• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 25 Pendapatan petani dari PHBM

7.7 Konflik Kepentingan Dalam Implementasi PHBM

Nota perjanjian kerja sama yang sudah mengatur semua hal dalam pelaksanaaan PHBM pada kenyataannya tidak selalu dapat dilaksanakan dengan mulus. Dalam pelaksanaan PHBM di BKPH Parung Panjang masih terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat laten dan manifest. Konflik bisa ditemukan dalam bentuk rumor, perbincangan yang terjadi di kalangan masyarakat, atau ketegangan hubungan antara pengurus LMDH dengan mandor Perhutani. Pihak-pihak yang sering berkonflik antara lain masyarakat (MDH), aparat Perhutani, aparat desa, aparat kecamatan, pihak kepolisian dan militer, aparat pemda, dan pihak legislatif.

Pada negara melekat kekuasaan yang sebenarnya bisa digunakan untuk merosuli konflik, tetapi justru belum dilakukakannya. Negara memiliki pandangan yang menyesatkan misalnya: (1) menganggap hutan seolah tak berpenghuni (2) melakukan tindakan sepihak atas nama kepentingan umum (3) menempatkan masyarakat yang tinggal di dalam hutan sebagai perambah (4) tidak menghargai

105 kearifan lokal (5) menyederhanakan masalah dengan cara memberikan solusi serba material atas kerugian yang dirasakan masyarakat (Tadjudin, D.2000). Pandangan menyesatkan ini secara langsung telah menempatkan masyarakat dalam posisi diametral sebagai lawan dari pemerintah.

Permasalahan awal yang melatarbelakangi merebaknya konflik kehutanan berupa benturan paradigma pembangunan, sistem penguasaan

(tenurial system), alokasi dan manajemen SDH yang banyak persoalan di masa

lalu. Akan tetapi harus disadari bahwa konflik yang sering terjadi tidak berdiri sendiri, karena terkait erat dengan sistem ekonomi dan politik global.

Konflik kepentingan terjadi karena persaingan kepentingan yang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar (uang dan sumber daya), masalah sikap, atau masalah psikologis (persepsi, keadilan, rasa hormat). Banyak kasus yang terjadi berkenaan dalam konflik kepentingan, pihak-pihak yang terlibat mulai terlihat jelas dan cenderung menimbulkan konflik yang terbuka.

Benturan yang paling sering terjadi adalah antara aparat lapangan (mandor), dengan MDH saat aparat cenderung menutup-nutupi informasi dengan berbagai alasan. Contoh di lapangan, masyarakat berkepentingan untuk mendapatkan hak-hak mereka seutuhnya, sebaliknya aparat Perhutani di lapangan berkepentingan untuk menyelesaikan program tanaman dan pengamanan hutan dengan cepat, efisien. Salah satu bentuknya mandor mempekerjakan tenaga kerja upahan yang murah dan tidak banyak menuntut atau rewel.

Konflik-konflik yang terjadi di beberapa LMDH di Parung Panjang diantaranya:

1. Konflik pengurus LMDH dengan petugas Perhutani terkait dengan pembagian lahan garapan setelah selesai penebangan. Seringkali pembagian lahan garapan dilakukan antara mandor dan penggarap secara langsung tanpa musyawarah dengan LMDH.

2. Konflik terkait dengan belum diterimanya bagi hasil setelah penebangan kayu.

106 3. Konflik juga terjadi berkaitan dengan pencurian kayu oleh penggarap di petak yang dipelihara oleh KTH/LMDH. Penyelesaiannya melalui mekanisme internal di LMDH dengan membuat

4. Konflik juga terjadi berawal dari kasus pencurian yang dilakukan oleh oknum pengurus KTH/LMDH, atau keluarga dari petugas yang penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum.

5. Konflik karena perbedaan persepsi menurut para mandor penggarap belum mengetahui prinsip PHBM, penggarap maunya bagi hasilnya saja.Sebaliknya petani juga menganggap mandor mau menang sendiri

6. Mengapa kalau mandor yang mengerjakan penanaman dan pemeliharaan yang dapat bagi hasil bukan untuk mandor.

Untuk melakukan pemetaan konflik sosial terkait dengan degradasi lingkungan dan sumber daya alam sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan; (2) gerakan-gerakan sosial yang merespon degradasi lingkungan tersebut dalam bentuk aksi mempengaruhi pelbagai pihak untuk mengubah kebijakan tersebut. Faktor-faktor yang determinan mempengaruhi degradasi lingkungan dapat diterangkan melalui dua macam penjelasan, yaitu: (1) secara ekologis dan (2) ekonomi politik (Usman 2004).

