• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORITIS

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 80-86)

Menurut Aprilia, Wijaya & Wiyantol dalam Jurnal Manajemen perhotelan (2006; 86-96) gaya komunikasi penting sebagai cara yang khas pada diri seseorang untuk menyampaikan maksudnya dan untuk mengetahui respon dari orang yang diajak komunikasi.

Menurut H. Hadari Nawawi (2006) setiap dan semua organisasi apapun jenisnya pasti memiliki dan memerlukan seorang pimpinan tertinggi (pimpinan puncak) atau manajer tertinggi (top manager) yang harus menjalankkan kegiatan kepemimpinan (leadership) atau managemen (management) bagi keseluruhan organisasi sebagai satu kesatuan. Pemimpin tersebut merupakan orang pertama, ibarat nahkoda kapal yang harus menjalankan jalannya kapal.

Tipe dan gaya kepemimpinan menurut Agus Dharma (Hadari Nawawi, 2006) adalah pola tingkah laku yang ditujukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaryhi orang lain. Begitu juga yang diketengahkan Paul Hersey dan Kenneth Blanchard gaya kepemimpinan adalah pola perilaku pada saat seseorang mencoba mempengaruhi orang lain dan mereka menerimanya.

Dalam telaah tentang kepemimpinan, Etzioni (1961) membedakan ada tiga tipe pemimpin, yaitu:

a. Tipe oficer, atau pemimpin yang memperoleh pengakuan hanya bersumber dari kekuasaan yang

diperoleh dari kedudukannya dalam sitem sosial (kelompok atau organisasi) yang bersangkutan. Pemimpin tipe ini, boleh jadi tidak memiliki kepemimpinan yang baik, tetapi dia berhak mempimpin orang lain karena memang memiliki jabatan yang diperolehnya.

b. Tipe Pemimpin Formal, atau pemimpin yang di samping memperoleh pengakuan atau hak/ kekuasaan memimpin yang bersumber dari kedudukannya dalam sistem sosial (kelompok atau organisasi) yang bersangkutan, tetapi memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepemimpinan) yang andal.

c. Tipe Pemimpin – informal, atau pemimpin yang secara formal tidak memperoleh pengakuan atau hak / kekuasaan memimpin yang bersumber dari kedudukannya dalam sistem sosial (kelompok atau organisasi) yang bersangkutan, tetapi memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepepimpinan) yang andal.

Pemimpin tipe ini, banyak sekali dijumpai dalam masyarakat, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan menggerakkan atau disegani orang lain meskipun secara formal tidak memiliki jabatan apapun di dalam sistem sosialnya yang memberi kekuasaan untuk memimpin orang lain.

Ada juga teori kisi kepemimpinan (Blake dan Mouton). Kisi ini berasal dari hal-hal yang mendasari perhatian manajer perhatiannya pada tugas atau pada hal-hal yang telah direncanakan untuk diselesaikan organisasi, dan perhatian kepada orang-orang dan unsur-unsur organisasi yang mempengaruhi mereka. Sehingga menciptakan gaya pengelolaan dan kepemimpinan. Kelima jenis gaya ekstrim yang dikemukakan model kisi disajikan secara singkat sebagai berikut :

a) Gaya pengalah (impoverished style). Gaya ini ditandai oleh kurangnya perhatian terhadap

produksi. Bila terjadi konlik, pemimpin jenis ini tetap netral dan berdiri di luar masalah. b) Gaya pemimpin pertengahan(middle-of-the-road style). Gaya ini ditandai oleh perhatian yang

seimbang terhadap produksi dan manusia. Pemimpin dengan gaya ini berusaha untuk jujur tetapi tegas dan mencari pemecahan yang tidak memihak dan berusaha untuk mempertahankan keadaan tetap baik.

c) Gaya tim (team style). Gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap tugas dan manusia. Pemimpin tim amat menghargai keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil dari pengertian

dan kesepakatan anggota organisasi. Bila terjadi konlik, pemimpin tim mencoba memeriksa

alasan-alasan timbulnya perbedaan dan mencari penyebab utamanya. Pemimpin tim mampu menunjukkan kebutuhan akan saling mempercayai dan saling menghargai di antara sesama anggota tim, juga menghargai pekerjaan.

d) Gaya santai (country club style). Gaya ini ditandai oleh rendahnya perhatian terhadap tugas

dan perhatian yang tinggi terhadap manusia. Ia menghindari terjadinya konlik, tapi bila ini tidak

dapat dihindari, ia mencoba untuk melunakkan perasaan orang, dan menjaga agar mereka tetap bekerja sama. Pemimpin ini lebih banyak bersikap menolong daripada memimpin.

e) Gaya kerja (task style). Gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan

kerja tetapi amat kurang memperhatikan manusianya. Bila timbul konlik, pemimpin jenis ini

cenderung menghentikannya atau memenangkan posisinya dengan cara membela diri, bekerja

pada pendiriannya, atau mengulangi konlik dengan sejumlah argumentasi baru.

