• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tataniaga Cengkeh di Siwa

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 150-156)

M

enyusuri pasar di Kota Siwa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, kita akan dengan mudah mendapatkan jejeran toko yang beberapa di antaranya di atas pintunya tertulis: ‘MEMBELI BARANG HASIL BUMI SEPERTI CENGKEH, COKELAT, RUMPUT LAUT, DAN LAIN-LAIN.’

Perbukitan di Siwa yang dipenuhi cengkeh. Sejak lama Siwa dikenal sebagai salah satu daerah penghasil cengkeh di Sulawesi Selatan.

Tataniaga Cengkeh di Siwa | 123

MUHAMMAD IMRAN

Dan, dengan mudah pula mata kita akan jatuh pada hamparan terpal yang di atasnya cengkeh yang sedang dikeringkan, atau tumpukan cengkeh kering di samping timbangan.

Hanya saja, dibanding tiga atau empat bulan sebelumnya, hamparan dan tumpukan cengkeh kering di area toko tidak lagi banyak. Contohnya di Toko Andar milik Haji Andi Dahri (61). Pagi hari di pekan kedua September, toko miliknya sepi dari orang yang datang menjual cengkeh. “Bulan ini cengkeh sudah mau habis. Jadi petani mulai sedikit yang menjual cengkehnya. Panen raya di sini antara bulan tujuh dan delapan,” katanya.

Haji Dahri memang bukan pedagang pertama di Siwa. Tapi tak bisa pula dikatakan pedagang baru. Pedagang pertama datang dari Makassar melalui petani pertama yang menanam cengkeh di Siwa. Petani itu bernama Haji Ambo Masse. Pak Haji itu menanam cengkeh pertama kali pada kurun tahun 1970-an. Awal 1980-an, panen

pertama. Waktu itu baru ada sedikit pedagang di Siwa. Haji Ambo

Haji Abdullah (baju putih), pedagang cengkeh di Buriko, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, tak jauh dari Siwa, mengibaratkan BPPC adalah VOC modern yang membuat banyak petani ‘menghilang’ karena merantau dan mencari nafkah di kota dan pulau lain.

Masse adalah yang pertama kali mendatangkan pedagang dari kota Makassar. Haji Andi Dahri sendiri menjual cengkehnya ke kota Makassar menggunakan bus.

Pada tahun 1983, Haji Andi Dahri mulai berdagang. Bertahun- tahun kemudian, seiring bertambahnya produktivitas cengkeh di Kabupaten Wajo, pedagang cengkeh mulai bertumbuh semakin banyak. Rata-rata dari pedagang itu adalah petani cengkeh pada mulanya. Ketika mereka mendapatkan modal dari pedagang besar, maka mulailah mereka berdagang cengkeh. Dengan begitu, lambat laun geliat perdagangan cengkeh di Siwa semakin marak.

Proses bergeliatnya perdagangan cengkeh di Siwa ini cukup mulus. Dari sudut pandang beberapa pedagang, mereka berpendapat, antara petani dengan mereka selama ini saling menguntungkan. Belum pernah ada kasus dalam hal perdagangan cengkeh yang merugikan petani. “Ini karena kami juga petani cengkeh,” kata Haji Abdullah. Dia adalah pedagang cengkeh di pasar Buriko. Ia sepantaran dengan Haji Andi Dahri dalam hal usia berdagang.

Haji Andi Dahri dan Haji Abdullah memang sudah sepuh dalam hal berdagang cengkeh. Mereka juga memulainya dengan menjadi petani cengkeh. Mendapat modal dan kepercayaan dari pedagang besar di Makassar, lalu mengelolanya untuk berdagang. Meski demikian, perjalanan mereka berdua --dan beberapa pedagang lain di Siwa-- dalam dunia perdagangan cengkeh tidaklah mulus.

Tahun-tahun awal berdagang cengkeh, Haji Andi Dahri sempat membawa langsung cengkehnya ke Surabaya, langsung dijual ke pabrik. Itu pada tahun 1984 sampai 1989. Ia membawanya lewat transportasi laut dengan kapal-kapal kayu. Hal itu ia lakukan, karena saat itu membawa hasil bumi lewat darat ke Makassar birokrasinya panjang. Banyak keluar biaya. “Tapi sekarang kan sudah bebas. Tidak ada lagi biaya,” terang Haji Andi Dahri.

