• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijkan yang bisa memberikan akses dan kewenangan dalam pengelolaan sumberday hutan adalah devolusi Kebijakan devolus

memberikan dampak langsung bagi rakyat yaitu adanya legitimasi dalam

pengelolaan lahan hutan. Masyarakat lokal mendapatkan status yang jelas

dan mendapatkan dukungan sumberdaya dari Pemerintah, investor, LSM

dalam pelaksanaan pengelolaan hutan(Edmunds & Wollenberg,2002).

Perlindungan terhadap hutan dapat dilakukan secara individual atau kelompok, tetapi pelibatan kelompok lebih berdampak. Pelibatan kelompok harus dirancang dalam bentuk organisasi dengan struktur yang didasarkan pada norma, aturan dan regulasi, serta nilai dan sanksi. Banyak organisasi di pedesaan telah difungsikan untuk mengelolaan hutan. Salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada perlindungan hutan, tetapi juga pada perubahan sikap masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung dalam program (Roy 1993)

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk menaikkan kapasitas masyarakat: organisasi dibentuk untuk memudahkan mobilisasi masyarakat. Organisasi itu dibentuk secara botton up, mulai dengan pembuatan kelompok- kelompok kecil di dalam masyarakat hingga kekelompok yang lebih besar. Penyebaran informasi dapat dilakukan melalui ketua-ketua kelompok. Ketua kelompok dipilih dari anggota kelompok oleh anggota. Pengkaderan selalu dilakukan secara terus-menerus melalui traning maupun pelibatan langsung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok, baik bentuk pengelolaan maupun penyelesaian masalah yang ada.

Untuk memperkuat mobilisasi masyarakat, para instruktur melakukan doktrin melalui pelatihan-pelatihan yang diadakan.Pengadaan teknologi di dalam masyarakat dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Bila para petani cepat menguasai pengelolaan teknologi baru maka transforamsi pengetahuan pun akan semakin cepat. Tim memfasilitasi pengelolaan kelompok-kelompok masyarakat. Pendekatan yang digunakan problem-solving. Setiap kelompok melakukan pertemuan secara teratur untuk memajukan kelompoknya, mengidentifikasi masalah, dan mencari

148 solusi secara bersama-sama. Program ditetapkan untuk mempermudah pelayanan terhadap anggota kelompok dan diurut berdasarkan tingkatan urgensinya. Dukungan dari luar didapatkan berdasarkan kerjasama-kerjasama yang bergerak pada bidang yang relevan. Di samping itu, dukungan didapatkan dari pemerintah dan institusi lainnya untuk menguatkan kekuatan aturan main dalam kelompok, termasuk dukungan dari peraturan pemerintah. (Korten 1986)

Kelembagaan bukan hanya sekedar adanya organisasi atau aturan yang sudah dibuat tetapi menyangkut bagaimana menguatkan organisai petani sehingga anggota KTH sadar dan mengetahui hak dan kewajiban.Penting untuk memperkuat organisasi masyarakat agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Dengan institusi sosial yang kuat, piranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat program community forestry dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya sebatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis.

Pengembangan kelembagaan dapat terjamin jika : 1) ada insentif bagi orang atau organisasi 2) penguatan organisasi sasaran pengembangan :siapa yang diuntungkan 3) ada keseimbangan kepemilikan dan akses terhadap informasi 4) kepemilikan dan akses terhadap sumber daya terjamin 5) ada usaha pengendalian perilaku opportunistic. Tindakan opportunistic termasuk perilaku menyimpang yang dapat diklasifikasikan korupsi, penyuapan, free rider, dan moral hazard. 6) ada aturan yang ditegakkan dan ditaati (Djogo, 2003).

Berbagai negara memang telah melakukan gerakan dengan menyerahkan penguasaan lahan hutan (land ownership) kepada masyarakat lokal. Di Amerika Latin 1.juta hektar kawasan hutan telah dikelola oleh masyarakat. Hampir 75 persen masyarakat di Mexico telah memperoleh hak atas sumberdaya hutan. Demikian juga dengan Afrika, negara-negara Afrika Timur dan Selatan hampir seluruhnya telah meningkatkan pengakuan terhadap hak masyarakat lokal atas sumberdaya hutan. Antara tahun 1994 dan tahun 1998, 2,5 juta hektar hutan (hampir 20% dari wilayah Filipina) diklasifikasikan sebagai wilayah adat, hal serupa juga terjadi di India, Nepal, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China. World Summit of Sustainable Development di Afrika Selatan yang dihadiri 130.000 orang di seluruh dunia, juga mengakui bahwa gerakan community forestry akan menjadi sintesa dari gerakan kehutanan dunia.