Menurut Blake dan Mouton, gaya tim merupakan gaya kepemimpinan yang paling disukai. Kepemimpinan gaya tim berasumsi bahwa orang akan menghasilkan sesuatu yang terbaik bilamana mereka memperoleh kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang berarti. Serta melibatkan anggota organisasi dalam pengambilan keputusan, dengan maksud mempergunakan kemampuan mereka untuk memperoleh hasil terbaik yang mungkin dicapai.

Menurut Siagian (1985), keberhasilan seseorang untuk memimpin organisasi sangat dipengaruhi ciri-ciri kepemimpinannya yaitu: 1) mempunyai pengetahuan yang luas, terutama yang meyangkut hal yang ada hubungannnya dengan sifat dan jenis tujuan yang hendak dicapai; 2) kemampuan bertumbuh dan berkembang secara mental; 3) kemampuan berpikir secara konsepsional; 4)

kemampuan untuk mengidentiikasikan hal-hal yang strategis serta pengaruhnya terhadap organisasi;

5) kemampuan berperan selaku integrator berbagai unsur dan komponen organisasi; 6) obyektivitas dalam menghadapi dan memperlakukan bawahan; 7) cara berpikir dan bertindak rasional; 8) kemampuan berperan sebagai guru dan penasehat yang efektif; 9) pola dan gaya hidup yang dapat dijadikan teladan oleh bawahan; 10) keterbukaan terhadap bawahan, dan 11) gaya kepemimpinan yang demokratis.

FENOMENA

Pada masa pemerintahan Soeharto tidak dipungkiri bahwa Soeharto seringkali menekankan untuk memperhatikan rakyat kecil. Saat memberikan pengarahan dalam berbagai rancangan proyek pembangunan ia selalu berpesanagar nasib rakyat benar-benar diperhatikan, ditegaskan pembangunan ini tidak berarti apa-apa jika tidak membawa dampak bagi kesejahteraan masyarakat. (Adian Husaini,1998).

Selama berkuasa 32 tahun dengan gaya kepemimpinan Jawa, Soeharto menciptakan birokrasi yang tumbuh di tengah-tengah lembaga yang harusnya melayani rakyat. Para birokrat orde baru banyak yang memiliki jiwa “pangreh praja”, bukan “pamong praja”. Mereka bukannya bertindak sebagai pelayan masyarakat , tetapi justru minta dilayani oleh masyarakat, mental seperti ini sudah cukup merata. Belum lagi budaya suap dalam penangan berbagai urusan masyarakat.(Adian Husaini,1998;57).

Pada gaya kepemimpinan Habibie lebih keilmuwan dari pada praktisi cukup mengagetkan ketika pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Habibie memberikan opsi merdeka dengan melakukan jajak pendapat Timor-Timur. Kekecewaan rakyat pada pemerintahan Habibie adalah lepasnya Timor-Timur dari Indoensia akibatnya adanya campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan di wilayah tersebut paska lepas dari Indonesia. (Ahmad Watik,1999).

Gus Dur sangat mengayomi perbedaan bangsa, baik keturunan Cina dan agama. Gus Dur juga memfasilitasi pembicaraan lintas agama yang ada pada saat pemerintahannya terdapat keleluasaan berpendapat termasuk melalui media massa. (Abdurahman Madjirie,2000).

