• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 32 Kinerja dari PHBM dari aspek produktivitas, keberlanjutan, keadilan

8.2 Program Pengamanan Hutan melalui PHBM

Setelah terbukanya keterbukaan pascareformasi, timbul kekecewaan masyarakat terhadap cara pandang dan cara kelola dalam pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan belum mampu menyejahterakan rakyat. Perubahan- perubahan untuk perbaikan pengelolaan hutan terus digulirkan dan segera direalisasikan. Sudah cukup lama hutan di Indonesia dikelola dengan cara tidak

120 adil, tidak berkelanjutan, dan hanya menguntungkan sedikit kelompok tertentu yang diistimewakan (Kusumanto et al 2006).

Pengelolaan hutan oleh negara dalam praktiknya belum mampu menyejahterakan rakyat di sekitarnya. Keberadaan hutan tidak lagi bisa dimanfaatkan seluruhnya oleh masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Kondisi ini terus berlanjut karena negara memberikan domain penuh atas penguasaan dan pengelolaan hutan kepada Perum Perhutani, akibatnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin tertutup.

Masyarakat tidak lagi bisa menganggap bahwa hutan adalah bagian dari warisan nenek moyangnya. Undang-Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan akan dapat menjerat rakyat yang mencoba mengakses sumber daya hutan secara sepihak. Aturan hukum yang seharusnya menyejahterakan rakyat pada kenyataannya justru berlaku sebaliknya di lapangan. Produk hukum kehutanan menghilangkan hak dan akses masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani menjadi semakin sulit kehidupannya karena kesulitan mendapatkan lahan garapan.

Perhutani membuat program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang memberikan akses terbatas terhadap sumber daya hutan kepada masyarakat sekitar hutan. Dengan PHBM dinilai sudah memberi porsi kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil. Perhutani mengklaim bahwa PHBM berhasil dalam menggerakkan perekonomian di beberapa desa. Proyek populis tersebut sebenarnya merupakan bentuk program pengamanan yang dilaksanakan BUMN yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam, agar rakyat di sekitar hutan tidak mengganggu hutan tanaman.

Program PHBM merupakan salah satu bentuk kebijakan yang dikembangkan dari para penganut paham developmentalis. Model pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dengan eksploitasi hasil hutan semaksimal mungkin untuk memperoleh pendapatan. Pembangunan yang mengejar pertumbuhan dilakukan dengan mengeksploitasi hasil. Fokus pengelolaan lebih berorientasi pada meningkatkan pendapatan dari hasil eksploitasi hutan.

Salah satu contoh lain melalui program PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Perusahaan swasta (pemegang HPH) diwajibkan memberikan perhatian bagi pembangunan masyarakat sekitar. Kebanyakan

121 perusahaan lebih suka memberikan bantuan berupa pembangunan fisik daripada pembangunan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Projek fisik memang paling mudah dilakukan dan bisa dilihat langsung bukti fisik bangunannya. Perusahaan tidak mau repot mengurusi persoalan pengembangan masyarakat

(community development) yang rumit dan harus mempertimbangan aspek sosial

dan ekonomi masyarakat.

Jika dicermati dalam PHBM, faktor keamanan hutan menjadi prioritas utama. Sebelum PHBM diterapkan pendekatan keamanan lebih dilakukan secara reperesif dengan penegakan hukum, menghukum pencuri kayu. Melalui PHBM pendekatan keamanan yang dilakukan lebih halus yaitu: tindakan persuasif dan represif. Tindakan dilakukan berfokus pada bagaimana mengamankan tanaman pokok dengan memanfaatkan kelembagaan yang sengaja dibentuk untuk itu. Sanksi-sanksi yang diberikan kepada petani yang terdapat dalam perjanjian kerja sama juga menunjukkan bahwa PHBM sarat dengan pendekatan keamanan. Jadwa piket menjaga hutan yang berlakukan pada LMDH juga bermuara pada penekanan terhadap faktor pengamanan kawasan hutan agar tidak terjadi kebakaran dan pembalakan liar.

Masyarakat sebenarnya butuh program yang mendasar yang mempunyai niat baik untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dan bersifat permanen bukan temporal. Pelibatan yang tidak egaliter akan menyebabkan rakyat mempunyai ketergantungan terhadap pihak lain. Prinsip yang harus digunakan sejalan dengan filosofi pemberdayaan masyarakat yang bersifat emansipatif, egaliter yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak.

Pemberdayaan masyarakat butuh keberpihakan. Jika ingin memberdayakan masyarakat, perusahaan tidak bisa kerja sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Lembaga-lembaga lokal, LSM bisa berperan strategis dalam membantu karena memiliki kekuatan yang besar dalam proses fasilitasi, pemberdayaan, pendampingan, bahkan analisis kebijakan dan program pembangunan. Kekuatan ini bisa diandalkan untuk mengisi kekurangan yang dimiliki pemerintah dan swasta. Di Indonesia sudah banyak dikembangkan proses-proses fasilitasi, proses multipihak, kolaborasi atau kerjasama baik dalam proyek ataupun jaringan. LSM bisa berperan strategis dalam mengatasi kegagalan kebijakan dan kelembagaan (Djogo,2001).

