• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IX PENGELOLAAN HUTAN YANG MEMIHAK RAKYAT

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pemberdayaan Masyarakat dalam Kemitraan

Program kemitraan yang dilaksanakan antara Perhutani dan masyarakat seharusnya mendasarkan pada prinsip pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Pemberdayaan (empowerment) bermakna pemberian kekuasaan sebagai sebuah proses yang mempunyai tiga tahapan : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007). Dalam tahap penyadaran, target yang hendak diberdayakan diberi ”pencerahan” berupa pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai ”sesuatu”. Target dapat menjadi kaya jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka merasa perlu diberdayakan, proses pemberdayaan ini dimulai dari dalam diri mereka sendiri bukan dari orang luar.

Tahap kedua adalah pengkapasitasan (capacity building) atau memampukan. Untuk bisa diberdayakan target harus mampu terlebih dahulu. Proses pengkapasitasan mencakup manusia, organisasi, dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia berarti memampukan manusia baik secara individu maupun kelompok. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya. Pengkapasitasan sistem

27 nilai dilakukan dengan membantu membuatkan aturan main diantara mereka sendiri.

Tahap ketiga adalah pemberian daya, pada tahap ini, target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberiaan daya ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan sesuai dengan kecakapan penerima.

Pemberdayaan adalah proses penguatan agar seseorang atau sekelompok masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengkontrol dan mempengaruhi jalannya kekuasaan dan lembaga-lembaga yang terkait dan mempengaruhi kehidupan seseorang atau masyarakat. Dalam konteks ini, pemberdayaan menekankan pentingnya masyarakat menguasai keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupan dirinya dan masyarakat sekitarnya yang menjadi bagian dari tanggung jawab sosialnya (Parson, et.al; 1994).

Menurut Friedmann (1992), pemberdayaan masyarakat merupakan proses dialektika, baik pada tataran ideologis atau praksis, tidak hanya sebatas masalah ekonomi, tetapi juga masalah politik, sehingga masyarakat mempunyai posisi tawar yang lebih baik. Pada tataran ideologis, pemberdayaan masyarakat adalah hasil dialektika antara konsep top down dan bottum up, maupun antara growth strategy dan people centered strategy; Sedangkan pada tataran praksis muncul pertentangan antar otonomi. Fokus pemberdayaan masyarakat bersifat lokalitas, karena masyarakat madani akan merasa siap diberdayakan melaui isu- isu lokal. Untuk itu dipandang perlu memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-sturktur di luar masyarakat madani tersebut.

Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996),manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.

Paradigma baru pembangunan dan pemberdayaan masyarakat mencakup 4 aspek, yakni; (1) people centered, (2) participatory, (3) empowering, and (4) sustainable (Chambers, 1987). Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan mempunyai beberapa prinsip dasar, yakni; (1) masyarakat menjadi pelaku utama

28 dari setiap kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengambilan manfaat, (2) masyarakat berperan sebagai pengambil keputusan, (3) pemerintah sebagai pendamping dan pengendalian kegiatan, (4) kepastian hak dan kewajiban semua pihak, (5) kelembagaan ditentukan oleh masyarakat, dan (6) pendekatan berdasarkan pada upaya kelestarian fungsi hutan termasuk keanekaragaman hayati (Dept.Hut, 2000).

Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dispowerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.

Sumodiningrat (1999) menyebutkan bahwa penyempurnaan pendekatan pembangunan memerlukan strategi pemberdayaan masyarakat melalui tiga arah, yakni: (1) pemihakan dan pemberdayaan masyarakat, (2) pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan daerah yang mengembangkan peran serta masyarakat, (3) modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktur sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal.

Pemberdayaan masyarakat berarti upaya realokasi kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial dan budaya (Swift dan Levin, 1987); caranya dengan meningkatkan kemampuan masyarakat dan kelembagaan sehingga mampu menguasai atau berkuasa untuk menentukan arah kehidupannya (Rapport, 1984);

Schlager dan Ostrom (1992) menyatakan bahwa hak-hak atas sumberdaya alam (SDA) dapat diklasifikasi menjadi 5 kategori; (1) Hak atas akses (rights of access), yakni hak untuk memasuki suatu wilayah tertentu, (2) Hak pemanfaatan (right of withdrawal), yakni untuk mengambil sesuatu atau memanen sesuatu hasil alam, (3) Hak pengelolaan (rights of management), yakni hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi, (4) Hak pembatasan (rights

of exclusion), yakni hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh

29 ke orang lainnya, kelompok atau lembaga, dan (5) Hak pelepasan (rights of alienation), yakni hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya.

Akses masyarakat terhadap kekuasaan dan sumber-sumber instrumental dalam memperkuatan pengambilan keputusan dan formulasi kebijakan membutuhkan adanya modal sosial. Modal sosial dapat dipergunakan untuk melihat fungsi-fungsi hubungan hierarki organisasi, seperti struktur organisasi formal, regim politik, sistem hukum, sistem pengadilan, dan kebebasan politik (Krishna, 1999).

Kemiskinan dan kekurangan pangan masyarakat miskin menurut Sen (1981) bukan semata-mata karena keterbatasan SDA, tetapi lebih karena mekanisme sosial politik yang mengakibatkan kekuarangan pengakuan hak pertukaran bagi masyarakat miskin. Pengakuan hak sering bersifat mendua, dan berada pada wilayah abu-abu, sehingga membuatnya menjadi konsep yang bermanfaat bagi analisis sosial politik.

Dietz (1998) menyatakan bahwa bentang alam dan cadangan SDA dalam suatu kawasan adalah gelanggang politik yang diperebutkan. Berkaitan dengan beragam SDA, maka pengakuan hak mencakup tiga hal; (1) hak atas sumberdaya sendiri, (2) hak untuk memanfaatkannya, dan (3) hak untuk ikut serta dalam proses pembuatan keputusan-keputusan pengelolaannya. Dari beberapa uraian di atas, dapat diketahui bahwa masalah tenurial terjadi dan berkaitan langsung dengan masalah kekuasaan sistem politik, sosial budaya, ekonomi dan hukum.