• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Berbagai Model Hutan Kemasyarakatan di Indonesia

Hutan kemasyarakatan bukan suatu hal baru di Indonesia. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah tujuan pembangunan hutan di Indonesia. Berbagai program untuk melibatkan masyarakat lokal telah dilaksanakan. Agroforestry telah dilaksanakan di Jawa lebih dari 100 lalu dalam sistem penanaman jati (Nasendi,1996).

Di Jawa penerapan tumpangsari telah ada sejak 1873 pada hutan jati, petani diperbolehkan menanam tanaman pangan dalam rotasi dua tahunan. Sampai tahun 1950 sistem tumpangsari telah diterapkan pada regenerasi tanaman jati. Pada tahun 1960 mulai timbul masalah akibat tekanan pertambahan penduduk, untuk mengurangi masalah ini sistem tumpangsari intensif diadopsi dengan pemupukan. Sekarang mengingat luas lahan jati semakin berkurang diganti dengan tanaman pangan dengan cara demikian ada penghasilan untuk para petani penggarap.

19 Peran rakyat dalam penanaman pohon kayu dalam bentuk hutan rakyat di Jawa sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Hutan rakyat merupakan tanaman rakyat di pekarangan atau kebun yang semula digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kayu bakar, pakan ternak, dan kayu pertukangan. Hasil penelitian oleh IPB 1976, UGM 1997 tentang hutan rakyat menunjukkan bahwa konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar di Jawa ternyata sebagian besar disediakan oleh hutan rakyat (Darusman & Hardjanto 2006)

Peran hutan rakyat semakin dipertimbangkan potensinya ketika terjadi penurunan potensi hutan negara secara pasti, baik yang berasal dari hutan alam maupun tanaman. Usaha hutan rakyat, yang selama ini telah diusahakan oleh masyarakat secara mandiri. Perhatian pemerintah memang telah sejak lama dilakukan, misalnya melalui dengan proyek-proyek penghijauan, Gerhan, tetapi perhatian pemerintah ternyata belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat petani hutan rakyat.

Pada masyarakat agraris, pertambahan penduduk merefleksikan dinamika pemanfaatan lahan. Pola pemanfaatan lahan merefleksikan keterkaitan dua hal tersebut. Pertumbuhan penduduk pedesaan menyebabkan kenaikan permintaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok berupa: makanan, kayu bakar, makanan ternak, dan kayu. Sebagian penduduk pedesaan yang tunakisma (landless) dan petani kecil, kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian menyebabkan terjadinya tekanan terhadap hutan antara lain kerusakan hutan berupa rusaknya tanaman, penebangan liar, dan over-grazing. Kegagalan penanaman pohon di hutan mendorong digunakan untuk penanaman tanaman pangan subsisten. Penebangan liar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten pada kayu dan bahan bakar tetapi juga merupakan satu-satunya alternatif bagi orang miskin untuk mendapatkan penghasilan ( Simon, 1990).

Keragaman inisiatif dan pendekatan dalam pelaksanaan program yang sudah dikembangkan dengan hasil yang bervariasi. Inisiatif-inisiatif ini tidak harus diseragamkan tetapi perlu didukung dengan kemauan politik dan kebijakan yang memadai. Pengalaman empiris dari lapangan dan berbagai bidang kegiatan pendukung hutan kemasyarakatan selayaknya diangkat dan dipelajari untuk digunakan sebagai bahan masukan bagi pembaharuan kebijakan.

Terdapat berbagai model dan nama pengelolaan hutan berbasis atau berorientasi pada masyarakat di Indonesia tergantung pada cara pandang berbagai pihak. Nama atau model itu antara lain:

20 · HPH Bina Desa · Hutan Adat · Hutan Desa · Hutan Kampung · Hutan Keluarga · Hutan Kemasyarakatan · Hutan Rakyat · Kehutanan Masyarakat

· Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) · Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (PHOM) · Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)

· Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) · Pengelolaan Hutan Bersama secara Adaptif (PHBA)