Penjelasan ekologis mengasumsikan bahwa degradasi lingkungan sebagai kondisi buruk ketika terjadi ketidakseimbangan antara supply depot (tempat yang menyediakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia), waste

repository (tempat pembuangan barang yang dipergunakan oleh manusia) dan

living space (tempat makhluk mempertahankan hidup dan kehidupan). Dalam

konteks ini, supply depot telah berkembang sedemikian rupa sehingga waste

repository mengganggu keberadaan living space. Sementara itu dalam

eksplanasi ekonomi politik, degradasi sumber daya alam diasumsikan sebagai kondisi buruk akibat dari kegiatan ekonomi para pemilik modal.

Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan, hak masyarakat dalam mengakses sumberdaya alam, dan kepemilikan lahan telah mengakibatkan ketegangan dan mengakibatkan peningkatan degradasi hutan. Konflik-konflik yang terjadi dalam kawasan hutan selama ini terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan

107 masyarakat. Secara de jure Kawasan Hutan berada dalam penguasaan Negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak.

Aparat Negara mengartikan bahwa kawasan hutan mutlak dalam penguasaan pemerintah jika ada yang memanfaatkan lahan hutan disebut sebagai penjarah, pencuri, blandong dan lain-lain. Untuk menyelesaikan penjarah akan dilakukan kekerasan untuk mengusirnya. Secara teknis perhutani memakai standar penanganan represi sebagai upaya untuk mengamankan hutan.

Beberapa hal yang dapat menyebabkan timbulnya konflik, antara lain yaitu:1). Salah pengertian atau salah paham karena kegagalan komunikasi.2). Perbedaan tujuan karena perbedaan nilai hidup yang dipegang.3). Rebutan dan persaingan sumber daya. 4). Kurang jelasnya wewenang dan tanggung jawab.5). Penafsiran yang berbeda atas suatu hal, perkara dan peristiwa yang sama. 6). Kurangnya kerjasama.7). Perubahan dalam sasaran dan prosedur kerja.

Adanya klaim hak rakyat terhadap kawasan hutan merupakan indikator bahwa kawasan tersebut sangat rawan konflik. Konflik muncul mulai dari klaim tanah bahkan sampai konflik pardigma tentang kepemilikan dan pemanfaatan lahan. Masyarakat yang telah lama menempati kawasan merasa hak-hak tradisional mereka direbut. Dalam menghadapi kondisi masyarakat seperti ini sangat penting adanya pengakuan terhadap hak-hak rakyat. Persepsi tentang ketidakadilan dapat menjadi sumber berbagai masalah, dari apatisme, konflik, pencurian, dan kekerasan.

Persoalan konflik pengelolaan sumberdaya hutan itu terutama berakar pada dua hal, yaitu: (1) kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang dikembangkan di atas sistem yang mengutamakan konsep milik negara (state property) dan mengabaikan konsep milik pribadi (private property) dan milik komunal (communal property), dan (2) penempatan sumberdaya alam sebagai aset ekonomi atau faktor produksi secara berlebihan. Akar persoalan itu lebih pada tataran struktural, terutama dalam konteks kelembagaan, karena itu resolusi konflik lingkungan dan sumber daya alam harus dibangun dari konteks struktural pula.

108 Garis besar konflik pengelolaan sumber daya hutan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal (Fisfer,dkk, 2000). Konflik vertikal adalah konflik yang melibatkan masyarakat di sekitar hutan dengan pihak-pihak lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya hutan. Pihak-pihak antara lain: Perum Perhutani, Departemen Kehutanan, Pemerintah Daerah, pengusaha kayu, dan aparat keamanan. Sedangkan konflik horisontal adalah konflik yang terjadi antarkelompok dalam masyarakat sendiri. Konflik ini melibatkan kelompok- kelompok masyarakat atau keluarga-keluarga dalam masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda.

Konflik yang terjadi bisa disebabkan konflik nilai dan konflik struktural. Konflik nilai sering terjadi karena sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya, menjelaskan yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai memang tidak selalu menimbulkan konflik, sebab manusia dapat saja hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai akan muncul ketika suatu pihak berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan interpretasi.