149 De Soto (2006) berpendapat bahwa kapitalisme gagal di luar Barat bukanlah karena alasan-alasan : perbedaan budaya, kurangnya kewirausahaan, agama, inefisiensi, ataupun faktor kemalasan. Kepemilikan properti sebagai kunci untuk mengakhiri kemiskinan, yang hanya dapat bekerja jika orang miskin mampu menggunakan properti mereka untuk menghasilkan kemakmuran. Properti yang menurut De Soto adalah aset-aset yang bisa menghasilkan kapital, sangat menentukan perkembangan kapitalisme.

Teori pembangunan modern gagal memahami proses pengembangan sistem hak milik yang terpadu, sehingga membuat kaum miskin tidak mungkin dapat menggunakan apa yang dimilikinya secara informal untuk digunakan sebagai instrumen dan kapital guna mengembangkan jati dirinya. akibatnya, kelompok petani di dunia berkembang, selalu terperangkap dalam jerat kemiskinan karena mereka hanya mampu hidup secara subsisten. Masyarakat di dunia berkembang

umumnya tidak memiliki sistem kepemilikan tanah formal yang terpadu sehingga hanya memiliki kepemilikan secara informal terhadap tanah dan barang-barang.

Menurut Mubyarto (2006) bagi kita di Indonesia apa yang disampaikan De Soto dalam buku The Mistery of Capital sangat relevan terutama setelah terjadi krisis moneter 1997-98 jelas-jelas membuktikan kegagalan upaya menerapkan kapitalisme oleh pemerintah Orde Baru sejak 1966. Para penentu kebijakan ekonomi Orde Baru mengira sistem ekonomi kapitalisme sama dengan sistem demokrasi ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan yang bersumber pada Pancasila. Kesadaran bahwa sistem kapitalisme liberal tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan demokrasi ekonomi Pancasila tidak pernah ada sampai menjadi sangat terlambat pada saat krisis moneter meledak Agustus 1997, 30 tahun sejak mula-mula diterapkan. Adalah sangat merisaukan bahwa banyak pakar ekonomi tetap tidak percaya tentang kekeliruan atau ketidak tepatan sistem kapitalisme bagi Indonesia yang berpaham Pancasila, dan hanya menyalahkan penerapannya saja. Kesilauan terhadap sistem ekonomi kapitalisme mengakibatkan secara langsung pandangan yang meremehkan peranan ekonomi rakyat yang “tak ber-kapital”. Ekonomi Rakyat yang lebih banyak mengandalkan pada modal sendiri dianggap “extra-legal”, bahkan tak diakui eksistensinya.

Kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam memprioritaskan tindakan ke arah pengakuan atau pemberian hak-hak pengelolaan, atau jika

150 memungkinkan, kepemilikan kepada masyarakat setempat (baik secara kolektif maupun perseorangan) atas tanah di dalam kawasan hutan. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945). Sebaliknya, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memungkinkan bagi negara untuk menguasai secara langsung tanah, jika hanya ketika tidak ada pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Setelah dilakukan kajian menyangkut hak-hak atas tanah di dalam kawasan hutan, walaupun tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara, kewenangan Kehutanan hanyalah menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan pada tanah tersebut, (Fay & Sirait, 2004).

Kebijakan yang mungkin bias dilakukan akan mengarah kepada penguasaan hutan yang lebih masuk akal dan diterima luas. Hasilnya diakui oleh masyarakat setempat dan seharusnya diarahkan untuk sebuah pengelolaan bersama (co-management) sumberdaya hutan antara masyarakat setempat dengan pemerintah.

Persoalannya bukan sekedar kepemilikan sumberdaya, namun yang tidak kalah penting adalah keberdayaan masyarakat. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi berdaya, apapun dan berapapun sumberdaya alam yang mereka kuasai akan jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak.

Akses yang tinggi terhadap sumberdaya hutan yang melimpah tidak menjamin taraf hidup masyarakat. Kekurangberdayaan ( rendahnya: pendidikan, keterampilan, kelembagaan, sarana dan prasarana serta pasar) telah membuat masyarakat gagal mentransfer sumberdaya berharga yang dimiliki ke dalam nilai pasar. Seringkali jika aksesibilitas ekonomi mereka suatu saat meningktat, belum tentu mereka menjadi penikmat sumberday alam yang dimiliki. Sebab pada saat ituberbagai pemodal kuat dari luar akan berdatangan untuk mengepung sumberdaya yang mereka miliki, dan mereka biasanya akan semakin termarginalisasi.

