• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saudagar Unyil: Sang Penyuluh

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 182-186)

T

iga tahun lalu, dengan sukarela ia mendatangi petani-petani di

kawasan pantai barat Sulawesi Tengah. Ia membawa selebaran yang diketik sendiri. Selebaran itu para petani agar menggunakan pupuk organik dan menghentikan pemakaian racun rumput. Selain selebaran, ia menyebarkan VCD tata cara pembuatan pupuk organik secara gratis. Ia juga merogoh uang pribadinya sebesar lima juta rupiah untuk biaya selebaran dan keping VCD.

Namanya Arja Yanto (31), di Desa Oti, Kecamatan Sindue Tobata kampung kelahirannya. Ia dipanggil Ko’ Unyil. Ayahnya bernama Goan Xeng. Mereka adalah keluarga petani Tionghoa yang kemudian menjadi saudagar dan membeli hasil bumi petani, termasuk cengkeh. Keluarga ini mengelola PT Adipura dan memiliki tiga gudang besar di Palu yang menadah hasil bumi.

“Semua petani langganan saya, saya datangi dan bagi-bagikan pupuk organik gratis dan VCD pembuatan pupuk organik, tapi tak banyak petani yang tertarik. Namun di Desa Marannu, ada petani yang

mendengar saran saya, ia menggunakan akar tuba,” ungkap Ko’ Unyil. Ko’ Unyil meneruskan usaha jual beli cengkeh yang telah dirintis ayahnya sejak ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Dulu ia sempat jadi penjaja (salesman) alat elektronik. Namun berhenti dan berpikir

. R A C H M AT A R IS

lebih baik bertani dan mengembangkan usaha dagang ayahnya. Ia tak percaya bangku kuliah bisa membuatnya sukses. Itu sebabnya Ko’ Unyil tak mau kuliah dan justru percaya bahwa bertani bisa membuat orang sukses.

Selain menjadi saudagar cengkeh, ia juga menanam cengkeh. Ko’ Unyil punya dua ratus pohon cengkeh di Loro, Desa Alindau, Kecamatan Sindue Tobata. Jarak kebunnya ini dari Palu sekitar 80 km. Di belakang Gudang Taipa, ia juga menanam ubi, cokelat, pisang, dan memelihara ayam. Di rumahnya, dalam seminggu, ada jadwal makan dengan menu utama ubi.

Kamis siang, 5 September 2013, di Gudang Taipa --gudang penadah hasil bumi-- Ko’ Unyil sibuk memantau jual beli cengkeh. Ada sepuluh karung cengkeh diturunkan dari truk yang datang dari desa- desa di kawasan pantai barat.

“Cengkeh di tahun-tahun lalu dan sekarang, sudah jauh berbeda. Kalau dulu, pedagang seperti kami ini pulang malam terus, tapi sekarang paling pulang sore. Panen tahun ini, sudah bagus dapat lima ton,” ujar Ko’ Unyil.

Saudagar Unyil: Sang Penyuluh | 155

M . R A C H M AT A R IS

DARI KIRI KE KANAN: Para pekerja menumpuk, menimbang, mengepak, dan memuat cengkeh ke atas truk di gudang Ko’ Unyil di Taipa, Palu, Sulawesi Tengah. PALING KANAN: Ko’ Unyil tersenyum puas di gudangnya.

Sebenarnya Gudang Taipa yang ia kelola baru berdiri dua belas tahun lalu. Dulu usaha pembelian hasil buminya masih berupa pondok kecil di kawasan Mamboro. Lama kelamaan usahanya berkembang dan, akhirnya, punya gudang penadah hasil bumi seluas tiga kali lapangan sepak bola.

Gudang Ko’ Unyil hanya menerima cengkeh kering. Ia membandrol harga Rp 127.000 saat kami berkunjung ke gudangnya. Kebanyakan yang datang menjual cengkeh padanya adalah para pengepul dari desa-desa di kawasan pantai barat seperti Ujung Bou, Tompe, Alindau dan Oti. Jenis cengkeh yang masuk ke gudang itu adalah Zanzibar dan Si Kotok. Selama ia menjadi saudagar, dia melihat kualitas cengkeh di Sulawesi Tengah lumayan baik karena kadar airnya rendah (tiga belas).