· Pengelolaan Hutan dalam Kemitraan . Perhutanan Sosial

.Sistem Hutan Kerakyatan

Cifor (2002) menyebutkan pengembangan program hutan kemasyarakatan seharusnya mempertimbangkan :1.) Desentralisasi dan kepastian ruang kelola sosial forestri; 2.) Penguatan penguatan institusi lokal dan proses belajar bersama; 3) Koordinasi dan keselarasan kerja inisiator

Untuk mendorong hutan kemasyarakatan ke depan, pemerintah pusat termasuk Departemen Kehutanan perlu mengembangkan mekanisme untuk memfasilitasi kegiatan penyuluhan, pertemuan multipihak, berbagi dana dan menyebarkan informasi tentang hutan kemasyarakatan.

Seperti juga digariskan oleh Menhutbun (1999) bahwa Pemanfaatan sumberdaya hutan di masa mendatang tidak hanya pendekatan produksi tetapi dilakukan dengan pola manajemen sumberdaya alam dalam suatu sinergitas antara aspek ekonomi, sosial, dan ekologi melalui pendekatan pembangunan yang berpihak kepada masyarakat banyak (community based development).

Strategi pengelolaan hutan berbasis masyarakat memberikan peluang untuk mengurangi berbagai kendala dan memecahkan masalah antara lain:

1) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan

2) Meningkatkan saling percaya antara pemerintah dan masyarakat 3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat

21 4) Pendekatan resolusi konflik yang terjadi

5) Pemanfaatan hutan secara optimal 6) Memecahkan masalah land tenurial

7) Memperbaiki lingkungan dan kondisi hutan (Supriadi, 2002)

Berbagai model hutan kemasyarakatan pada prinsipnya adalah melibatkan partisipasi masyarakat dalam merehabilitasi hutan yang rusak dan mencegah laju deforestasi. Diharapkan dengan model ini dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar hutan.

Sasaran program adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Bagaimana sektor kehutanan dapat berperan dalam mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi terutama bagi masyarakat di sekitar hutan. Hutan kemasyarakatan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama. Sistem pengelolaan hutan dalam hutan kemasyarakatan meliputi seluruh kegiatan pengelolaan secara komprehensif meliputi menanam , memelihara, dan memanfaatkan. Untuk pelaksanaan pengelolaan perlu penguatan kelembagaan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.

Awang (2003) menyebutkan butir-butir penting dari hutan kemasyarakatan :

(1) fokus pengelolaan hutan pada upaya perlindungan, konservasi, dan kegiatan ekonomi; (2) aktor utama pengelola hutan adalah masyarakat; (3) pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan pengawas; (4) Pemberdayaan dan penguatan masyarakat lokal dan industri kehutanan; dan (5) pelaksanaan sesuai dengan spesifik lokal sehingga tidak perlu keseragaman.

Dalam pembentukan kawasan pengelolaan hutan kemasyarakatan perlu mempertimbangkan : karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembangaan masyarakat setempat termasuk hutan adat dan batas administrasi pemerintahan ( Prahasto dan Irawanti, 2002).

Hutan kemasyarakatan menuntut keterlibatan rakyat dalam mengelola sumberdaya hutan. Dalam pemanfaatan lahan hutan harus diidentifikasi prioritas kawasan untuk berbagai tipe hutan kemasyarakatan bergantung dari kebutuhan penduduk di sekitar hutan. Perluanya negosiasi dan melibatkan partisipasi dari masyarakat.

22 Pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah salah satu prinsip pengelolaan hutan yang seharusnya memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan atau berbasis pada hutan. Ada berbagai macam tafsiran mengenai pengertian berbasis masyarakat. Sebagian pihak mengatakan hak, kedaulatan dan keterlibatan masyarakat dalam mengambil keputusan menyangkut masyarakat. Keterlibatan, peran serta atau kebersamaan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang juga harus diperhatikan di samping kebutuhan dan kesejahteraan mengelola hutan bisa dinyatakan dalam berbagai bentuk yakni dengan memberi bantuan, mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, instruksi, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil, bahkan eksploitasi masyarakat atau benar- benar sebagai mitra yang sejajar dalam setiap pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasinya (Djogo, 2004).