Hutan kemasyarakatan menjadi model sebuah upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan, terlepas sumber pencahariannya bersumber dari hutan atau bukan. Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi papa (miskin) dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya

151 oleh masyarakat yang berdaya. Dengan demikian sosial forestri adalah upaya membuat masyarakat disekitar hutan berdaya.

Masalah sosial-ekonomi masyarakat menjadi kunci utama terjaminya kelestarian hutan, dengan demikian sosial forestri perlu dijabarkan secara lebih leluasa, yang meliputi seluruh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. Hutan kemasyaraktan adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat, bukan sekedar pengusahaan hutan oleh masyarakat

Dalam demokrasi harus diwujudkan partisipasi dan emansipasi ekonomi. Sistem ekonomi model “majikan-buruh” harus ditinggalkan, sperti hubungan antara inti dan plasma dalam PIR ) Perkubunan inti rakyat) haruslah berupa hubungan participatory-emancipatory , bukan hubungan subordinasi yang diskriminatif yang menumbuhkan ketergantungan pihak plasma (rakyat) kiepada majikan (inti). Prinsip triple-co yaitu co-ownership, co-determination, co-

responsibility. Prinsip keterbawasertaan (partisipasi dan emansipasi

pembangunan) selama ini belum bias diwujudkan. Kemajuan ekonomi rakyat haruslah inheren dengan kemajuan pembangunan nasional seluruhnya. Tidak boleh terjadi marjinalisasi, penyingkiran terhadap rakya miskin dan lemah. Rakyat yang berada di bawah harus terangkat dan terbawa serta dalam pembangunan (Swasono 2009).

8.7 Ikhtisar

Keragaan PHBM yang dilaksanakan di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih dominan pada aspek ekonomi. Dilihat dari indikator lingkungan, Acasia

mangium yang ditanam secara monokultur berdampak kepada menurunnya

biodiversitas flora dan fauna. Dampak lainnya adalah berkurangnya sumber air, sumber air setelah kemarau satu bulan sudah kering, tetapi ketika musim hujan air meluber-luber. Prinsip keadilan dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang juga belum terwujud.

Perhutani menganggap PHBM sudah memberi porsi kepada masyarakat melalui sistem bagi hasil. Program ini merupakan variasi bentuk program pengamanan yang dilaksanakan Perhutani. Faktor keamanan hutan menjadi prioritas utama. pendekatan keamanan yang dilakukan lebih halus yaitu: tindakan persuasif dan represif. Tindakan dilakukan berfokus pada mengamankan tanaman pokok dengan memanfaatkan kelembagaan yang sengaja dibentuk untuk pelaksanaan program.

152 Konflik-konflik tenurial dalam kawasan hutan terjadi akibat adanya dualisme sistem pertanahan yaitu sistem pertanahan yang diatur dalam Undang- Undang Pokok Agraria dan sistem pertanahan yang diatur dalam Undang- Undang Kehutanan. Konflik tenurial yang terjadi di Indonesiaberawal dari warisan kebijakan kolonial di masa Hindia Belanda yang kemudian berlanjut hingga kini. Hukum di Indonesia tidak menyediakan landasan yang kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk memiliki tanah di dalam kawasan hutan negara. Landasan hukum yang ada hanyalah memberikan pemerintah kontrol dan pengelolaan atas sumberdaya alam (Pasal 33 UUD 1945).

Masalah pokok yang dihadapi petani adalah kecilnya aset atau sulitnya akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah. Padahal banyak fakta di lapangan menunjukkan bahwa hutan yang dikelola rakyat lebih baik kondisi hutan yang dikelola pemerintah atauPerhutani. Reforma agraria merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa dipilih untuk realisasi pemerataan pengelolaan sumberdaya agraria.

Kebijakan hutan kemasyarakatan harus mempertimbangkan pelaku utama yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yaitu masyarakat dan Perum Perhutani. Faktor terpenting yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan hutan kemasyarakat adalah kebijakan dan kelembagaan. Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat. Pertimbangan utama dalam strategi adalah pendapatan masyarakat. Strategi penting lainnya yaitu mengurangi konflik. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan dan akses terhadap sumberdaya hutan.

