• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN PENYIARAN DIGITAL BAGI INDONESIA @2014 DAN MASA DEPAN

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 147-150)

Tidak ada yang dapat diharapkan dari kebijakan digitalisasi yang melanggengkan status quo untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia @ 2014 dan masa depan. Saat ini, menjelang pemilihan umum, kita telah melihat bagaimana pemilik media yang ternyata juga berambisi memperoleh kekuasaan politik telah memanfaatkan medianya untuk tujuan pencintraan dan menyebarkan pengaruh. Berdasarkan catatan Komisi Penyiaran Indonesia, pada saat Hary Tanoesoedibyo, pemilik

RCTI dan MNC group, masih di Partai NasDem, antara bulan Oktober sampai dengan November 2012, stasiun televisi swasta tersebut telah menayangkan sebanyak 127 iklan partai tersebut. Kemudian, ketika Hary Tanoesudibyo berpindah ke partai Hanura, dalam periode yang sangat singkat, yaitu 2-15 April 2013, KPI mencatat adanya 11 berita tentang Hanura yang muncul tidak hanya di RCTI, tapi juga di seluruh grup MNC (MNC TV dan Global TV). Pemberitaan tentang Aburizal Bakrie yang mencalonkan diri sebagai presiden RI juga banyak bermunculan di TV One. KPI mencatat 10 pemberitaan dan 143 kali tayangan iklan politik tentang Si Pemilik sepanjang April 2013. Bukan hanya dalam iklan dan berita, program-program hiburan pun dimanfaatkan oleh pemilik untuk mengampanyekan diri dan partai politiknya. Data-data ini menunjukkan bahwa kepemilikan media dan keterlibatan pemilik dalam partai politik hampir selalu mempunyai korelasi positif dengan iklan dan pemberitaan politik mengenai si pemilik. Media yang seharusnya berperan dalam menampilkan kepentingan publik justru menjadi alat propaganda yang menampilkan wajah- wajah pemiliknya. Sudah dapat ditebak dan dibayangkan, bagaimana jika para pemilik media ini kemudian menguasai penyiaran digital.

Fenomena pemanfaatan media oleh pemilik membuktikan pernyataan William (2003) dan juga Preston dan Kerr (2001) bahwa keberadaan teknologi penyiaran dasarnya mempromosikan “hegemonic industrial and policy elites”. Di sini, publik tidak mendapatkan tempat yang layak, karena kepentingan pemilik modal (pemilik teknologi) mendominasi penggunaan teknologi. Seperti dinyatakan Hartley (2009), teknologi tidaklah bersifat netral oleh karena itu skeptisme selalu mengiringi pengembangan dan penerapan teknologi baru, karena teknologi membawa konotasi lokus dan kontrol kekuasaan, agenda tersembunyi, ideologi dan moralitas. Dalam kasus penggunaan spektrum frekuensi radio, secara historis telah terbukti, di Indonesia, frekuensi selalu menjadi rebutan dan digunakan sebagai mesin kekuasaan (Dahlan, 2012). Selama masa penjajahan Jepang, pemerintah Jepang menggunakannya untuk memanipulasi opini publik tentang kekuasaan mereka dan kemajuan perang. Pada masa awal kemerdekaan, tentara Indonesia merebut frekuensi dari penjajah Jepang untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Selama rezim Orde Lama, Soekarno, menggunakan frekuensi sebagai alat komunikasi politik untuk mengembangkan budaya nasional yang menekankan pentingnya keseragaman dan kesatuan (Kitley, 2001). Pada masa Orde Baru, pemerintah Soeharto melakukan kontrol terhadap frekuensi untuk mengembangkan dan memperkuat budaya nasional dan mesin hegemoni politik (Sen & Hill, 2001). Selama periode ini, pemerintah dan kapitalis yang memiliki koneksi ke Suharto sebagian besar menguasai frekuensi untuk tujuan politik dan ekonomi (Gazali, 2004). Setelah Reformasi (1998), persaingan sengit terjadi dalam perebutan frekuensi. Konsolidasi bisnis merajalela untuk dapat menguasai dan mengontrol frekuensi. Pada tahun 2011, ketika digitalisasi mulai diterapkan, kolaborasi kekuatan politik dan ekonomi pun terjadi untuk dapat menguasai frekuensi digital (Siregar & Rahayu, 2012).

