• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Masyarakat Sekitar Hutan Yang Terpinggirkan

Hutan merupakan sumberdaya alam yang penting bagi masyarakat di sekitarnya. Hutan menyediakan pangan, bahan bakar, tempat tinggal, dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Tetapi seringkali hak-hak masyarakat penghuni hutan yang hidupnya bergantung pada hutan tidak diakui keberadaannya. Masyakat juga tidak diberi kesempatan untuk ikut menentukan dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan dan peraturan nasional mengenai hutan.

Kebijakan pengelolaan hutan lebih menguntungkan kalangan elit sementara banyak penduduk penduduk di sekitar hutan tersisihkan. Terdapat pandangan yang menyesatkan dan menyudutkan penduduk di sekitar hutan dengan anggapan : (1) jumlah penduduk yang hidup di sekitar hutan hanya sedikit, (2) masyarakat penghuni hutan melakukan pemanfaatan sumberdaya alam milik umum secara liar atau ilegal (3) masyarakat senantiasa merusak hutan terutama dengan sistem perladangan tebas bakar. Sementara banyak bukti menunjukkan bahwa masyarakat penghuni hutan dapat melindungi keanekaragaman hayati dan mengelola ekosistem setempat secara lestari (Lynch & Talbott, 2001).

Sejak awal, peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan hutan mengandung banyak permasalahan. Peraturan yang pertama dikeluarkan pada tahun 1865 yaitu Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang- Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865). Kemudian disusul dengan peraturan agraria disebut Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat dibuktikan adanya hak di atasnya maka menjadi domain pemerintah.

Setelah Indonesia merdeka, hukum pengelolaan hutan yang berlaku dalam wilayah Republik Indonesia masih berupa peraturan perundang-undangan kehutanan peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1964, pemerintah membentuk Departemen Kehutanan sebagai institusi negara yang

2 diberi wewenang mengelola dan mengusahakan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu tugas Departemen Kehutanan adalah merencanakan, membimbing, mengawasi, dan melaksanakan usaha-usaha pemanfaatan hutan dan kehutanan, terutama produksi dalam arti yang luas di bidang kehutanan, untuk meninggikan derajat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dan negara secara kekal.

Saat Orde Baru, orientasi pembangunan ekonomi nasional adalah mengejar pertumbuhan ekonomi. Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan: (1) membuka peluang ekonomi dan kesempatan berusaha dengan mengundang sebanyak mungkin pemilik modal (2) pemerintah secara sadar mengeksploitasi sumber daya hutan dan kekayaan alam lainnya, terutama minyak dan gas bumi, sebagai sumber pendapatan dan devisa negara untuk membiayai pembangunan nasional.

Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan yang bercorak kapital dan berorientasi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi ini, pemerintah membuat instrumen hukum yang dimulai dengan pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), kemudian disusul dengan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

Selain minyak dan gas bumi, sumber daya hutan menjadi andalan utama pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan hutan. Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi instrumen untuk mendukung peningkatan penanaman modal di bidang pengusahaan sumber daya hutan. Untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan, dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 jo PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini, mulailah kegiatan eksploitasi sumber daya hutan secara besar-besaran dilakukan terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pemberian konsesi HPH dan HPHH diberikan kepada pemilik modal asing dan modal dalam negeri baik dalam bentuk Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dari segi ekonomi pemberian konsesi HPH dan HPHH kepada swasta dan BUMN memang secara nyata memberi kontribusi yang positif bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi dampak dari segi

3 ekologi cukup serius, degradasi hutan tropis terjadi di berbagai kawasan di Indonesia. Hutan Indonesia mengalami degradasi yang terus berkelanjutan. Sebaliknya rakyat yang berada di sekitar hutan merasakan semakin hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat. Kelompok masyarakat lokal, terutama masyarakat yang secara turun-temurun hidup dan tinggal di sekitar hutan, sebagai korban-korban pembangunan, yang tergusur dan terabaikan serta tertutupnya akses dan hak-hak rakyat atas sumber daya hutan.

Kebijakan pemberian konsesi pengusahaan hutan kepada pemegang HPH, atau BUMN tidak dilandasi dengan kebijakan perencanaan pengelolaan sumber daya hutan yang terstruktur. Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hutan PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan baru dikeluarkan pemerintah setelah operasional HPH dan HPHH berlangsung selama lebih dari 15 tahun lamanya. Oleh karena itu, dapat diprediksi jika kemudian terjadi eksploitasi sumber daya hutan secara tak terkendali oleh para pemegang konsesi HPH dan HPHH. Sebagai konsekuensinya kondisi hutan tropis Indonesia secara berkesinambungan mengalami degradasi dari tahun ke tahun.