122 8.3 Kontradiksi Peraturan tentang Pengeloaan Kawasan Hutan

Konflik dan sengketa tenurial dalam kawasan hutan telah mengakibatkan ketegangan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Konflik-konflik yang terjadi dalam kawasan hutan terjadi akibat permasalahan-permasalahan pokok yang antara lain karena adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan dalam Undang-Undang Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan masyarakat. Secara de jure kawasan hutan berada dalam penguasaan negara, namun secara de facto masyarakat secara turun temurun tinggal dan bergantung hidupnya dari hutan dan hasil hutan. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak, tidak hanya antara pemerintah dan masyarakat saja (Contreras-Hermosilla dan Fay 2006).

Masalah konflik tenurial yang terjadi di Indonesia berawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kebijakan saat ini. Kebijakan kepemilikan (penguasaan) negara pada masa kolonialisme Belanda masih berlanjut hingga kini. Perubahan-perubahan terhadap kebijakan tersebut di masa kemerdekaan belum berjalan dengan baik. Ditinjau dari sisi sejarah, perubahan-perubahan kebijakan di masa Hindia Belanda hingga masa kemerdekaan dan berlanjut di era reformasi berkontribusi besar terhadap konflik tenurial yang terjadi. (Galudra, 2003)

Perdebatan status tanah pada masa Belanda atas kepemilikan tanah hutan apakah tanah negara atau tanah adat masih belum tuntas. Perdebatan ini bermula diterbitkannya Agrarische Wet 1870 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan utama dari AW 1870 ini adalah untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat membuka hutan dan menjadikannya perkebunan besar. Dengan berazaskan domeinverklaring, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah domein (milik) negara, maka pemerintah selaku perwakilan negara memiliki landasan hukum dan pembuktian kepemilikan untuk memberikan tanah-tanah tersebut kepada perkebunan-perkebunan swasta.

Walaupun Agrarische Wet 1870 ini berasaskan pada ketentuan

domeinverklaring, juga mengandung ketentuan pengakuan atas keberadaan

hak-hak masyarakat adat. Pada tahun 1874, suatu peraturan diterbitkan untuk memberikan penafsiran pasti yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan desa

123 untuk Jawa dan Madura. Tanah milik desa adalah padang rumput penggembalaan milik bersama, tanah yang telah dibuka oleh penduduk asli untuk penggunaan mereka sendiri, baik yang dihuni maupun digarap, dan yang oleh mereka tidak telah ditelantarkan. Peraturan ini tidak mampu menjawab batasan-batasan hak-hak masyarakat desa atas wilayah hutan (Galudra,2003).

Dalam perkembangannya, azas domeinverklaring juga menjadi dasar klaim bagi Jawatan Kehutanan atas penguasaan semua tanah hutan yang dianggap penting bagi fungsi hidrologi, klimatologi, dan produksi kayu. Menarik untuk dicermati bahwa isu-isu konservasi seperti hidrologi dilebih-lebihkan oleh Jawatan Kehutanan sebagai alat pembenaran atas penguasaan hutan dan sebagai upaya untuk menghilangkan hak-hak serta menutup akses penduduk atas hutan.

Dalam azas domeinverklaring, tanah-tanah negara terbagi atas dua yaitu tanah negara bebas dan tanah Negara tidak bebas. Yang termasuk tanah negara tidak bebas antara lain hak sewa, hak milik, hak pakai pribumi dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk tanah negara bebas adalah tanah-tanah liar yang ditelantarkan. Dalam tafsiran pemerintah yang berlaku secara nyata di lapangan, tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat dengan tanah milik adat (agrarisch

eigendom), demikian juga tanah-tanah ulayat adalah tanah domein Negara

(Harsono, 2003).

Asal-usul keruwetan dalam peraturan kehutanan berawal pada tafsir dari definisi dan lokasi hutan di Indonesia serta kewenangan Kementerian Kehutanan. Tafsir-tafsir yang berbeda menyebabkan perbedaan-perbedaan mendasar tentang peran pengawasan terhadap sumberdaya hutan oleh pelaku dan lembaga yang berbeda. Konflik atas peran kontrol terhadap tanah dan sumberdaya alam yang disebabkan oleh ketidakpastian kepemilikan (negara atau rakyat) akan tetap menjadi masalah kecuali jika ada usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi kawasan hutan negara melalui strategi tindakan yang jelas.

Manfaat pendefinisian dan pengklasifikasian kawasan hutan sangat penting bagi kepastian hukum tentang pengelolaan lahan. Wilayah yang merupakan bagian dari kawasan hutan harus dikelola di bawah seperangkat ketentuan pembatas yang tidak hanya dapat mengarah kepada perampasan hak-hak lokal, tetapi juga untuk membatasi secara administratif beberapa pola pemanfaatan hutan seperti pemanfaatan untuk pertanian atau wanatani.