Selain karena tak lagi ada biaya ‘macam-macam’, pertimbangan lain Andi Dahri adalah soal risiko. “Terlalu banyak risikonya. Posisinya lain kalau kami yang jual ke Surabaya. Mereka yang berkuasa. Mereka bisa menentukan kadar AB kualitas cengkeh, kita tidak bisa apa-apa. Kalau jual di sini, tidak ada risiko. Putus di sini, dijual di Makassar,” terang Haji Andi Dahri.

Sekarang ini, dijelaskan oleh Haji Abdullah, perjalanan cengkeh dari petani sampai ke pabrik rokok kretek tak terlalu panjang.

Tataniaga Cengkeh di Siwa | 125

M U H A M M A D I M R A N

Perjalanannya mulai dari petani, pedagang pengumpul, pedagang besar lalu ke pabrik. Sejak putus dari tangan petani, cengkeh di tangan pedagang melakoni riwayat tersendiri. Intinya, pencarian keuntungan. Pedagang bisa memilih untuk menjual langsung kepada pedagang besar mana saja. Yang jelas, tak mungkin diserahkan kepada pabrik secara langsung, karena pabrik punya perusahaan sendiri. “Di mana ada harga pasar bagus, ke sanalah kami

melemparnya. Kita cari yang paling tinggi harganya,” terang Haji Abdullah.

Haji Abdullah sendiri menjual cengkehnya ke Makassar kepada pedagang besar. Ia bisa pakai kontrak, bisa juga tidak. Pertimbangannya: kalau ragu harga bisa turun, dikontrak. Kalau ada kemungkinan harga naik, jangan dikontrak. “Membaca situasi saja. Untuk membaca situasi itu sudah masuk ke ranah bisnis,” kata Haji Abdullah.

***

Saat ditanya soal saat paling memiriskan dalam berdagang cengkeh, baik Haji Abdullah maupun Haji Andi Dahri memiliki jawaban yang sama: saat BPPC berkuasa terhadap cengkeh nasional.

BPPC adalah singkatan dari Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh. Lembaga tersebut dibentuk atas dasar Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1992, kemudian ditindak-lanjuti oleh Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 91/KP/IV/92 tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri, dan sejumlah Peraturan Menteri lainnya.

Menurut Haji Abdullah, BPPC ini adalah monopoli. “BPPC itu VOC gaya baru.” begitu Haji Abdullah beramsal. “Ia betul-betul membunuh petani dan pedagang dengan politik monopolinya.” Monopoli cengkeh BPPC berlangsung selama lebih dari lima tahun, yakni sejak diberlakukan pada 1992 sampai dibubarkan pada 1998. Artinya, selama kurun tersebut, Haji Abdullah dan Haji Andi Dahri tidak bisa berdagang cengkeh seperti tahun-tahun sebelumnya. Haji Abdullah sendiri pada saat itu menjadi pemasok cengkeh kepada koperasi. Salah satu ketentuan dari BPPC waktu itu adalah kewajiban bagi petani untuk menjual cengkeh mereka hanya kepada koperasi yang ditunjuk pemerintah.

M U H A M M A D I M R A N

Waktu BPPC diberlakukan, terang Haji Abdullah, ada sekitar 15 persen petani ‘hilang’. Ada yang pergi ke Kalimantan, ada juga yang bekerja di lahan sawit di Mamuju. “Petani menjerit sekali. Kasihan petani, cuma dibeli cengkehnya dengan harga sekitar Rp 2.000. Sekitar lima tahun lebih kebijakan itu membuat petani menderita,” kata Haji Abdullah.

Lalu, bagaimana keadaan perdagangan cengkeh selepas dibubarkan BPPC?

Menurut Haji Abdullah, keadaan selepas BPPC bubar perlahan mulai membaik. “Awal-awalnya memang petani menyesal setelah harga cengkeh kembali membaik. Itu karena banyak di antara mereka menebang saat BPPC itu. Tapi setelah itu, warga menanam kembali, dan mulai bisa menikmati hasil buah cengkeh,” jelasnya. v

Tataniaga Cengkeh di Siwa | 127

Salah satu titik utama di kawasan sekisar Pasar Siwa yang menjadi tempat transaksi hasil panen cengkeh.

Dalam dokumen Puthut EA – Ekspedisi Cengkeh (Halaman 150-156)