Secara ideologis produk hukum pengelolaan hutan terutama yang berbentuk undang-undang mencerminkan ideologi pengelolaan hutan yang berbasis negara. Instrumen hukum pengelolaan hutan yang dikeluarkan pemerintah juga lebih merupakan hukum pemerintah. Hukum yang berlaku cenderung sarat dengan muatan penekanan, pengabaian, penggusuran, bahkan pembekuan akses dan hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya hutan.

Konflik-konflik yang berkepanjangan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan terus terjadi antara masyarakat lokal dengan pemerintah maupun pemegang konsesi-konsesi kehutanan. Menurut (Moniaga 2010), konflik-konflik yang terjadi dalam pengelolaan hutan setidaknya disebabkan hal- hal sebagai berikut: pertama: penetapan secara sepihak atas kawasan hutan oleh negara tanpa adanya sosialisasi. Padahal, dalam undang-undang No.41 tahun 1999 Kehutanan dalam pasal 15 disebutkan bahwa untuk menetapkan kawasan hutan pemerintah harus melakukan (1) penunjukan kawasan hutan , (2) penataan batas kawasan hutan, (3) pemetaan kawasan hutan, (4) penetapan kawasan hutan. Penetapan sepihak oleh pemerintah ini mengakibatkan konflik tenurial menjadi semakin terbuka.

Kedua: adanya tumpang tindih undang-undang yang mengatur

4 kehutanan masih berkelanjutan. Penetapan batas-batas wilayah hutan didasarkan pada peta Tata Guna Hutan Kesepakat (TGHK) dan baru 30 persen yang diukur batas-batas wilayahnya dengan jelas oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan Peraturan Presiden no.10 tahun 2006 menyebutkan bahwa hal-hal yang menyangkut persoalan tanah akan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional. Sampai dengan awal 2005, proses penatabatasan baru berhasil mencakup 12 juta hektar, atau sekitar 10% dari 120 juta hektar kawasan hutan, sisanya seluas 108 juta hektar statusnya tidak pasti dengan ketiadaan informasi atas hak-hak yang melekat pada kawasan tersebut. Luas kawasan hutan Indonesia yang resmi saat ini hanyalah 12 juta hektar, bukan 120 juta hektar seperti anggapan yang umum dipakai selama ini. Kawasan hutan yang tersisa 108 juta hektar dapat dianggap sebagai kawasan hutan nonnegara dan merupakan tanah yang dipertimbangkan oleh BPN dikuasai oleh negara, tetapi bukan tanah negara, karena pemerintah harus menentukan adanya hak-hak atas tanah. Sebagai konsekuensinya, negara tidak dapat memberikan hak pengelolaan, pengusahaan atau hak pakai atas kawasan bersangkutan hingga ditentukan apakah terdapat hak privat di atasnya. Setelah itu, Kementerian Kehutanan dapat mengeluarkan izin pemanfaatan pada kasus hutan hak, hanya kepada mereka yang memiliki hak atas tanah yang bersangkutan (Harsono 1997).

Ketiga: tertutupnya ruang partisipasi atau akses masyarakat untuk ikut memanfaatkan hasil hutan. Keempat: masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi penderita ketika pemerintah melalui aparatnya memakai cara-cara represif terhadap mereka yang berusaha memanfaatkan hasil hutan. Kelima: kegagalan pemerintah memberdayakan masyarakat desa hutan secara menyeluruh dalam sistem pengelolaan hutan, sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial masyarakat.

Keenam: keterbukaan akses informasi oleh Perhutani mengenai informasi publik seperti batas tenurial antara wilayah hutan dengan tanah milik masyarakat, kondisi ini juga sering menimbulkan konflik panjang. Perhutani mempunyai mekanisme penyelesaiannya, tetapi belum dilakukan secara bertanggung jawab.

Jika kebijakan akan terus mempertahankan pengelolaan hutan yang bercorak sentralistik, dan hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, maka kawasan hutan tropis Indonesia akan terdegradasi secara keseluruhan. Sudah saatnya pemerintah dengan mengkaji ulang dan mengganti paradigma

5 pembangunan yang berbasis negara menuju ke pembangunan sumber daya hutan yang berbasis masyarakat (community-based forest management).