Gaya komunikasi Megawati cukup unik. Ada yang menyebutnya “Diam itu emas” karena kala itu Mega seringkali kehilangan kata-kata atau lebih banyak diam dari pada mengkomentari hal-hal yang

ditujukan padanya. Dalam buku Biograi Politik Megawati Putri 1993-1996, Megawati mengatakan

bahwa kepentingan rakyat adalah kepentingan yang harus didahulukan. Mengingat kepentingan rakyat banyak biasanya dikalahkan oleh kepentingan segelintir orang yang secara kebetulan memiliki “kekuasaan” dan “kekuatan” mengalahkan mereka itu. (Ahmad Bahar,1996). Dalam mengemukakan pemikirannya mengenai hakekat demokrasi Pancasila, Megawati mengatakan sebagai berikut: Harus kita lihat sumber dan sejarahnya. Atas dasar pengalaman pahit dari sejarah perjuangan rakyat Indonesia terutama dalam masa pergerakan nasional meraih kemerdekaan, telah terbukti dari dahulu hingga sekarang dan masa mendatang, kita tidak dapat lagi menerima sistem atau tatanan masyarakat yang menganut paham kolonialisme, feodalisme, komunisme dan kapitalisme”. Jika masih ingat bagaimana saham indosat dijual sebagai aset negara yang menimbulkan pro dan kontra. Seperti yang diungkapkan Prabowo dalam buku Kembalikan Indonesia Haluan baru Keluar dari Kemelut Bangsa.

Gaya pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono dengan merebut rasa simpati dari masyarakat membawa SBY menjadi menjadi presiden dalam dua periode. Namun, pada masa pemerintahan SBY terjadi pergolakan yang sangat luar biasa mulai dari kenaikan BBM yang bertahap sampai penurunan harga BBM diakhir masa periode pertama. Tidak hanya itu dengan simpatinya SBY juga menyoroti dunia pendidikan dengan menganggarkan 20% dari RAPBN untuk dana pendidikan. SBY juga membuat kebijakan melalui wajinb belajar 9 tahun dengan memberikan kebijakan pendidikan gratis yang dimulai dari ibukota serta perbaikan nasih guru.

PEMBAHASAN

Melihat fenomena yang terjadi tampak jelas bahwa tipe kepimpinan Tipe oficer, atau pemimpin yang memperoleh pengakuan hanya bersumber dari kekuasaan yangdiperoleh dari kedudukannya dalam sitem sosial (kelompok atau organisasi) yang bersangkutan. Pemimpin tipe ini, boleh jadi tidak memiliki kepemimpinan yang baik, tetapi dia berhak mempimpin orang lain karena memang memiliki jabatan yang diperolehnya.

Hampir semua pemimpin di negara ini bersumber dari kekuasaan yang diperoleh dari kedudukannya dalam sebuah partai. Meskipun tidak memiliki kepemimpinan yang baik,tetap dia berhak memimpin orang lain karena memiliki jabatan yang diperolehnya.

Tidak menjadi masalah sebenarnya jika itu bersumber dari kekuasaan yang diperoleh dari sistem sosial yang bersangkutan tetapi harus tetap dalam memperhatikan yang dipimpin dalam berkomunikasi yang baik dan mudah dipahami. Karena sulit untuk mencari Tipe Pemimpin – informal, atau pemimpin yang secara formal tidak memperoleh pengakuan atau hak / kekuasaan memimpin yang bersumber dari kedudukannya dalam sistem sosial (kelompok atau organisasi) yang bersangkutan, tetapi memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepepimpinan) yang andal. Meski, pemimpin tipe ini, banyak sekali dijumpai dalam masyarakat, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan menggerakkan atau disegani orang lain meskipun secara formal tidak memiliki jabatan apapun di dalam sistem sosialnya yang memberi kekuasaan untuk memimpin orang lain.

Dalam gaya dan pengelolaan kepemimpin yang lebih muncul Gaya kerja (task style), gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan kerja tetapi amat kurang memperhatikan

manusianya. Bila timbul konlik, pemimpin jenis ini cenderung menghentikannya atau memenangkan posisinya dengan cara membela diri, bekerja pada pendiriannya, atau mengulangi konlik dengan

sejumlah argumentasi baru.

Sedangkan dibutuhkan dalam gaya dan pengelolaan gaya tim yang muncul lebih kepada Gaya tim

(team style), gaya ini ditandai oleh perhatian yang tinggi terhadap tugas dan manusia. Pemimpin tim amat menghargai keputusan yang logis dan kreatif sebagai hasil dari pengertian dan kesepakatan

anggota organisasi. Bila terjadi konlik, pemimpin tim mencoba memeriksa alasan-alasan timbulnya

perbedaan dan mencari penyebab utamanya. Pemimpin tim mampu menunjukkan kebutuhan akan saling mempercayai dan saling menghargai di antara sesama anggota tim, juga menghargai pekerjaan.