Konflik struktural merupakan konflik yang terjadi ketika muncul ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan berwewenang untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan struktur kekuasan serta pengambilan keputusan yang menguntungkan pada salah satu pihak.

Kasus konflik struktural dapat dilihat dalam kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini sangat sentralistik tidak pernah sampai kepada level operasional di daerah. Aparat pemda tidak pernah mengetahui atau terlibat dalam persoalan-persoalan pengelolaan hutan Perum Perhutani. Demikian pula kecamatan, kelurahan dan aparat keamanan hanya mengetahui permukaannya saja sementara masalah- masalah substansi kebijakan pengelolaan hutan tidak pernah diketahui dengan jelas.

109 Dalam pola kemitraan usaha perkebunan, berbagai sumber konflik yang muncul terjadi karena adanya sejumlah ketidakharmonisan, keselarasan, dan ketimpangan atau incompatibilitas. Paling tidak terdapat tiga macam

incompatibilitas, yaitu : 1) ketimpangan dalam struktur pemilikan aset, (2)

ketimpangan persepsi dan konsepsi (3) ketimpangan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan (Cristodoulou dalam wiradi 2000). Berbagai program kemitraan usaha perkebunan yang sebagain besar prosesnya menggunakan pendekatan kekuasaan disertai dengan munculnya konflik.

Beberapa kasus konflik seringkali menempati banyak ruang dan untuk proses pengelolaannya memerlukan pendalaman yang cukup kompleks. Pada bagian lain, konflik dapat bergeser dan berpindah dari ruang yang satu ke ruang yang lain dengan konsekuensi bahwa konflik akan semakin berat ataupun sebaliknya. Pendekatan manajemen konflik yang dilakukan tidaklah bersifat terpisah satu dengan lain, namun merupakan inisiatif yang berjalan simultan dan terus-menerus. Manajemen konflik kehutanan bagaimanapun tidak dapat terlepas dari perkembangan paradigma kehutanan global, ideologi pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (Orstom, 1990).

Konflik bukan merupakan hal yang statis, tetapi dinamis dan mempunyai proses sendiri. Lingkaran konflik terdiri dari hal-hal berikut (Hardjana, 1994), yaitu:

1. Kondisi yang mendahului. Kondisi ini terdiri dari faktor-faktor yang pada umumnya membawa pada konflik.

2. Kemungkinan konflik yang dilihat. Pada tahap ini satu atau beberapa pihak yang terlibat melihat kemungkinan adanya konflik di antara mereka

3. Konflik yang dirasa. Pada tahap ini, benturan kepentingan dan kebutuhan terjadi. Satu pihak atau beberapa pihak yang terlibat melihat keadaan yang tidak memuaskan, menghambat, menakutkan, dan mengancam.

4. Perilaku yang tampak. Pada waktu konflik sudah terjadi orang-orang menanggapi dan mengambil tindakan. Bentuknya dapat secara lisan, seperti saling mendiamkan, bertengkar, berdebat, atau nyata dalam perbuatan seperti bersaing, bermusuhan, atau menyerang.

5. Konflik ditekan atau dikelola. Pada tahap ini konflik yang sudah terjadi dapat ditekan, artinya konflik ditiadakan. Secara alamiah konflik itu tampak seperti sudah selesai, meskipun masalah intinya tidak ditangani, dan pihak-pihak yang berkonflik hanya sekedar berdampingan dalam suasana panas itu.

110 6. Sesudah konflik diselesaikan. Bila konflik tidak dikelola dan diselesaikan,

pihak-pihak yang terlihat dalam konflik menanggung segala akibatnya entah bagi diri sendiri, kerja, hubungan, dengan orang lain atau lembaga tempat orang bekerja.

Pengelolaan konflik secara garis besar dapat digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu (Hardjana, 1994):

1. Bersaing, bertanding (competiting), menguasai (dominating) atau memaksa

(forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri

menang-kalah (win-lose approach). Pendekatan ini ditempuh jika tujuan penting, sedangkan hubungan baik dengan orang yang menjadi lawan konflik tidak penting.

2. Kerjasama (collaborating) atau menghadapi (confronting). Dengan cara pengelolaan konflik ini, kedua pihak yang terlibat dalam konflik bekerjasama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara pengelolaan ini merupakan pendekatan menang-menang (win- win approach). Cara ini ditempuh jika tujuan amat penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga amat penting.

