• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk menganalisis tujuan kedua tentang kelembagaan, pengolahan data kualitatif didasarkan pada fakta-fakta dan informasi yang dihasilkan.

MODEL-MODEL HUTAN KEMASYAKATAN DAN KRITIK TERHADAP PHBM

5.2 Hubungan Perhutani dengan Masyarakat Sekitar Hutan

Pengelolaan hutan di Pulau Jawa dan Madura dimulai sejak zaman Pemerintahan Belanda dengan sejarah pengelolaan yang cukup panjang. Pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Deandels, awal tahun 1800-an dibangun hutan tanaman khususnya jati. Selanjutnya pada tahun 1986 dikeluarkan Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura. Pada masa periode inilah pengelolaan hutan (timber management) dimulai.

Perum Perhutani menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun 1972 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 15 tahun 1972 dengan wilayah kerja pada awalnya kawasan hutan negara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan PP nomor 2 tahun 1978, kawasan wilayah kerjanya diperluas sampai kawasan hutan negara di provinsi Jawa Barat.

Pada tahun 1986, Perum Perhutani mengalami penyesuaian berdasarkan PP nomor 36 tahun 1986 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan disempurnakan kembali melalui penetapan PP nomor 53 tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Sesuai PP nomor 14 tahun 2001, Pemerintah menetapkan Perhutani sebagai BUMN dengan bentuk Perseroan Terbatas (PT). Dengan berbagai pertimbangan dari segala aspek, keberadaan Perhutani sebagai perseroan dikembalikan menjadi

56 Perum berdasarkan PP nomor 30 tahun 2003. Dalam operasionalnya Perum Perhutani di bawah koordinasi Kementerian Negara BUMN dan dengan bimbingan teknis dari Departemen Kehutanan. Dalam menjalankan tugasnya Perum Perhutani dipimpin oleh direksi yang bertanggung jawab atas kepengurusan perusahaan dan Dewan Pengawas yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi.

Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Jawa Barat dan Banten seluas 2.426.206 hektar. Luas tersebut tidak termasuk kawasan hutan suaka alam dan wisata yang dikelola oleh Ditjen PHPA Departemen Kehutanan. Berdasarkan amanat UU nomor 41 tentang Kehutanan, minimal 30% merupakan luasan hutan dibanding daratan. Kondisi yang ada saat ini adalah sekitar 24% sehingga perlu dipertahankan keberadaannya sehingga dapat berperan mempertahankan daya dukung lingkungan.

Tabel 11. Wilayah kerja dan luas hutan Perhutani

Unit Kerja Provinsi Hutan Produksi (Ha) Hutan Lindung (Ha) Total Luas (Ha) Unit I Jawa Tengah 546.290 84.430 630.720

Unit II Jawa Timur 809.959 326.520 1.136.479 Unit III Jawa Barat

Banten 349.649 61.406 230.708 17.244 580.357 78.650 Jumlah 1.767.304 658.902 2.426.206 Sumber : Perhutani 2008

Dalam upaya memulihkan potensi sumberdaya hutan yang berupa lahan kosong seluas 396.985 hektar, Perum Perhutani mencanangkan Perhutani hijau 2010. Rehabilitasi hutan seluas ± 100.000 hektar per tahun, dengan penanaman jenis Jati Plus Perhutani.

Rehabilitasi hutan dilaksanakan di lokasi bekas tebangan dan kawasan tidak produktif. Pelaksanaan reboisasi melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) baik dengan tanam tumpangsari atau banjar harian, penetapan pola tanam, optimalisasi ruang, maupun pengembangan usaha produktif. Reboisasi hutan dengan sistem tumpangsari memberikan kontribusi besar dalam produksi pangan. Dalam jangka pendek sistem tumpangsari memberikan hasil dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang signifikan.

57 Pemeliharaan hutan bertujuan untuk mendapatkan tegakan yang berkualitas dan bernilai ekonomi tinggi pada akhir daur. Kegiatan pemeliharaan hutan meliputi penyiangan, wiwil (pembersihan tunas air), pruning (pemangkasan cabang), penjarangan, pencegahan terhadap hama dan penyakit, pencegahan gangguan penggembalaan dan perlindungan hutan lainnya.

Perlindungan hutan merupakan upaya untuk mencegah kerusakan dari gangguan keamanan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, meliputi : pencurian pohon, okupasi lahan, penggembalaan liar, kebakaran hutan, dan bencana alam. Upaya pengamanan hutan dilakukan secara preemtif, persuasif, preventif dan represif dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat desa hutan melalui sistem PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Upaya represif dilaksanakan bekerja sama dengan jajaran kepolisian dan aparat keamanan lainnya.

