• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 25 Pendapatan petani dari PHBM

7.5 Partisipasi Masyarakat Dalam PHBM

Partisipasi masyarakat dalam setiap program pemberdayaan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi, masyarakat hanyalah menjadi objek semata. Penempatan masyarakat sebagai subjek program mutlak diperlukan sehingga masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program. Terlebih apabila kita akan melakukan pendekatan program dengan semangat lokalitas. Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya yang akan mampu memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat lokal dengan pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam melaksanakan program. Masyarakat lokal mengetahui apa permasalahan yang dihadapi dan potensi yang dimiliki oleh daerahnya dan mereka akan mempunyai pengetahuan lokal untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.

Midgley (1986) menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari perubahan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses perubahan sosial. Partisipasi masyarakat merupakan wujud dari eksistensi manusia seutuhnya. Tuntutan adanya partisipasi masyarakat semakin menguat seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Kegagalan pembangunan berperspektif modernisasi yang mengabaikan partisipasi masyarakat negara miskin menjadi momentum yang berharga dalam tuntutan peningkatan partisipasi negara miskin, termasuk rakyat di dalamnya.

Jika dikaji dengan menggunakan model partisipasi Arnstein, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM di Parung Panjang masih berada pada level tokenisme yaitu tangga ketiga, menyampaikan informasi, tangga Keempat, konsultasi dan kelima, peredaman kemarahan. Tokenisme yaitu suatu tingkatan partisipasi masyarakat, mereka didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pengambil keputusan. Dengan partisipasi masyarakat diharapkan dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari program.

98 Partisipasi yang ideal menurut Arnstein yaitu tangga keenam sampai kedelapan. Dari

Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang tidak berdaya perlu untuk diberdayakan dengan menggunakan berbagai model pemberdayaan. Dengan proses pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Partisipasi yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan kapasitas dalam masyarakat tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu dilakukan.

kemitraan, ketujuh pendelegasian wewenang dan kedelapan pengendalian masyarakat. Tiga tangga terakhir ini menggambarkan perubahan dalam keseimbangan kekuasaan yang dianggap sebagai bentuk sesungguhnya dari partisipasi masyarakat. Akan tetapi dalam penerapan di lapangan level partisipasi harus disesuaikan dengan keadaan nyata di lapangan, bagaimana kesiapan sumberdaya manusia, kelembagaan, dan kebijakan yang dipilih.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk kepentingan rakyat. Melalui pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi “pelaku pembangunan”. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan peningkatan kemandirian.

Model pemberdayaan memberikan peran yang sangat besar terhadap komunitas lokal untuk menentukan sendiri nasibnya. Pola pemberdayaan lebih menekankan pada aspek partisipasi komunitas lokal daripada introduksi dari luar. Sebagai agen pemberdayaan sangat berbeda dengan agen penyuluhan. Diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan SDH yang mengutamakan kepentingan rakyat. FAO menggambarkan bahwa kehutanan untuk pembangunan MDH harus meliputi setiap situasi yang pada akhirnya

Pemberdayaan yang memiliki arti sangat luas tersebut memberikan keleluasaan dalam pemahaman dan juga pemilihan model pelaksanannya sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat mungkin terjadi. Konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai tantangan yang sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama ini tidak memberikan kesempatan pada lahirnya partisipasi masyarakat. Oleh karenanya diperlukan upaya membangkitkan partisipasi masyarakat sehingga masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan.

99 menempatkan MDH sebagai subjek kehutanan. Posisi masyarakat lokal sebagai subyek pengelolaan hutan ini sangat penting karena:

1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap mereka yang sebenarnya.

2. Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya. Mereka akan lebih mengetahui program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki. Kepercayaan ini sangat penting khususnya bila pengelolaan kehutanan memerlukan dukungan masyarakat.

3. Sebagai tuntutan demokratisasi, masyarakat harus dilibatkan sebagai subjek dalam pembangunan masyarakat. Mereka mempunyai hak untuk berpendapat dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan konsep man centered development yakni bahwa pembangunan harus dipusatkan pada kepentingan manusia demi perbaikan nasib manusia.

Pemberdayaan komunitas menjadi isu penting yang berkembang di Negara- negara berkembang. Kepedulian terhadap isu lingkungan, kesetaraan gender, keadilan serta keberlanjutan mudah diterima oleh komunitas yang sudah lama menjadi objek dalam pembangunan top down

Tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang lebih banyak dilakukan dalam tahapan implementasi. Keterlibatan petani dalam perencanaan, keikutsertaaan dalam rapat perencanaan, keterlibatan dalam pelaksanaan, pengamanan, dan evaluasi dapat dilihat pada Tabel 26 berikut:

yang selama ini dilakukan oleh pemerintah.

