• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR HUKUM KEBERADAAN KP

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 165-169)

Undang-Undang No. 32 tahun 2002 menjadi landasan hukum bagi keberadaan KPI. Pasal 6 ayat (4) UU Penyiaran menyatakan bahwa untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk komisi penyiaran. Kemudian, pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa komisi penyiaran yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) adalah Komisi Penyiaran Indonesia atau disingkat KPI; yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (ayat (2)). Tugas dan wewenang KPI juga jelas diatur dalam undang-undang penyiaran. Kewenangan KPI disebutkan dalam pasal 8 secara jelas, yakni menetapkan Standart Siaran, menyusun, mengawasi, dan memberikan sanksi atas pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran. KPI juga berwenang dalam melakukan koordinasi dan atau kerja sama dengan lembaga pemerintah, masyarakat, dan lembaga penyiaran. Sementara itu, mengenai tugas dan kewajiban KPI disebutkan pula dengan jelas-yang terpenting dalam konteks ini-, yakni menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia, ikut membantu pengaturan infrastruktur penyiaran, dan memelihara tatanan informasi yang adil, merata, dan seimbang. Dalam konteks wewenang, tugas dan kewajiban inilah, KPI diharapkan mampu memperjuangkan hak publik untuk informasi yang fair dan adil dalam pemilu 2014. Namun sayangnya, beragam persoalan yang menghimpit KPI membuat harapan itu sulit diwujudkan.

PERSOALAN KPI

Poin-poin sebagaimana dikemukakan di atas, menjadi hal yang krusial bagi usaha penataan sistem media penyiaran yang demokratis dan fair demi terciptanya pemilu yang adil dan demokratis. Namun, beragam pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran dan pemilik sepertinya membuat usaha membangun tatanan informasi yang adil sulit dilakukan.

PR2Media telah melakukan studi terhadap regulator media dan komunikasi di Indonesia (lihat Wahyono, dkk, 2011), salah satunya KPI. Khusus mengenai lembaga regulator bidang penyiaran ini, penelitian tersebut menemukan bahwa KPI memang menghadapi persoalan-persoalan yang bisa dikategorikan ke dalam dua bagian besar, yakni persoalan struktural dan kultural. Dalam konteks pemilu, persoalan-persoalan struktural muncul dari dua hal yang satu sama lain saling berkait.

Pertama, keberadaan KPI hanya sebagai pengawas isi siaran (media wacth) telah membuatnya tidak cukup kuat dalam menegakkan peraturan siaran. Beragam sanksi yang diberikan KPI pada akhirnya tidak membuat jera industri penyiaran karena hanya bersifat administratif, tidak sampai pencabutan ijin siaran. Di sisi lain, media penyiaran bisa melakukan siasat untuk menghindari hukuman tanpa KPI mampu berbuat lebih jauh. Perubahan program Empat Mata menjadi Bukan Empat Mata yang tayang di Trans7 menjadi contoh yang paling gamblang mengenai hal ini. Demikian juga, perubahan

Silet menjadi Intens di RCTI. Kedua, tidak diakuinya UU Penyiaran sebagai lex specialis sehingga dalam hal monitoring siaran, KPI harus ‘berbagi’ kewenangan dengan regulator lain, terutama dengan Lembaga Sensor Film (LSF), Dewan Pers, dan, dalam konteks Pemilu, KPU. Persoalan ini

tereleksi dengan sangat baik, misalnya, dalam P3SPS untuk sensor ilm dan iklan.

Pasal 55 Standart Program Siaran (SPS), misalnya, menyebutkan sebagai berikut. 1) Program siaran

dalam bentuk ilm wajib memperoleh dan menampilkan tanda lulus sensor berupa pernyataan lulus

sensor dengan bukti nomor surat atau registrasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan

ditayangkan sebelum disiarkan; 2) Program siaran dalam bentuk promo ilm dan/atau iklan wajib

memperoleh tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang sebelum disiarkan; 3) Tanda lulus sensor yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang sebagaimana yang diatur pada ayat (1) dan (2) di atas tidak serta-merta membuktikan kesesuaian program siaran dengan peraturan ini.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan pemilu, pasal 50 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) menyebutkan bahwa: 1) Lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah; 2) Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah; 3)Lembaga penyiaran tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah; 4) Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan program siaran yang dibiayai atau disponsori oleh peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah; dan 5) Lembaga penyiaran wajib tunduk pada Peraturan Perundang- Undangan serta Peraturan dan Kebijakan Teknis tentang Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.

