeh Raja dan Cengkeh Paku bernilai lebih murah, Rp 50.000 per kilogram, separuh dari harga Cengkeh Tuni yang kini mencapai Rp 120.000 per kilogram. Harga cengkeh yang berlaku pada September 2013 itu seperti melepaskan orang-orang Mamala dari bayang-bayang harga tahun 1992.

Benar-benar musim yang manise...! v

A N D Y S E N O A JI

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 64-71)