153 BAB IX

PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT

Kemiskinan, rendahnya pendidikan, keterbatasan sumberdaya lahan merupakan masalah pelik yang setiap hari dihadapi masyarakat sekitar hutan.

Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber– sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya dispowerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.

Rakyat miskin di pedesaan terjerat dalam siklus kemiskinan karena sebagi petani tetapi tidak memiliki aset lahan yang dapat dikelola secara berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Program PHBM belum memberikan akses yang cukup terhadap sumberdaya lahan, karena keterbatasan lahan andil yang digarap masyarakat. Salah satu jalan untuk mengentaskan kemiskinan di pedesaan selain memberikan aset dan akses sumber-sumber kehidupan dan penghidupan berupa lahan disusul dengan akses terhadap modal, teknologi dan pasar.

Dengan terbukanya akses terhadap lahan, maka akan terbuka kemungkinan untuk sistem pemanfaatan sumberdaya hutan yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.Yang perlu diperhatikan pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan harus tetap menjamin fungsi-fungsi ekologis serta akan menjaga fungsi-fungsi sosial yang memang telah terbangun dalam struktur sosial masyarakat.

Kepastian penguasaan dibutuhkan untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pada kenyatannya keberadaan masyarakat yang tinggal dan hidup didalam kawasan hutan belum dapat diakomodasi secara jelas dalam tata ruang kawasan. Untuk mengakomodasikan kebutuhan masyarakat yang terkait dengan penggunaan kawasan/lahan rencana tataruang yang ada memasukkan unsur masyarakat sebagai salah satu faktor yang dapat memanfaatkan lahan/hutan untuk menopang kehidupan mereka yang sesuai dengan fungsi kawasan yang ada.

154 Hutan tidak mungkin dipertahankan kelestariannya apabila masyarakat di sekitarnya dalam kondisi miskin dan tidak berdaya. Hutan hanya akan dapat dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang berdaya. Kunci terjamin kelestarian hutan berkaitan erat dengan aspek sosial ekonomi masyarakat.

Pelaksanaan program di lapangan seringkali tidak sama dengan perencanaanya, terjadi kesenjangan antara pelaksanaan dan perencanaan. Program-program yang sudah disusun dengan baik di level manajemen Perhutani seringkali pada praktiknya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Pada jajaran managemen sebenarnya sudah ada perubahan paradigma tentang pentingnya pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan. Petugas lapangan kebanyakan tingkat pendidikannya rendah. Padahal petugas pelaksana inilah yang menangani pekerjaan sehari-hari masih belum banyak berubah sikapnya, masih pada kebiasaan instruktif sebagai mandor. Oleh karena itu perlu terus dilakukan kegiatan pembelajaran bersama antara petani dan petugas lapangan yang sehari-hari menangani program sehingga saling: mengenal, memahami, dan bekerja sama dalam penerapan program.

Model pemanfatan SDH oleh Perhutani cenderung tidak disandarkan pada kondisi faktual di lapangan dan dikaitkan dengan status hutan produksi. Seringkali terjadi kesenjangan yang cukup lebar antara konsep dan penerapannya. Hal ini berpengaruh pada pengelolaan hutan yang kurang berorientasi pada keberlanjutan fungsi-fungsi ekologis yang menjadi landasan penting bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. Menurunnya kualitas fungsi ekologis di kawasan hutan dan sekitarnya, seperti sulitnya mendapatkan air bagi masyarakat merupakan kasus yang terjadi di lapangan.

Pelaksanaan pengelolaan hutan kemitraan sudah seharusnya memperhatikan kesetaran (equity) dan hak-hak rakyat. Pengelolaan juga dilakukan dengan pendekatan yang partisipatif dan inovatif dalam pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hutan. Selain itu dibutuhkan insentif yang tepat bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan. Dengan demikian diharapkan muncul sistem pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan.

Pendampingan dan fasilitasi pihak luar juga dibutuhkan masyarakat untuk melakukan negoisasi dan akses terhadap sumberdaya. LSM bisa berperan penting sebagai pendamping dalam membantu masyarakat merundingkan

155 kesepakatan dengan pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait. LSM bisa menjadi penengah yang mengenal dan dipercaya oleh masyarakat serta mengetahui tentang kepentingan pihak luar dan segala proses-prosesnya. Hal ini sangat membantu dalam proses perundingan kesepakatan-kesepekatan penguasaan.