Tabel 26. Partisipasi petani dalam PHBM (%)

Keterlibatan Tahapan rencana rapat rencana Pelaksanaa n pengamanan Evaluasi Tidak 63 61.1 7.4 46.3 18.9 Ya 37 38.9 92.6 53.7 81.1

100 Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat tingkat partisipasi petani dalam perencanaan dan evaluasi rendah. Sedangkan untuk pelaksanaan sangat tinggi 92,6 %.

Faktor rendahnya pendidikan dari para petani sangat berpengaruh terhadap kemampuannya dalam membuat perencanaan. Dalam rapat kelompok tani atau LMDH kebanyakan petani hanya diam tidak banyak usul, lebih sering menjadi peserta pasif dan menyetujui apa yang disampaikan ketua kelompok. Petani terbiasa diperintah oleh mandor pada saat menggarap lahan, dan mengikut saja apa yang diinstruksikan.

Disamping itu rendahnya pengetahuan tentang pengelolaan hutan juga berpengaruh terhadap partisipasi petani.

Keterlibatan banyak pihak berhubungan dengan program itu menguntungkan dirinya atau tidak dan apakah dia pernah membaca tentang perjanjian kerja sama atau tidak. Hal ini dibuktikan dengan hubungan yang signifikan antara keterlibatan banyak pihak menurut responden dengan pernah membaca Perjanjian (tingkat kepercayaan 90%) dan keuntungan penggarap (tingkat kepercayaan 95%). Hasil uji chi square terlihat pada Tabel 27 berikut :

Tabel 27. Hasil uji hubungan peubah keterlibatan para pihak

Variabel Pearson chi square

Value Df Asymp. Sig.

(2-sided) Tahu perjanjian 1.218 2 0.544 Baca perjanjian 5.468 2 0.065 Menguntungkan Perum? 5.021 4 0.285 Menguntungkan Penggarap? 22.871 4 0.000

Pelaksanaan program PHBM dan perencanaannya ternyata tidak menunjukkan hubungan yang signifikan seperti ditunjukkan oleh uji chi square pada Tabel 28 berikut :

Table 28 Hasil uji hubungan peubah pelaksanaan dengan perencanaan

Variable Pearson chi square

Value Df Asymp. Sig. (2-sided)

101 Evaluasi program dengan perencanaan program memiliki hubungan yang signifikan berdasarkan hasil uji chi square pada Tabel 29 berikut :

Tabel 29. Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan perencanaan

Variable Pearson chi square

Value Df Asymp. Sig. (2-

sided) Ikut rencanakan phbm 12.514 1 0.000 +++

Sebaliknya hubungan antara evaluasi program dan pelaksanaannya menunjukkan hubungan yang tidak signifikan menurut uji chi square pada Tabel 30 berikut :

Tabel 30. Hasil uji hubungan peubah evaluasi dengan pelaksanaan

Variable Pearson chi square

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Ikut melaksanakan 1.432 1 0.232

Para petani dalam bekerja sama dengan Perhutani ternyata kurang mengerti secara rinci apa yang sebenarnya disepakati dalam perjanjian yang ditandatangani ketua KTH/LMDH. Mayoritas petani mengetahui adanya perjanjian kerja sama, tetapi kurang dari separuh (44,4%) yang membaca isi perjanjian kerja sama sedangkan separuh lebih belum pernah membaca isi perjanjian, sebagaimana terlihat pada Tabel 31 berikut :

Tabel 31.Pemahaman petani (%) terhadap perjanjian kerja sama

Tahu ada perjanjian Baca perjanjian

Ya 85,2 44,4

Tidak 14,8 55,6

Slamet dalam Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi yaitu: 1). Adanya kesempatan untuk membangun atau ikut dalam pembangunan. 2). Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu. 3). Adanya kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Kartasubrata (1986) dorongan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dari bimbingan. Bila melihat hubungan antara dorongan dan rangsangan dengan intensitas

102 partisipasi dalam pembangunan hutan untuk semua lokasi, ternyata mempunyai hubungan yang erat, semakin kuat dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi dalam pembangunan makin tinggi intensitas partisipasinya.

lmplikasinya bila penduduk diberikan banyak kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberikan peluang untuk mendapat lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk berpartisipasi maka intensitas partisipasinya dalam pembangunan hutan akan meningkat. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada waktu pelaksanaannya saja tetapi juga mulai dari pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian dan distribusi hasilnya.

Sedangkan faktor yang mempersulit partisipasi masyarakat menurut Hollsteiner (1982) ada : 1). Ahli-ahli dari golongan elit sering menganggap diri mereka paling tahu dan merasa harus menggurui mereka. 2). Rakyat sendiri yang belum terbiasa dengan hidup modern. 3) Ada kontradiksi antara usaha mengembalikan partisipasi dengan usaha mencapai target-target secepatnya.