3. Kompromi (compromising) atau berunding (negotiating). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang atau kalah (neither win-win nor lose-lose approach). Cara ini ditempuh jika tujuan kepentingannya sedang-sedang saja dan hubungan baik dengan lawan konflik juga sedang-sedang saja kepentingannya.

4. Menghindari (avoiding) atau menarik diri (withdrawal). Cara pengelolaan konflik menghindari merupakan pendekatan kalah-kalah (lose-lose approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga tidak penting.

5. Menyesuaikan (accomodating), memperlunak (smoothing) atau menurut

(obliging). Cara pengelolaan menyesuaikan merupakan pendekatan kalah-

menang (lose-win approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting, tetapi hubungan dengan lawan konflik penting.

Resolusi konflik (dispute resolution) merupakan seluruh metode, praktik, dan teknik, resmi ataupun tidak, melalui atau di luar pengadilan, yang digunakan untuk menyelesaikan konflik (miall, dkk, 1993). Secara luas, resolusi konflik dimaksudkan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial. Resolusi konflik ini bisa terjadi melalui usaha atas kesadaran sendiri untuk mencapai kesepakatan,

111 atau bisa juga terjadi akibat berbagai penyebab lain, seperti perubahan lingkungan, pengaruh pihak ketiga, kemenangan salah satu pihak. Sedangkan secara lebih spesifik, resolusi konflik didefinisikan sebagai reduksi nyata dari suatu konflik sosial dalam rangka membangun kesadaran dari permasalahan pertikaian (issues in dispute).

Sardjono (2004) menawarkan delapan prosedur umum penyelesaian konflik, yaitu:

1. Lumping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan

(simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. Prosedur

ini dilakukan karena penuntut (claimants) kekurangan informasi atau akses terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap keberhasilan tuntutan akan rendah dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk itu terlalu besar atau tidak sebanding dengan pencapaian hasilnya.

2. Avoidance atau exit, yaitu mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Berbeda dengan lumping it yang tetap memelihara hubungan dan mengabaikan konflik. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan- alasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologi.

3. Coercion, yaitu suatu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan, sebagaimana banyak terjadi di masyarakat.

4. Negotiation, yaitu kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama- sama tanpa melibatkan pihak ketiga. Kedua belah pihak tersebut tidak mencari solusi masalah sesuai peraturan yang berlaku, melainkan menciptakan peraturan diantara mereka sendiri. Pemahaman ini mencakup pemecahan masalah kolaboratif (collaborative problem solving) dan negosiasi.

5. Concilliation, yaitu mengajak kedua belah pihak yang bersengketa untuk

bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. Konsiliator (conciliator) tidak selalu berperan aktif dalam negosiasi selanjutnya, meskipun yang bersangkutan dapat saja bertindak demikian dalam kapasiitas tertentu atas permintaan pihak-pihak yang bertikai.

112 6. Mediation, adalah pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk

membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Mediator bisa ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mewakili otoritas di luar pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bersengketa menyetujui intervensi mediator tersebut. Praktek ini dikenal luas di masyarakat.

7. Arbitration, bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui

intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.

8. Adjudication, yaitu adanya intervensi dari pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan memutuskan perkara. Sistem pengadilan merupakan contoh proses ajudikasi.

Perhutani sebenarnya mempunyai strategi-strategi pengamanan yang beragam seperti : 1) Prioritas preemtif 2) Prosperity approach (pendekatan kesejahteraan), 3).penyediaan lapangan pekerjaan dan peluang usaha bagi masyarakat), 4).kerjasama pengembangan usaha produktif, program kesehatan masyarakat 5). Education approach (pendekatan pendidikan), 6) Pendidikan lingkungan dan manfaat kelestarian hutan, penyuluhan-penyuluhan formal dan informal, pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan, 7). Participation approach (pendekatan partisipatif) 8). Peningkatan peran bersama stake holder (pemda, LSM, masyarakat) serta penyusunan program PHBM.

Perlu segara dipikirkan kebijakan nasional untuk menyelesaika persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah komunitas atau desa. Sejumlah masalah yang sangat genting, yaitu: a) menurunya kemampuan untuk menjaga keselamatan rakyat, b) menurunnya produksi rakyat, dan c) menurunnya kesinambungan layanan alam. Bagaimana agar ada kebijkan yang benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat yang mencakup tiga persoalan utama, yakni keselamatan rakyat, peningkatan produktivitas, dan kelangsungan pelayanan alam (Karsa, 2002).