Saat ini telah terjadi pergeseran kebijakan dalam manajemen sumberdaya alam, hampir di seluruh dunia. Reformasi kebijakan telah melakukan pemindahan kewenangan untuk mengatur sumberdaya air terhadap institusi lokal di lebih dari 25 negara. (Vermilion, 1997). Hak untuk mengelola kehidupan liar, telah mengalami perubahan di Nabibia, Zambia, Zimbabwe dan Botswana (Shackleton et al, 2002). Pemerintah pusat juga telah secara bertahap untuk mentransfer kewenangannya dalam mengelola perikanan, tanah, perlindungan kawasan dan sumberdaya lokal lain kepada institusi lokal.

Pergeseran dalam kewenangan pengelolaan hutan membuat banyak masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan mendapatkan akses yang lebih besar terhadap hutan dan dapat menentukan sendiri keputusannya dalam mengelola sumberdaya lokal. Reformasi kebijakan yang akan diimplementasikan berupa devolusi (devolution) untuk melindungi kepentingan masyarakat sekitar hutan.

Strategi pembangunan yang berfokus pada skala besar dan investasi dalam bidang infrastruktur sudah seharusnya diubah menuju penerapan kerja bersama masyarakat lokal dan pergerakan untuk mendukung pembangunan skala kecil, bottom up. Pengukuran respon skala lokal berbasis pada kehendak masyarakat lokal.

Usaha untuk membanguan secara bersama-sama kerangka devolusi dan implementasinya hanya difokuskan pada keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan masyarakat. Konflik kepentingan antara berbagai kelompok tidak akan bisa dihilangkan, dan akan lebih baik untuk mengatur dengan cara membangun mekanisme institusi yang dapat mengoordinasikan semua kegiatan dan dengan cara melakukan evaluasi secara berkala terhadap semua persetujuan dalam rangka perubahan sosial dan keadaan lingkungan.

Kerjasama program pengelolaan hutan yang sukses di Bengal bagian barat dan daerah-daerah lainnya di India terbuka bagi para peneliti-peneliti sosial dan pengelolaan institusi untuk mempelajari proses perubahan sosial, lingkungan dan faktor-faktor lain yang bertanggungjawab bagi pengembangan program baru.

156 Ribuan organisasi di pedesaan telah difungsikan untuk mengelolaan hutan. Salah satu peran institusi itu tidak hanya dapat dilihat pada pertumbuhan hutan, tetapi perubahan sikap masyarakat dan pengguna hutan terhadap pengelolaan dan kepercayaan masyarakat pada kemampuan masyarakat desa yang tergabung dalam program (Roy 1993).

Kapasitas lokal yang kuat untuk melakukan aksi secara bersama-sama dapat menjaga dan mempromosikan kemampuan masyarakat lokal dalam membuat keputusan sendiri. Kapasitas tersebut diperlukan untuk membangun modal sosial, seperti jaringan, norma, dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan.

Pembangunan partisipatif dapat meningkatkan keefektifan pembangunan secara signifikan. Hasilnya akan meningkat dan dampaknya akan lebih berkelanjutan bila warga masyarakat mengembangkan rasa kepemilikan terhadap upaya pembangunan Demikian juga, biasanya bila para stakeholder kelembagaan yang relevan terlibat dalam merancang program atau mengubah kebijakan serta merencanakan pelaksanaannya, hasilnya akan meningkat.

Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan pelaku utama adalah masyarakat dan Perum Perhutani dengan strategi adalah pendapatan masyarakat. Kebijakan merupakan faktor terpenting, alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah penguatan kelembagaan. Kelembagaan merupakan komponen krusial yang mesti dipersiapkan karena umumnya kondisi LMDH yang belum berdaya. Kesiapan kelembagaan dalam mengelola SDH merupakan prasyarat untuk pemberian hak penguasaan sumberdaya hutan bagi komunitas masyarakat.

Kejelasan tata kelola dengan aturan yang jelas, sinergitas dari para stakeholder diperlukan sehingga penerapan program dapat berjalan dengan lancar dan wajar. Dengan demikian, kapasitas akan terbina, modal sosial meningkat, dan kemitraan antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta akan meningkat dengan orang belajar bekerja bersama dalam lingkungan yang mendukung.

157

BAB X

KESIMPULAN

PHBM dirancang sebagai upaya pengelolaan hutan dengan melibatkan