• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hutan Kemasyarakatan

Menurut Undang-Undang no. 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan dikelompokkan menjadi hutan produksi, hutan lindung, hutan konservasi. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep pengelolaan yang ideal ini dalam praktiknya malah bertentangan dengan kenyataan di lapangan.

Selama ini pemerintah dan pengusaha lebih memilih mengelola hutan secara otoritarian. Kebijakan ini telah memunculkan berbagai akumulasi konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Dasarnya adalah legalitas penguasaan hutan secara sepihak yang dilakukan oleh negara. Sedangkan masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan seringkali menjadi kambing hitam dan mendapat stigma sebagai “maling” padahal rakyat telah mengelola hutan yang telah dilakukan secara turun temurun.

"Masalah hutan terkait dengan keseluruhan isu-isu dan kesempatan- kesempatan lingkungan dan pembangunan.." (Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, 1992). Seluruh kelompok masyarakat bergantung pada hutan dan pepohonan serta bertanggung jawab akan

16 keanekaragaman hayati, pengaturan iklim, air bersih, konservasi tanah dan air, ketahanan pangan , hasil-hasil kayu dan non-kayu, jasa energi, obat-obatan dan nilai-nilai budaya.

Hutan alam yang baik telah memulihkan Indonesia dari krisis ekonomi tahun 1960-an dan menjadi penyumbang devisa yang amat besar bagi negara. Akan tetapi, dalam krisis ekonomi tahun 1990-an, hutan alam yang rusak justru meningkatkan beban ekonomi melalui bencana alam yang semakin sering. Semua pihak telah mengabaikan fungsi perlindungan dari hutan yang baik. Fungsi perlindungan yang disebut sebagai jasa lingkungan inilah yang sekarang kurang dihargai (Haeruman,2005).

Hutan yang rusak telah menjadi bencana diplomatik dalam pergaulan dunia. Saat ini persyaratan hubungan dagang internasional selalu dikaitkan dengan pelestarian hutan. Setiap musim kemarau negara tetangga selalu melakukan protes bahkan mengancam agar Indonesia mengurus hutan dengan benar agar tidak terjadi bencana kebakaran hutan.

Ada empat hal yang gencar dibahas dalam upaya menyelamatkan hutan Indonesia, yaitu pembalakan liar, restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi tanah kritis dan hutan rusak, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Masalah kehutanan Indonesia bukan hanya masalah Pemerintah Indonesia saja, tetapi menjadi masalah dunia. Penyelamatan hutan Indonesia tidak hanya menjadi masalah teknis rehabilitasi hutan dan tanah kritis saja, tetapi sudah lintas sektor dan lintas negara. Masalah teknis rehabilitasi hutan dan tanah kritis lebih mudah dipecahkan. Yang sukar adalah mengatasi kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang mudah dimanfaatkan para pencuri kayu. Demikian pula dengan kelembagaan antarsektor dari pemerintah pusat sampai ke daerah yang tidak kompak dalam penyelamatan hutan hingga tak bisa memenuhi komitmen nasional pada dunia (Heruman,2005).

Hutan kemasyarakatan menurut Tewari (1983): ilmu dan seni menanam pohon dan/atau vegetasi lain yang diintegrasikan dengan kegiatan lainnya pada lahan yang tersedia untuk tujuan itu, di dalam atau di luar kawasan hutan dan pengelolaan hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat, guna menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau masyarakat. Hutan Kemasyarakatan pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi

17 kebutuhan dasar manusia di pedesaan dari hutan, yaitu: fuel, fooder, food, timber, income, environment.

Suharjito, dkk (2000) mendefinisikan hutan kemasyarakatan sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat, atau lahan milik (individual) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik diusahakan secara komersial maupun subsisten.

Sementara itu Pokja Social Forestry (2002) mendefinisikan hutan kemasyarakatan (social forestry): sistem pengelolaan hutan yang melibatkan tiga komponen sumberdaya ( lahan hutan, teknologi pengelolaan, dan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan) dalam rangka pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya, melalui penerapan sistem teknis kehutanan dengan mendayagunakan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya masyarakat yang mendukung upaya pelestarian sumberdaya hutan beserta fungsi yang dimilikinya.

Menurut Kartasubrata (1988) program-program hutan kemasyarakatan di Indonesia telah banyak dilaksanakan diantaranya : pada tahun 1970–an Perhutani melaksanakan “Prosperity Approach” (kesejahteraan lingkungan). Program ini mencakup intensifikasi tumpangsari dalam pembuatan tanam hutan, pembuatan margasaren gaya baru, penanaman rumput gajah, menanam jenis kayu bakar, ternak lebah madu, sutera alam. ”Ma-lu” singkatan dari Mantri (hutan) dan Lurah , konsepsi ”ma-lu” menekankan pada pentingnya kerja sama antara mantri kehutanan dan lurah dalam pelaksanaan “Prosperity Approach”, khususnya dalam penghijauan lahan penduduk dan pengamanan hutan. PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) adalah program yang bertujuan untuk menumbuhkan dan perluasan lapangan kerja, peningkatan dan pemerataan pendapatan penduduk, mendorong pertumbuhan ekonomi desa, meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan serta menjaga kelestariannya.

Pendekatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan keragaman istilah, pengertian dan penerapannya, telah dikembangkan oleh banyak lembaga, baik Departemen Kehutanan, perusahaan, LSM maupun komunitas lokal, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Banyak istilah atau terminologi muncul, seperti: Perhutanan sosial, PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Sistem Hutan Kerakyatan (SHK), Buffer Zone,

18

Community Forestry, Sosial Forestri, HPH Bina Desa, Repong Damar,

Tembawang.

Hutan kemasyarakatan merupakan sistem pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat. Masyarakat yang berada di sekitar hutan dianggap sebagai stake holder yang mempunyai peran penting dalam pengelolaan hutan. Sistem pengelolaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar pengelolaan hutan berkelanjutan.

Konsep hutan kemasyarakatan merupakan suatu perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai tahap kegiatan, mulai tahap perencanaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemanfaatan sampai dengan penyelesaian masalah konflik yang terjadi.

Paradigma lama pengelolaan hutan berakar dari orientasi budaya masyarakat industri, yang menganggap hubungan manusia dan alam terpisah, manusia mesti menguasai alam, manusia sangat menjunjung tinggi terhadap usaha dan kekuatan sendiri. Sedangkan paradigma baru pengelolaan hutan didasarkan pada pengetahuan masyarakat lokal, manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Orientasi budaya lokal selalu menjaga keselarasan dengan alam dan mengembangkan saling ketergantungan satu sama lain, bekerja sama,bergotong royong.