Total asset Perhutani pada tahun 2007 tercatat 1.413,402 milyar sedangkan tahun 2008 sebesar Rp.1.526,712 milyar. Margin keuntungan pada tahun 2008 mengalami peningkatan keuntungan sebesar Rp 200,318 milyar sedangkan tahun 2007 sebesar Rp.51,475 milyar (Perhutani 2007).

Jika melihat apa yang menjadi visi Perhutani yaitu: m

Perum Perhutani pada dasarnya memainkan tiga peran pokok, yaitu sebagai penguasa tanah hutan, perusahaan kehutanan, dan institusi konservasi hutan. Misi Perum Perhutani sebagai berikut : 1). Mengelola sumberdaya hutan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari berdasarkan karakteristik wilayah dan daya dukung daerah aliran sungai (DAS) serta meningkatkan manfaat hasil hutan kayu dan non-kayu, ekowisata, jasa lingkungan, agroforestri serta potensi usaha berbasis kehutanan lainnya guna menghasilkan keuntungan untuk menjamin pertumbuhan perusahaan secara berkelanjutan. 2). Membangun dan mengembangkan perusahaan, organisasi serta sumberdaya manusia perusahaan yang modern, profesional dan handal serta memberdayakan masyarakat desa hutan melalui pengembangan lembaga perekonomian koperasi

enjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seharusnya faktor kelestarian hutan, dan kemakmuran rakyat menjadi titik pijak semua aktivitas perusahaan. Pencapaian agar rakyat makmur sejahtera selayaknya mendapatkan prioritas pertama. Oleh karena itu program-program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan bisa menjadi pintu masuk untuk dapat mencapai tujuan pengelolaan hutan di Jawa.

58 masyarakat desa hutan atau koperasi petani hutan. 3). Mendukung dan turut berperan serta dalam pembangunan wilayah secara regional dan nasional, serta memberikan kontribusi secara aktif dalam penyelesaian masalah lingkungan regional, nasional dan internasional (SK Nomor : 17/Kpts/Dir/2009 tanggal 9 Januari 2009).

Hubungan antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan kondisi sosial politik yang melingkunginya. Pada masa orde baru, berbagai kebijakan yang menempatkan hutan sebagai objek eksploitasi demi pertumbuhan ekonomi dan akumulasi modal. Sebaliknya keterlibatan masyarakat tidak diberikan ruang yang memadai dalam pengelolaan hutan. Konflik antara Perhutani dengan penduduk karena tidak ditemukannya kesatuan padang antara negara dan/atau para ”pengelola formal” kawasan hutan dengan aspirasi penduduk yang hidup dan

berkembang di sekitar kawasan tersebut.

Dengan model magersari, rakyat hanya “numpang hidup” di lahan-lahan yang dikelola Perhutani dengan menanam tanaman pangan di sela-sela tanaman pokok. Rakyat boleh menggarap lahan hutan untuk ditanami tanaman pangan seperti padi, jagung, singkong. Di sela-sela tanaman itu rakyat harus menanam jati dengan jarak yang rapat. Waktunya dibatasi sampai dua tahun. Bentuk lainnya rakyat sebagai orang upahan yang bekerja dan diperintah oleh para mandor baik dalam penanaman, pemeliharaan, dan pemanen hasil hutun.

Pada era reformasi ketika euforia politik terjadi, negara dalam posisi lemah, sebaliknya kuasa rakyat berada dalam posisi kuat. Masyarakat di sekitar hutan seperti lepas dari belenggu yang mengungkung mereka selama ratusan tahun. Pencurian hasil hutan, penjarahan melanda, okupasi lahan untuk dijadikan areal pertanian (tanaman pangan, buah-buahan) terjadi secara massif di hampir semua wilayah Perhutani. Perhutani tidak mampu berbuat banyak dengan kondisi yang terjadi.

Keberadaan Perhutani, sebagai pengelola tunggal hutan di Jawa juga tidak bebas dari kritik. Perusahaan milik negara ini digugat oleh para LSM agar dilakukan audit sebagai langkah awal dalam meletakkan dasar baru penguasaan dan pengelolaan hutan di Indonesia. Sejumlah LSM di Jawa Barat pada tahun

2008 melakukan protes dengan menuntut pembubaran Perhutani karena dalam

kegiatan operasionalnya di lapangan seringkali bermusuhan atau curiga dengan masyarakat. Masyarakat dianggap perusak dan penjarah hutan, sehingga dalam

59 pengelolaan dan pelestarian hutan kurang melibatkan partisipasi rakyat. Kalangan LSM menganggap bahwa Perhutani selayaknya direorganisasi, peran serta masyarakat diperluas, sehingga hutan dapat berkontribusi bagi seluruh rakyat khususnya bagi masyarakat sekitar hutan.(Kompas 2008).