Apakah sudah ada pemimpin yang ideal dalam berkomunikasi? Sulit untuk dijawab. Karena setiap manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan dalam berkomunikasi, baik dia sebagai pemimpin atau pun yang dipimpin. Namun, bagaimanapun seperti Seperti yang diungkapkan oleh Joko Widodo dalam tempo.co yang dalam perannya sebagai seorang Gubernur DKI "Salah satunya, pemimpin sakarang harus bersikap lebih horizontal kepada rakyat dan bawahannya dibanding bersikap vertikal. Bersikap horizontal yang dimaksud adalah mau mendekati masyarakat dan membangun komunikasi yang sejajar, bukan top-down (vertikal). Pemimpin juga harus mau mendekati masalah untuk dipelajari, bukan menjauhinya. Sikap horizontal menjadi salah satu kriteria paling sering dilupakan oleh pemimpin sekarang. Kebanyakan pemimpin atau pejabat cenderung bersikap eksklusif. Alhasil, kedekatan dengan masyarakat atau tempat masalah bersumber tak terbentuk. "Kalau korporasi, pemimpin atau pejabat, masih bertahan dengan model vertikal, dijamin masa kepemimpinannya tak akan bertahan lama. Jokowi mencontohkan jatuhnya Mubarak atau Morsi di Mesir. Tak cuma sikap horizontal saja. Jokowi menganggap inti dari pemimpin yang baik adalah mampu mendengar keluhan masyarakat. Usai mendengarkan masyarakat, seorang pemimpin harus mampu mendekatkan masyarakat, sedekat mungkin dengan harapannya. Terakhir, blusukan merupakan cara dia untuk bersikap horizontal. Di situlah, kata Jokowi, dia mendapat gambaran rill masyarakat dan mengerahkan bawahannya untuk mencari solusi.

KESIMPULAN

Tidak mudah mencari pemimpin yang ideal, yang memiliki tipe dan gaya komunikasi yang baik. Namun, berusaha untuk mempercayai seseorang dalam memimpin yang itu yang dibutuhkan. Proses menjadi menjadi seorang pemimpin yang yang sesuai dengan keinginan yang dipimpinnya membutuhkan langkah yang panjang.

Harapan ke depan terlebih menjelang PEMILU 2014 memang diharapkan pemimpin harus bersikap lebih horizontal kepada rakyat dan bawahannya dibanding bersikap vertikal. Bersikap horizontal yang dimaksud adalah mau mendekati masyarakat dan membangun komunikasi yang sejajar,

DAFTAR PUSTAKA

Abburahman Madjrie, (2000), Nasehat Untuk Presiden Gus Dur, Jakarta:Institut Transparansi Indoensia

Adian Husaini, (1998), Soeharto, Jakarta: Gema Insani Press

Ahmad bahar, (1996), Megawati Soekarnoputri 1993-1996, Yogyakarta: PTPena Cendikia

Ahmad Watik Pratiknya, (1999), Pandangan Dan Langkah Reformasi BJ. Habibie,

Jakarta:RajaGraindo Persada

Kartono Kartini, (1991), Pemimpin dan Kepemimpinan. Rajawali Pers. Jakarta.

Nawawi, H. Hadari, (2006), Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi, Edisi Cetakan Kedua, Gadjah Mada University Press.

BIODATA PENULIS

Djudjur Luciana Radjagukguk S.Sos, M.Si. Dilahirkan di Jakarta, 29 Desember 1970. Sudah menikah dan memiliki dua orang putra. Tahun 1990 lulus dari SMA Negeri 37 Tebet Jakarta, selanjutnya kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, Jurusan Ilmu Jurnalistik, tamat tahun 1994. Tahun 2007, penulis melanjutkan Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Jurusan Komunikasi Penyuluhan namun setahun kemudian melanjutkan Sekolah ke Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta, memilih konsentrasi Manajemen Komunikasi Program Pascasarjana USAHID Jakarta. Saat ini penulis mengajar di Universitas Nasional sebagai Dosen Tetap dan Dosen Luar Biasa Universitas Pembangunan Nasional (Veteran). Saat ini penulis turut dalam organisasi yang menerbitkan sebuah jurnal yaitu JURNAL BUMANTARA sebagai salah satu anggota redaksi pelaksana.

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 80-86)