7.8 Ikhtisar

Lembaga baru yang dibentuk untuk melaksanakan PHBM belum dapat berfungsi secara optimal. Aktivitas kelompok sangat dipengaruhi kemampuan pengurus untuk dapat menggerakkan roda organisasi dalam menampung aspirasi dan dinamika masyarakat. Implementasi PHBM berlangsung tidak

113 seragam dan dipengaruhi berbagai faktor baik internal lembaga maupun eksternal. Di tiga desa penelitian aktivitas LMDH berbeda-beda kondisinya.

sangat penting untuk memperkuat LMDH agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Kelangsungan kehutanan masyarakat hanya dapat dilakukan dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi social masyarakat.

Dalam PHBM pada praktiknya masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan. Pihak Perhutani masih mendominasi, mandor terlihat setengah hati dalam mengembangkan program. Kebanyakan petani belum sadar akan kedudukannya sebagai mitra, masih sebagai objek program. Dari teks perjanjian kerja sama, terlihat adanya ketidaksetaraan kedudukan antara kelompok tani dengan Perhutani. Diberikannya sanksi-sanksi yang menekan diberlakukan kepada petani Faktor keamanan hutan juga lebih banyak dibebankan kepada petani.

Bagi hasil ini dalam PHBM ditujukan untuk meningkatkan nilai dan keberlanjutan fungsi serta manfaat sumberdaya hutan. Sistem bagi hasil yang digunakan di BKPH Parung Panjang untuk jenis pohon Acasia mangium dengan daur 8 - 10 tahun : hasil dari penjarangan pertama pada umur 3 tahun, kayu bakar dan kayu perkakas 100% milik petani. Jika penjarangan pertama dilakukan pada umur lebih dari 3 tahun untuk kayu bakar 100 % milik petani, sedangkan untuk kayu perkakas bagi hasilnya diatur. Pada tebang habis petani mendapatkan 25 %.

Kepemimpinan local yang ada di lapangan tidak sepenuhnya terakomodasi padahal tidak semua pengurus LMDH mampu menggerakkan seluruh anggota. Pemimpin nonformal seperti sesepuh, kiai mempunyai pengaruh yang besar dan menjadi panutan warga masyarakat. Sebaliknya pengurus LMDH yang secara formal menjadi pengurus malahan tidak sepenuhnya mampu menggerakkan masyarakat.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Sedangkan keterlibatan petani dalam perencanaan, keikutsertaaan dalam rapat perencanaan, keterlibatan dan evaluasi dapat dilihat tingkat partisipasi petani rendah.

114 Konflik-konflik yang terjadi antara pengurus LMDH dengan petugas Perhutani terkait dengan pembagian lahan garapan setelah selesai penebangan. Konflik keuangan terkait dengan belum diterimanya bagi hasil setelah penebangan kayu. pencurian kayu oleh penggarap di petak yang dipelihara oleh KTH/LMDH atau penanaman dan pemeliharaan yang dapat bagi hasil bukan untuk mandor. Konflik juga terjadi berawal dari kasus pencurian yang dilakukan oleh oknum pengurus KTH/LMDH, atau keluarga dari petugas yang penyelesaiannya dilakukan melalui jalur hukum. Konflik karena perbedaan persepsi menurut para mandor penggarap belum mengetahui prinsip PHBM, penggarap maunya bagi hasilnya saja.Sebaliknya petani juga menganggap mandor mau menang sendiri

PHBM sampai saat ini memang telah menunjukan hasil seperti meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan hutan, menurunnya gangguan keamanan hutan, peningkatan pendapatan rakayat, semakin eksisnya keberadaan LMDH.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %. Sedangkan keterlibatan petani dalam perencanaan, keikutsertaaan dalam rapat perencanaan, keterlibatan dan evaluasi dapat dilihat tingkat partisipasi petani rendah.. Mayoritas petani mengetahui adanya perjanjian kerja sama, tetapi kurang dari separuh (44,4%) yang membaca isi perjanjian kerja sama sedangkan separuh lebih belum pernah membaca isi perjanjian.

Dalam pelaksanaan PHBM masih terjadi berbagai konflik. Konflik yang terjadi bisa bersifat laten dan manifest. Konflik laten bisa ditemukan dalam bentuk rumor, perbincangan, keluhan dari petani, sedangkan yang manifest ada ketegangan hubungan antara pengurus LMDH dengan mandor Perhutani.

115 BAB VIII