Cengkeh-cengkeh yang telah dikarungkan diantar ke Pelabuhan Loli. Dari situ, ada kapal-kapal besi milik pengusaha Tionghoa yang membawanya ke Surabaya. Di sana, perusahaan rokok seperti PT Djarum, Gudang Garam, dan Bentoel, yang membelinya. Pada panen cengkeh tahun ini, dalam sebulan dia memasok cengkeh ke Surabaya sebanyak lima ton.

“Jika dibandingkan dulu, itu sangat sedikit. Panen dua tahun lalu kami masih bisa memasok 30 ton, sekarang tak lagi. Semua sudah tak sama,” tutur Ko’ Unyil.

Bagi Ko Unyil, para petani cengkeh di Sulawesi Tengah masih berpikir instan dan biasanya mereka tidak terlalu pandai hitung menghitung. Kebanyakan mereka menjual buah cengkehnya yang masih di pohon.

“Misalnya, mereka menjual sepuluh pohon cengkeh dengan harga lima juta, setelah ditimbang ternyata hasilnya bisa lima belas juta, jadi tanpa mereka sadari, mereka sudah rugi,” ceritanya.

Ko’ Unyil sendiri juga menambahkan selama ini pemerintah tidak peduli pada petani. Ia berpendapat, pondasi negara justru berada di tangan petani. Jika petani kokoh, maka negara kokoh. Begitu pun

sebagai saudagar, ia juga bertumpu pada keberhasilan petani. Jika petani berhasil. saudagar juga akan sukses. Ko’ Unyil ingin petani bisa menikmati tanaman cengkehnya secara berkelanjutan. Ia sendiri ingin dirinya bisa menjadi saudagar sepanjang hidupnya. Ko’ Unyil berpikir dengan ia memberi penyuluhan, bisa jadi ada petani yang tergerak hatinya untuk menjaga tanamannya agar tetap sehat dan berumur panjang.

“Saya ingin petani kokoh dengan usaha cengkeh mereka agar usaha kami sebagai pedagang juga berkelanjutan. Dengan bertani cengkeh akan membuka lapangan kerja, dan meminimalisir pengangguran. Jadi ini bukan hanya persoalan usaha saya dan soal pertanian saja. Jika banyak pengangguran di desa, maka kriminalitas meningkat, buntutnya ke kami juga,” tutur Ko’ Unyil.

Semua petani yang menjadi pelanggannya didatangi Ko’ Unyil. Dia mengajak petani-petani pelanggannya berdiskusi mengenai pupuk dari kotoran hewan dan pelapukan tanaman. Namun, hanya beberapa petani saja yang terpengaruh dengan omongannya.

“Petani kita itu dibunuh. Jika ada seminar-seminar, petani yang diundang ke kota. Seharusnya ‘kan pemerintah yang datang ke desa,” ujar Ko’ Unyil.

Nurtin (28), perempuan asal Desa Tibo, Kecamatan Sindue

Tombusabora, Kabupaten Donggala, adalah salah seorang pelanggan Ko’ Unyil. Saat menemuinya, ia sedang menjemur lima terpal cengkeh. Cengkehnya sudah setengah kering. Menurut Nurtin, tiga-empat hari kemudian, jika panas bagus, ia akan membawa cengkehnya ke Gudang Taipa. Sudah lima tahun dia menjadi penjual tetap di Gedung Taipa.

“Saya sudah langganan sama Ko’ Unyil selama lima tahun. Kalau di desa ini rata-rata lari semua cengkehnya ke Gudang Ko’ Unyil. Kami kenal Ko’ Unyil karena ia sering kasih informasi pada petani-petani di desa ini mengenai cara merawat pohon cokelat dan cengkeh.” ujar Nurtin. v

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 182-186)