• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 17 Hasil uji peubah yang berhubungan dengan tenaga kerja

DOMINASI PERHUTANI DALAM KEMITRAAN POLA PHBM

7.1 Petani Belum Menjadi Mitra Sejajar

Dalam pelaksanaan program PHBM di BKPH Parung Panjang pada praktiknya di lapangan masih terdapat ketidakseimbangan kedudukan. Pihak Perhutani masih mendominasi, karena merasa paling berhak dan paling bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan di kawasannya. Pelaksana lapangan dari Perhutani adalah para mandor. Mandor sebagai petugas Perhutani sudah terbiasa dengan pekerjaan memerintah dalam penanaman, pemeliharaan, dan penebangan belum bisa mengubah sepenuhnya sikapnya terhadap petani yang sekarang menjadi mitra kerja. Para mandor terlihat lebih bertindak sebagai pihak pemberi perintah dan merasa superior sehingga masyarakat masih dianggap pihak luar yang “numpang” mencari penghidupan di hutan.

Hubungan antara mandor dan petani tidak selalu berlangsung dengan harmonis. Mandor terlihat setengah hati atau seperti terpaksa dalam mengembangkan program PHBM. Mandor masih dominan, sementara kebanyakan petani juga belum sadar akan kedudukannya sebagai mitra sejajar. Petani hanya masih sebagai pengikut dan objek program, belum menjadi subjek yang menentukan pelaksanaan program.

Tingkat pendidikan petani yang mayoritas lulus SD atau tidak tamat SD merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya terjadi perubahan sikap kebanyakan petani penggrarap. Meskipun telah dilaksanakan PHBM, pola hubungan antara petani dengan Perhutani masih seperti mandor dan kuli. Petani terlihat menunggu perintah dan melaksanakan apa yang diperintahkan para mandor.

Ketidakharmonisan dalam pelaksanaan PHBM, terlihat adanya perbedaan persepsi antara mandor dengan pengurus KTH/LMDH. Mandor menganggap penggarap tidak paham PHBM. Sebaliknya pengurus kelompok menganggap bahwa mandor bekerja semaunya sering melakukan kegiatan tanpa memberikan informasi kepada kelompok tani atau LMDH. Dalam pembagian lahan garapan seringkali ditentukan sepihak oleh mandor. Pembagian uang hasil penjarangan tidak jelas kapan akan dibagikan. Mandor dianggap mau menangnya sendiri, kalau petani bekerja sebagai kuli tanam akan

78 mendapatkan upah harian. Sebaliknya kalau petani menjadi penggarap tidak akan mendapatkan upah tanam padahal anggarannya untuk penanaman telah tersedia, kalau non-PHBM ada biaya tanam, tetapi kalau PHBM mengapa tidak ada biaya tanam.

Kemitraan terjadi dengan cenderung asimetris. Salah satu bentuk indikasi ketidaksetaraan adalah konsep perjanjian kerja sama dibuat oleh Perhutani. Kelompok tani KTH/LMDH hanya membaca dan menyetujui konsep yang ada. Karena pembuat konsep perjanjian kerja sama adalah Perhutani, sangat terbuka adanya kepentingan-kepentingan dari Perhutani baik yang jelas terlihat maupun maksud tersembunyi di balik draft yang disusunnya.

Sebenarnya petani sudah dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut masih banyak ditentukan oleh Perhutani. Hubungan asimetris ini menempatkan petugas Perhutani lebih berperan, sedangkan petani berada pada posisi lemah lebih banyak berperan sebagai pelengkap kemitraan. Hal ini yang tidak jauh berbeda terjadi pada pola kemitraan pada perusahaan perkebunan (Fadjar, 2006). Hubungan kemitraan terjadi cenderung asimetris–eksploitatif. Bukan karena petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi kegiatan, tetapi pengambilan keputusan pada proses tersebut masih banyak ditentukan oleh perusahaan inti atau pihak lain (pemerintah) yang mempunyai kekuasaan lebih besar.

Kedudukan petani dalam kemitraan pada pelaksanaan PHBM di beberapa desa tidak sama kondisinya. Semakin solid kelompok tani hutan atau LMDH semakin kuat posisi tawar petani. Hal ini tergantung juga pada kepemimpinan dan keberanian pengurus kelompok, semakin berani kelompok semakin diperhitungkan dalam penentuan dan pengambilan keputusan. Dari ketiga desa yang diteliti, LMDH yang berada di Desa Babakan yang paling aktif melakukan pembinaan terhadap petani penggarap dan lebih berani berpendapat jika berhadapan dengan pihak lain dalam praktik kemitraan.

Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan sejak program tumpangsari sampai PHBM, sebenarnya belum mengalami perubahan filosofi yang berarti, belum menempatkan kedua pihak terkait, kehutanan dan petani pada kedudukan yang setara. (Sambas,2010). Sistem tumpangsari masih terlalu bias pada kepentingan kehutanan dan menomorduakan kepentingan petani. Sebagai contoh, adanya larangan bagi petani untuk menanam tanaman palawija tertentu

79 yang sesungguhnya menjadi andalan, serta pembatasan waktu pelaksanaan tumpangsari.