Dalam konteks situasi seperti ini, peran independen regulatory body sangatlah vital untuk mengatur digitalisasi penyiaran. Ada beberapa alasan kuat mengapa pengaturan ini tidak diserahkan ke pemerintah (Rianto, dkk., 2012) . Pertama, selama implementasi Undang-Undang Penyiaran No. 32/2002 yang masih analog, pemerintah sebagai regulator tidak mampu menegakkan peraturan yang ada. Sistem siaran berjaringan yang diamanatkan undang-undang tidak pernah dilaksanakan,

pemindah tanganan dan pemusatan kepemilikan tidak pernah ditangani. Kedua, ketidakpercayaan berikutnya berangkat dari kenyataan bahwa birokrasi masih dihinggapi oleh penyakit korupsi. Birokrasi masih banyak dihinggapi oleh para pemburu rente sehingga proses digitalisasi penyiaran yang disetting melalui Permen tak pelak menimbulkan kecurigaan ini. Di samping itu, untuk mengatasi persoalan ini agar tidak berlarut-larut, kebijakan digitalisasi perlu direvisi dan diubah. Kebijakan seharusnya menganut prinsip-prinsip demokrasi, yaitu mempertimbangkan kepentingan dan melibatkan partisipasi publik yang luas, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, menjaga kemajemukan masyarakat, dan berkeadilan sosial.

PENUTUP

Digitalisasi penyiaran di Indonesia masih perlu pembenahan serius, terutama menyangkut pengaturan soal izin penyiaran digital, penyelenggara multipleksing, eksistensi lembaga penyiaran publik dan komunitas, posisi dan kewenangan regulator penyiaran, serta proses transisi dari analog ke digital. Pengaturan ini seharusnya menganut prinsip demokrasi yaitu mempertimbangkan kepentingan dan melibatkan partisipasi publik yang luas, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas, menjaga kemajemukan masyarakat, dan berkeadilan sosial. Tanpa pembenahan yang serius, digitalisasi hanya memperkuat status quo, melanggengkan dominasi kekuasaan ekonomi dan juga politik, yang pada akhirnya mengancam demokrasi Indonesia @2014 dan masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Berresford, J.W. (2005). The Scarcity Rationale for Regulating Traditional Broadcasting: An Idea Whose Time Has Passed. Online available http://transition.fcc.gov/ownership/materials/already- released/scarcity030005.pdf

Dahlan, Alwi M. (2012, May 10). “Spektrum frekuensi milik siapa.” Kompas. Retrieved from http://tekno.kompas.com/read/2012/05/10/02151314/Spektrum.Frekuensi.Milik.Siapa)

Gazali, E. (2004). Communication of Politics and Politics of Communication in Indonesia: A Study on Media Performance, Responsibility and Accountability. Dissertation: Radboud Nijmegen University.

Hartley, J. (2009). “From the consciousness industry to the creative industries: Consumer-created content, social network markets, and the growth of knowledge.” In J. Holt & A. Perren (Eds), Media industries: History, theory, and method (pp. 231-244).Oxford, UK: Wiley-Blackwell, 2009. Kitley, P. (2001). Konstruksi budaya bangsa di layar kaca. Jakarta, Indonesia: Institut Studi Arus Informasi.

McLuhan, M. (1964). Understanding Media The Extensions of Man. London: Routledge and Kegan Paul Ltd.

Mosco, V. (1996). The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Thousan Oaks, New Delhi: Sage Publications.

Preston, P. and Kerr, A. (2001), Digital Media, Nation-State, and Local Cultures: The Case of Multimedia ‘Content’ Production. Media, Culture, and Society, 23(1), pp. 109-131.

Rianto, P., Wahyono, B., Yusuf, I.A., Zuhri, S., Cahyono, M.F, Rahayu, Masduki, dan Siregar, A.E. (2012). Digitalisasi Televisi Di Indonesia. Yogyakarta: PR2Media dan Yayasan Tifa.

Sen, K., dan Hill, D. T. (2001). Media, budaya dan politik di Indonesia, Jakarta, Indonesia: Institut Studi Arus Informasi dan PT Media Lintas Inti Nusantara.

Siregar, A.E. dan Rahayu (2012). Digital Terrestrial Television in Indonesia: Collaboration between Political and Economic to Maintain Existing Concentration and Power. Paper, presented in Indonesia International Conference on Communication (IICC), Universitas Indonesia, Jakarta, December 6-7, 2012.

Smith, P. 1999. The politics of UK television policy: The introduction of digital television.

International Journal of Communication Law and Policy, 3 (Summer).

Williams, R. (2003, 1975) Television: Technology and Cultural Form. London and New York: Routledge.

UU RTRI: SOLUSI RRI-TVRI MENYAMBUT

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 147-150)