124 Larangan akses masyarakat lokal terhadap padang rumput untuk dimanfaatkan bagi tanaman pangan bisa terjadi karena tanah tersebut telah diklasifikasi sebagai kawasan hutan yang hanya akan digunakan untuk penamanan pohon kayu-kayuan.

Kawasan-kawasan penting yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan pada kenyataannya hanya memiliki sedikit hutan atau bahkan tidak ada hutan sama sekali. Tanah-tanah tersebut sering secara otomatis diklasifikasi sebagai hutan ketika wilayah tersebut tidak terdaftar sebagai tanah pertanian (Fay dan Michon 2005). Hal ini secara umum mengabaikan tata guna tanah yang faktual di lapangan serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang hidup di tanah tersebut, dimana hal ini dilakukan oleh pemerintah kolonial atau pemerintahan pascakolonial (Dove 1983; Lynch 1992).

Adanya kontradiksi peraturan perundang-undangan tentang penguasaan hutan bermula dari UUPA 1960 yang mencabut Agrarische Wet 1870 beserta segala aturan pelaksanaannya, akan tetapi tidak secara tegas mencabut Bosch

Ordonantie 1927 dan peraturan-peraturan kehutanan yang lainnya. Dengan

demikian, terjadilah kontradiksi hukum agraria yang sangat mendasar. Di satu pihak tanah-tanah yang terletak diluar kawasan hutan diatur menurut UUPA 1960 yang berdasar pada hukum adat serta anti asas domein, sementara di pihak lain tanah-tanah yang terletak di dalam kawasan hutan (Jawa-Madura) masih tetap diatur menurut Bosch Ordonantie 1927 yang anti hukum adat dan menganut asas domein.

Kontradiksi hukum agraria semakin meluas ketika pemerintah orde baru menetapkan Undang-undang Pokok-pokok Kehutanan tahun 1967 (Undang- undang nomor 5/1967). Meskipun tidak dinyatakan secara terang-terangan, akan tetapi sesungguhnya undang-undang ini menganut asas domein. Hal Ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, undang-undang tersebut tidak mempertimbangkan UUPA 1960. Pembuat undang-undang kehutanan mengabaikan UUPA 1960 yang merupakan pembongkaran terhadap asas domein warisan kolonial. Kedua, undang-undang tersebut tidak secara tegas mencabut Bosch Ordonantie 1927 yang menganut asas domein. Bosch

Ordonantie 1927 baru dicabut secara tegas melalui undang-undang kehutanan

no 41 tahun 1999. Ketiga, dalam praktik pelaksanaan undang-undang kehutanan tersebut, tidak ada penghargaan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan. Meskipun tanah dan hutan tersebut telah dikuasai oleh masyarakat

125 adat secara turun-temurun, jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Sebagai contoh, dalam hal pemberian hak penguasaan hutan (HPH) serta pelepasan kawasan hutan untuk keperluan usaha perkebunan swasta. Saat undang-undang ini diterapkan bersamaan dengan maraknya investasi pengolahan kayu serta usaha perkebunan besar swasta, terjadilah gelombang penggusuran masyarakat adat dari kampung halamannya.

UUPA yang menjadi dasar hukum sistem pengelolaan sumberdaya alam menjadi bias, karena bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Penanaman Modal dan lain-lain, adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam UU Agraria dan dalam UU Kehutanan, serta sistem penguasaan lahan menurut pemerintah dan masyarakat. Sampai saat ini juga masih ada perbedaan interpretasi dan pemahaman mengenai penguasaan negara atas sumberdaya alam di Indonesia antar berbagai pihak.

Lahirnya UU Pokok Kehutanan mengabaikan hak-hak ulayat dan kepentingan penduduk lokal. Padahal dalam UUD 1945 pasal 33 dijelaskan: " Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat ”. Pasal ini mengamanatkan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam harus memperhatikan rakyat banyak. Kedudukan rakyat berada pada posisi penting yang tidak bisa diabaikan dengan alasan apa pun.

Pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan bahwa kekayaan sumber daya alam Indonesia ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumberdaya alam lebih berorientasi eksploitasi. Beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan; 2)Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan; 3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan; 4) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang tersebut di atas mempunyai karakteristik : 1) berorientasi pada eksploitasi sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, karena digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara. 2). Orientasi pengelolaan SDA lebih berpihak

126 pada pemodal besar sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam 3) Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada negara sehingga pengelolaan sumber daya alam yang sentralistik. 4). Implementasi pengelolaan yang dilakukan pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi. Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing ( Nurjaya 2006).

Bila melihat isi Pasal 33 UUD 45, negara atau pemerintah yang diberi wewenang dalam mengelola sumberdaya hutan, seharusnya memberikan manfaat hutan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sulit dipahami, jika tujuan memakmurkan rakyat itu ditempuh dengan jalan menyingkirkan rakyat dari sumber penghidupannya.