• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pak Saida dari Banda

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 165-171)

S

aida Larar (68) menyiapkan Rp 1 miliar setiap musim untuk membeli hasil panen petani cengkeh di Ambon dan sekitarnya. Ia bersama Hardin (30), anak bungsunya, yang berada di Pulau Banda, melakoni usaha dagang ini. Mereka berbagi modal, yang separuhnya diperoleh dari bank, dengan mengagunkan ruko.

Menurut Pak Saida, nilai rukonya Rp 1 miliar lebih. Karena itu, bila meminjam dana sebesar itu, bank cepat saja mengabulkan permohonannya yang menjaminkan sertifikat ruko. Selalu demikian bila menjelang panen, Pak Saida harus menambah persediaan modal sekisar Rp 500 juta untuk membeli hasil cengkeh yang dibawa petani kepadanya.

Pak Saida berdagang cengkeh dan pala sejak 1978. Pria jangkung berkacamata baca ini berasal dari Pulau Banda. Pergi pulang ia berlayar dengan kapal kayu membawa cengkeh dan pala ke Surabaya. Namun pada tahun 2002, lelaki kelahiran 1945 ini berjual-beli di darat dengan menempati salah satu petak di sekitar pelabuhan Ambon. Ia lalu pindah ke Blok H No.185 di deretan Ruko Batumerah, yang pada tahun 2004 masih seharga Rp 200 juta rupiah, lantas menamai usahanya UD Bandar Mas.

Pak Saida mulai terlihat sibuk pada pukul 10.00 WIT. Silih berganti petani datang membawa cengkeh mereka. Ada petani yang membawa dari Kailolo, daerah sekitar Ambon, dan Seram --yang biasanya ditandai dengan cengkeh dikemas dalam karton untuk mencegah berhamburan karena perjalanan yang lebih jauh. Ada yang membawa hanya satu dua kilogram, lainnya membawa cengkeh dalam karung beras kecil. Pak Saida menerima 400 - 600 kilogram cengkeh setiap hari dari petani di musim-musim awal panen. Jumlah itu segera meningkat mencapai 2 ton per hari bila mencapai masa puncak. Jenis cengkeh yang dibawa oleh petani adalah cengkeh endemik Maluku. Dari pantauan di ruko hari itu, hanya seorang saja yang membawa jenis cengkeh Zanzibar.

“Cengkeh Maluku lebih harum dari Zanzibar. Dari bentuk, cengkeh sini lebih pendek, Zanzibar kelihatan lebih panjang, karena seperti masih punya sisa tangkai di bagian bawah buahnya,” jelas Pak Saida. Menurutnya, panen cengkeh tahun-tahun belakangan ini berbeda dibanding sekisaran 10 tahun silam. Bila sebelum tahun 2003, panen bisa serentak dan membuat kelabakan pengusaha berskala menengah seperti dia. Kini, pohon cengkeh mengeluarkan buah tidak

lagi bersamaa --yang disebut oleh Pak Saida, “seperti musim buah- buahan”.

“Mungkin karena perubahan cuaca ya? Biasa hujan di sini, di sana cerah,” katanya, “tapi keuntungan petani karena tidak butuh lagi bantuan pemetik dari luar. Dulu waktu panen bersamaan mereka panggil keluarga atau orang-orang di kota bekerja membantu memetik,” tambahnya.

Musim basah sangat berpengaruh pada kualitas cengkeh. Untuk sampai ke pedagang seperti Pak Saida, petani butuh dua atau tiga hari untuk menjemur cengkeh panenan. Kalau tidak, harga bisa lebih murah Rp 10.000 - 20.000 per kilogram, karena Pak Saida harus memisahkan cengkeh yang belum kering sempurna dan menjemurnya lagi sehari-dua hari sebelum digabung dengan cengkeh kering. Gampang saja Pak Saida membedakan cengkeh seperti ini: tinggal tekuk biji cengkeh, jika langsung patah dan mengeluarkan minyak menandakan sudah kering paripurna.

Kalau hujan turun, seperti dua hari terakhir di Ambon, maka ‘cengkeh mati’. Cengkeh panenan yang tak dijemur sempurna bisa saja semakin banyak. Pak Saida hanya menghargai Rp 25.000 per kilogram untuk dipasok ke usaha jamu dan perusahaan rokok berskala kecil. Selain itu, menurut keterangan seorang warga, hujan juga memicu munculnya daun baru dan menahan buah cengkeh keluar. Untuk membaca tanda kemarau atau hujan akan datang, petani konon membaca lewat pertumbuhan lumut: lumut mulai kering pertanda akan datang musim kering, bila lumut menumbuhkan daun baru maka nyaris pasti hujan akan datang lagi.

Harga cengkeh pada hari Kamis, 5 September 2013, harga berada pada angka Rp 120.000 per kilogram, turun dibanding pekan sebalumnya yang masih di kisaran Rp 135.000 - 140.000 per kilogram. Pak Saida belum tahu sebab apa bisa begitu. Untungnya, ia dan jaringannya, terutama para pedagang Tionghoa di Ambon maupun di Surabaya, selalu berbagi perkembangan harga, terutama via telepon. Dengan demikian Pak Saida bisa segera menjual cengkeh yang ia beli dari petani bila ada gelagat harga cengkeh turun.

Pak Saida juga segera menjual cengkeh begitu modal awalnya sudah habis, lantaran harus berbagi dengan salah satu anaknya yang mengikuti jejaknya sebagai pedagang rempah-rempah. “Kalau masih ada sisa dana dari Hardin, saya minta ia kirim kembali ke saya biar

bisa dipakai menadah cengkeh di Ambon. Begitu juga sebaliknya, kalau di sini selesai musim dan di Banda masih ada, saya kirim modal ke dia,” ujar Pak Saida, yang mengaku menyuplai agen Surabaya yang memasok untuk PT Sampoerna.

