• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK PEMIMPIN YANG BAIK

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 60-64)

Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Ludlow dan Panton,1996), masing-masing gaya kepemimpinan hanya memadai dalam situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu. Kepemimpinan itu sendiri seringkali diartikan sebagai jabatan formal, yang menuntut untuk mendapat fasilitas dan pelayanan dari konstituen yang seharusnya dilayani. Meskipun banyak di antara pemimpin yang ketika dilantik mengatakan bahwa jabatan adalah sebuah amanah, namun dalam kenyataannya sedikit sekali atau bisa dikatakan hampir tidak ada pemimpin yang sungguh- sungguh menerapkan kepemimpinan yang berorientasi pada rakyat, tetapi justru berorientasi pada kepentingan diri sendiri.

Kepemimpianan yang baik dimulai dari dalam diri pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Menurut McGregor Burns dalam Gary Yukl (2010), Kepemimpinan transformasional menyerukan nilai-nilai moral dari para pengikut dalam upayanya untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis dan untuk memobilisasi energi dan sumber daya mereka untuk mereformasi institusi. Hal ini berbeda dengan kepemimpinan

Pencitraan sebagai pemimpin yang transformasional melekat kuat dalam diri Joko Widodo yang seringkali melakukan aksi terjun ke masyarakat lapisan bawah (blusukan) untuk mendengarkan langsung keluhan dan harapan dari masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau kemudian tingkat elektabilitas Joko Widodi sangat tinggi mengungguli kandidat-kandidat lainnya. Sifat dan perilaku yang berhasil dicitrakan oleh Joko Widodo sebagai karakteristik kepemimpinannya ini dinilai sangat mengena dan menyentuh masyarakat lapisan bawah, sehingga ia dinilai sebagai pemimpin yang mau melakukan perubahan atau mereformasi Jakarta sebagai Ibukota, terutama dengan jargon “Jakarta Baru” yang dikemukakannya dalam setiap kesempatan termasuk pada saat kampanye Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 lalu.

Sementara itu, kandidat calon presiden lain pun berupaya mencitrakan diri sebagai pemimpin yang peduli kepada rakyat kecil, seperti yang dilakukan oleh Prabowo Subianto melalui berbagai kegiatan yang dilakukannya bersama para petani yang berada di bawah kepemimpinannya. Hal serupa juga dilakukan oleh Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang rajin mengadakan kegiatan di berbagai daerah dengan mengusung kebijakan ekonomi yang peduli pada rakyat kecil.

Hal yang menarik adalah hasil survei yang dilakukan oleh Litbang KOMPAS menunjukkan bahwa pencitraan yang dilakukan oleh Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar selama ini ternyata mampu meningkatkan elektabilitas Partai Golkar yang dipimpinnya, namun di sisi lain justru meningkatkan penolakan atau resistensi masyarakat terhadap pencalonan dirinya sebagai calon Presiden pada pemilu 2014 nanti. Artinya, apa yang dikomunikasikan oleh Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Partai Golkar melalui program-program partai yang pro-rakyat mampu menumbuhkan citra positif di masyarakat terhadap partai politik yang dipimpinnya, namun tidak demikian halnya dengan pencitraan terhadap pribadinya sebagai seorang pemimpin.

Berbagai kampanye politik yang dilakukan oleh kandidat calon presiden dalam upaya mengkomunikasikan program-program yang dicanangkannya, tidak akan berhasil membentuk citra positif di benak masyarakat tanpa diimbangi dengan sikap kepemimpinan yang dibutuhkan dan diharapkan oleh masyarakat. Saat ini masyarakat Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang tidak hanya pandai dan memiliki kemampuan manajerial yang baik, tetapi juga mampu melayani masyarakat dengan hati dan memiliki integritas yang tinggi sebagai seorang pemimpin.

Selain itu, rakyat Indonesia juga membutuhkan seorang pemimpin yang efektif dan responsif. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan, dan impian dari mereka yang dipimpinnya. Untuk itu diperlukan adanya kearifan lokal yaitu spirit local genius yang disepadankan maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan, kepandaian, keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan dan berkenaan dengan penyelesaian masalah yang relatif pelik dan rumit.

KESIMPULAN

Menjelang Pemilu 2014, para kandidat calon presiden melakukan berbagai kegiatan dalam upaya membangun citra positif di masyarakat. Politik pencitraan yang dilakukan oleh para kandidat ini merupakan upaya penggambaran dirinya sebagai tokoh yang berperan aktif dalam berbagai kegiatan politik, sosial, budaya dengan harapan mendapat simpati masyarakat dan mendukungannya pada Pemilu 2014 nanti. Namun, berdasarkan hasil survey Litbang KOMPAS menunjukkan bahwa upaya pencitraan yang dilakukan oleh para tokoh politik tersebut tidak selalu berpengaruh terhadap perolehan dukungan publik, terutama ketika tokoh tersebut sebelumnya sudah dicitrakan negatif di masyarakat. Sebaliknya, ketika seorang tokoh sudah memiliki citra kuat sebagai pemimpin yang baik, maka dia tetap akan memperoleh dukungan yang kuat kendati tidak (belum) melakukan pencitraan sebagai kandidat calon presiden mendatang.

Situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini memerlukan seorang presiden yang memiliki kearifan lokal dan mampu menjadi pemimpin transformasional, yaitu pemimpin yang berani menyerukan nilai-nilai moral kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika dan untuk memobilisasi energi dan sumber daya masyarakat dalam upaya menyelesaikan masalah bangsa yang relatif pelik dan rumit serta mereformasi bangsa ini menuju bangsa yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Cangara, Haied (2009), Komunikasi Politik – Konsep, Teori, dan Strategi, PT Rajagraindo

Persada, Jakarta,

Eisenberg, Eric & HL Goodal (1997), Organizational Communication – Balancing Creativity and Constraint, Second Edition, St. Martin’s Press, New York

Hatch, Mary Jo (1997), Organizational Theory – Modern, Symbolic and Postmodern Prespectives, Oxford University Press, USA

Littlejohn, Stephen W (2005), Theories of Human Communication Eighth Edition, Wadworth Publishing Company, USA:

Nimmo, Dan (1978), Political Communication and Public Opinion in America, Goodyear Publishing Company, California

Robbins, Stephen P (1994), Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi – Alih bahasa : Jusuf Udaya, Penerbit ARCAN, Jakarta

Yulk, Gary (2010), Kepemimpinan dalam Organisasi – Edisi Kelima, PT Indeks, Jakarta

BIODATA PENULIS

Dr. NUR KHOLISOH. M.Si adalah dosen pada Program Magister Komunikasi Pascasarjana Universitas Mercu Buana – Jakarta. Ada beberapa karya ilmiah yang telah dihasilkan dan dipublikasikan, diantaranya: Pembentukan dan Pengembangan Hubungan Antar Etnis (Analisis Psikokultural dalam proses komunikasi antara etnis betawi dengan etnis lain), dan Kredibilitas Gus Dur Sebagai Komunikator Politik Dalam Proses Demokratisasi di Indonesia.

Aktivitas yang pernah diikuti adalah Regional Gender and Politics Training Level 1: Skills and Capacity Building for Women Political Leaders yang diselenggarakan APWLD di Bangkok, Thailand tahun 2007. Pada tahun yang sama, ia juga diundang pemerintah Amerika Serikat sebagai Peserta International Visitor Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat. Tahun 2005 ia aktif mengikuti program Training of Trainers bertema Strengthening Women Political Leaders In South Asia Program yang diadakan National Democratic Institute (NDI) di Jakarta.

KOMUNIKASI, KEPEMIMPINAN DAN

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 60-64)