Pihak Perhutani belum menempatkan kepentingan petani dan perusahaan pada level yang sama, suatu hal yang berlawanan dengan prinsip kemitraan. Dalam agroforestri yang sesungguhnya dipraktikkan petani seharusnya sebagai manager lapangan yang sesungguhnya. Petani yang telah lama mempraktikkan usaha taninya secara terpadu. Petani telah terbiasa dihadapkan pada suatu kondisi yang mengharuskan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang tahun, dengan sekaligus memelihara hutan yang lestari (Sambas, 2010 )

Kaswinto (1999) mengemukakan bahwa prinsip kesetaraan bagi

stakeholder merupakan sebuah kunci keberhasilan dalam membangun

kemitraan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Iswantoro (1999), bahwa prinsip , dasar kemitraan adalah saling percaya, kesamaan kepentingan dan tujuan, kesamaan pandangan tentang cara-cara pencapaian tujuan tersebut, pembagian tanggungjawab yang jelas, pembagian hak yang jelas dan pembagian ongkos dan keuntungan yang adil berdasar kesepakatan bersama. Suksesnya kemitraan ini secara umum ditentukan oleh prinsip keadilan, tanggung jawab, transparan, mekanisme institusi serta adanya keuntungan ekonomi dan finansial bagi semua stakeholder yang terlibat dalam kemitraan (Ichwandi dan Saleh, 2000).

Model PHBM berkelanjutan harus dimulai dengan diskusi dan dialog di tingkat desa dengan berbagai stakeholders. Penyusunan rencana, pelaksanaan kegiatan diawali dengan peningkatan sumberdaya manusia pada setiap kegiatan PHBM, serta pengembangan ekonomi kerakyatan untuk meningkatan partisipasi masyarakat. Pemantauan dan evaluasi harus diselenggarakan setiap tahun yang dilakukan oleh Forum Komunikasi PHBM yang anggotanya mempunyai kewenangan dan kemampuan serta kesempatan yang cukup untuk menjalankan tugasnya untuk mengevaluasi dampak PHBM terhadap masyarakat dan lingkungannya.

Sistem kemitraan seharusnya melibatkan pelbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan. Proses kemitraan multipihak merupakan proses yang menawarkan mekanisme kerja baru yang mengenalkan pemahaman tentang para pihak dan mendorong para pihak untuk lebih menghargai pihak lain. Praktek-praktek multipihak melibatkan pihak

80 pemerintah daerah, pemerintahan lokal, pengusaha, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan aktivis LSM. Pendekatan multipihak, ditawarkan dengan maksud agar perubahan-perubahan itu menuju ke arah yang diharapkan, dengan cara yang dapat diterima oleh para-pihak. Para-pihak belajar memahami aspirasi sendiri maupun pihak lain. Kemudian menguji aspirasi itu dalam proses negosiasi yang saling-menghormati (Yuliani & Tadjudin , 2006).

Proses kemitraan multipihak diharapkan dapat menemukan model pendayagunaan sumberdaya yang sangat spesifik lokal. Sebuah model yang mampu mengakomodasikan kepentingan ekonomi para pihak, dengan tetap memelihara kelestariannya. Aliran manfaat sumber daya juga terdistribusi secara lebih berkeadilan. Pihak-pihak yang selama ini terpinggirkan, seperti kelompok petani tanpa lahan didorong agar dapat bersuara dan memperoleh akses sumberdaya.

Dengan proses multipihak akan tumbuh suatu nilai baru: tidak ada satu pihak yang bersikukuh untuk mempertahankan kepentingan dan posisinya secara apriori. Pemerintah dan Perhutani yang berperan sebagai pembuat kebijakan, mau tidak mau harus bersedia duduk bersama untuk mengakomodasi harapan pihak lain, terutama kelompok masyarakat yang selama ini ditempatkan sebagai objek atau pelaksana kebijakan. LSM yang semula berperan sebagai lembaga advokasi yang berpihak ke masyarakat dan melawan pemerintah, mesti belajar berubah menjadi fasilitator yang netral dan tidak berpihak, bahkan bekerjasama dengan pemerintah.

Perubahan kondisi bisa diprakarsai dari pihak mana saja, atas inisiatif sendiri atau didorong oleh pihak lain. Pemicu perubahan bisa bersumber pada perubahan kelimpahan sumberdaya, motif individu, tata nilai, aturan main, struktur organisasi, dan mekanisme kerja.

Mencermati penerapan PHBM di Perhutani BKPH Parung Panjang, KPH Bogor dapat ditarik pelajaran bahwa dominasi dari Perhutani terhadap masyarakat sebagai mitra dalam pengelolaan hutan berdampak pada tidak terwadahinya kreativitas, inisiatif rakyat untuk berkiprah dalam PHBM. Dengan model yang sama di setiap wilayah telah terjadi pemaksaan sistem pengelolaan hutan padahal kondisi sosial, ekonomi, ekologi dan kebutuhan masyarakat berbeda dalam setiap kawasan.

Hal yang sama ditemukan juga dalam penelitian Kusdamayanti (2008) dalam porgram PKPH di Kabupaten Malang. Dalam proses formulasi kebijakan

81 PKPH ini terlihat peran negara yang sangat dominan yang diwakili oleh Perhutani KPH Malang dan Dinas Kehutanan Kabupaten Malang. sebagai representasi negara menganggap bahwa kewenangan pengambilan keputusan tentang pengelolaan sumberdaya hutan hanya menjadi kewenangan negara. Peran masyarakat dalam pengambilan keputusan tidak ada, dan hanya dilibatkan pada tahapan pencarian alternatif kebijakan. Dominasi negara (Pemerintah Daerah) telah mengurangi hak yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat. Pengurangan hak bagi hasil bagi masyarakat dalam PKPH yang semula 25% proporsi yang diterima masyarakat justru semakin menurun menjadi 20% karena pemerintah daerah merasa berhak mendapat bagi hasil karena telah membina.

Dominasi negara dalam proses formulasi kebijakan PKPH ini