Di antara sekian banyak yang datang menimbang dan menjual cengkeh di ruko Pak Saida, ada yang membawa bukan cengkeh hasil panen dari kebun sendiri, seperti Quraisin Tuasamu (31). Perempuan berjilbab ini datang menjual 12,2 kilogram cengkeh kiriman ibunya dari kampung halamannya di Kailolo, cengkeh hasil barter antara pembeli dengan ibunya, Sitina, yang berdagang pakaian.

“Kalau misalnya harga pakaian yang dijual ibu seharga Rp 120.000 per kilogram, maka orang yang membeli pakaian kasih ibu juga sekilo,” terang Sinta, nama panggilannya, sambil tersenyum. Sinta berprofesi sebagai guru honorer di salah satu taman kanak- kanak di Ambon. Ia juga sedang menempuh pendidikan strata satu Jurusan Biologi di Universitas Darussalam, Ambon. Sang ibu mengirimi cengkeh sebagai tambahan biaya pendidikan yang sudah tiba di semester tujuh. “SPP saya Rp 680.000, sisanya saya tabung buat biaya kuliah,” ujar Sinta. Kendati sudah berkeluarga dengan Leo (41) seorang pegawai PLN setempat, namun penjualan cengkeh itu membantunya membiayai pendidikan. Gaji dari suaminya dipakai membesarkan 4 orang anaknya.

Cengkeh sejak dulu membiayai sekolah saudaranya, terutama si sulung, Ibrahim Kadir Tuasamu yang kini menjadi salah seorang pengurus teras pusat satu partai politik. “Kakak saya dulu dibiayai orangtua dengan hasil panen cengkeh. Sekarang sudah berhasil, dia lagi yang membiayai sekolah saudara-saudara saya,” ungkap Sinta.

***

Berabad-abad lamanya cengkeh dan pala menghidupi masyarakat di Maluku dan sekitarnya. Jangan tanya soal sejarah wilayah ini yang terkenal dengan catatan yang tak pernah jauh dari perebutan monopoli atas komoditas buruan orang Eropa ini. Masa kini, begitu banyak bangunan-bangunan di Maluku, seperti kantor dinas, DPRD, rumah jabatan, sampai fasilitas publik berhiaskan kombinasi cengkeh dan pala. Sampai di dalam mata pelajaran muatan lokal di salah satu SMA di Ambon menjadikan pengolahan cengkeh sebagai topik bahasan dan praktik. A N D Y S E N O A JI

Pak Saida dari Banda | 141 Namun pada kenyataannya, Pemerintah Provinsi Maluku dalam kebijakan berkaitan dengan perkebunan, tidak menitikberatkan pada cengkeh saja, namun juga untuk pala dan kelapa. Pemerintah Provinsi Maluku menganggarkan Rp 2 miliar rupiah per tahun dalam APBD untuk ketiga komoditas ini. Tapi bagi banyak kalangan, jumlah itu seujung kuku saja.

“Kemarin datang teman-teman dari Jawa Timur. Mereka ketawai kita karena dianggap jumlah itu terlalu kecil untuk Maluku yang jumlah pulaunya mencapai 1.340 pulau,” terang Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Maluku, Ir. M.S. Tuanaya. MT, usai menghadiri ceramah umum Dinas Pertanian di Universitas Pattimura, pertengahan September 2013.

Cengkeh merupakan satu dari tiga komoditas unggulan Maluku selain pala dan kelapa. Kendati demikian, alokasi Rp 2 miliar dari APBD untuk ketiga hasil bumi ini dianggap sangat kecil lantaran ada 1340 pulau di provinsi tersebut yang memutlakkan biaya transportasi yang begitu besar.

Tuanaya menyebut bahwa masyarakat Maluku tidak monokultur, sumber makanan dan pendapatan tidak hanya bersandarkan pada cengkeh. Setiap rumah tangga punya juga pala. Bahkan, kalau angin sedang bersahabat mereka turun melaut. Cengkeh, kata Tuanaya, “Biasanya dijadikan jaminan hari tua, pigi haji pakai itu, anak sekolah pakai itu.”

Namun, lantaran banyak cengkeh sudah tua yang enggan ditebang petani, ditambah serangan hama --terutama penggerek batang-- maka seraya mengutip data BPS, Tuanaya tak heran kalau panen cengkeh Maluku hanya mencapai 11.732 ton atau 387 kilogram per hektare. Idealnya, ujarnya, petani bisa memanen sekisar 800 kg per hektar. “Perawatan tanaman jarang dilakukan. Nanti muncul bunga, baru bersih-bersih. Padahal sanitasi lingkungan dibutuhkan untuk

perkembangan tanaman. Kita juga belum ada kajian tentang tentang siklus hama penggerek batang. Sekarang, penggerek batang kencang, terutama di Seram Timur.”

Selain itu, Pemerintah Provinsi Maluku mencoba memperbaiki nasib petani dengan kebijakan bernama ‘Resi Gudang’. Kebijakan ini untuk memangkas praktik ijon. Kebijakan ini menggunakan koperasi sebagai pihak penalang kebutuhan petani.

“Kalau sedang kesusahan, petani bisa pinjam uang dan dikasih bon sama koperasi, tapi dengan menyetorkan hasil produksi mereka lalu digudangkan. Pada saat harga naik, pemerintah menjual produksinya, selisih harga pada saat petani ambil duit dengan harga jual akan dikembalikan pada petani,” jelas Tuanaya. v

A C H M AT A R IS

Dua Tauke | 143

Dua Tauke

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 165-171)