Dua contoh peraturan di atas menjadi indikasi paling jelas betapa sebagai lembaga regulator penyiaran, KPI tidak bisa bertindak secara independen terlepas dari beragam peraturan lain dan regulator. Terlepas bahwa peraturan itu bertentangan dengan visi demokrasi penyiaran seperti

dalam kasus penyensoran. Undang-Undang No.33 tahun 2009 tentang Perilman menjadi satu-

satunya undang-undang di bidang media yang masih otoriter. Namun, KPI bukannya mereduksi

ilm yang disiarkan dalam medium televisi sebagai ‘ranah’ spesiik undang-undang penyiaran, tapi tetap mengacu pada undang-undang ilm yang otoriter sehingga visi demokratis lembaga penyiaran

menjadi kabur. Padahal, mestinya, jika toh UU Perilman tetap berlaku, ia hanya mengatur ilm yang

di bioskop, sedangkan ilm yang masuk ke tv tetap harus menjadi ranah KPI, dan karenanya tetap

mengacu pada P3SPS.

Selain beragam irisan undang-undang yang tidak mengakui sifat lex specialis UU Penyiaran, persoalannya lainnya adalah pada persoalan kultural. Sebagaimana diungkapkan oleh Idy Muzayad (Komisioner KPI) dalam suatu diskusi terfokus yang diselenggarakan PR2Media, tidak ada yang dilanggar oleh pemilik media itu karena memang tidak ada aturan kampanye yang dilanggar. Di

sini, persoalannya tentu saja pada deinisi kampanye itu sendiri, yang memang bias politik. Namun,

‘kemandulan’ KPI dalam konteks iklan kampanye sebenarnya lebih pada kultur yang berkembang dalam komisioner KPI itu sendiri. Pertama, pendekatan yang dilakukan sangat formalistik. Akibatnya, persoalan kampanye pemilik dalam ruang publik media sebatas dilihat apakah ada

pelanggaran ataukah tidak menurut deinisi formal. Dalam kaitan ini, rezim administrasi menjadi

jauh lebih berkembang dibandingkan dengan budaya perubahan yang digerakkan oleh daya kritis dan nalar. Komisioner lebih cenderung bertindak sebagai seorang birokrat yang melihat persoalan sebatas apakah ada peraturan yang dilanggar ataukah tidak? Jika tidak ada, maka ungkapan yang sering muncul adalah “belum ada aturan yang mengatur hal itu.” Celakanya, ketika peraturan perundangan tidak mampu menjaring pelanggaran-pelanggaran itu, Komisioner KPI justru beramai- ramai mencari alasan pembenar atas apa yang sebenarnya terjadi. Komentar Agatha Lily dalam konteks Kuis Kebangsaan yang tayang di RCTI berikut mereleksikan hal tersebut.

“Ketika orang bertanya kepada KPI (apakah tayangan ini) melanggar atau tidak, (saya akan jawab) mungkin (tayangan ini) lebih ke masalah etika saja ya, karena memang di P3SPS tidak ada pasal yang mengatur soal itu.”

adalah kampanye dengan target memperkenalkan siapa sebenarnya sosok Win-HT. Ini salah satu perdebatan yang bisa dibuka, hal lainnya masih bisa diperdebatkan. Namun, poin pokoknya adalah menguatnya kultur birokrat pada komisioner dalam melihat persoalan. Ada tidaknya aturan menjadi ukuran utama. Padahal, aturan itu bisa dibuat dengan tujuan-tujuan tertentu. Peraturan bukan kitab suci agama yang tidak bisa diubah kecuali ditafsirkan. Dengan demikian, KPI mestinya membuat terobosan-terobosan yang berani mengingat kerugian-kerugian yang dialami publik sudah sangat jelas, yakni penggunaan frekuensi demi keuntungan politik pemilik.

Kedua, berkait dengan yang pertama, anggota komisioner pada akhirnya menjadi sosok yang kurang gigih dalam memperjuangkan visi lembaga penyiaran yang seharusnya mereka perjuangkan. Akibatnya, mereka gagal mencari terobosan yang bermakna bagi publik. Ini bisa dilihat ketika mereka harus berhadapan dengan LSF dan Dewan Pers. Mestinya, mereka bisa memperjuangkan

suatu visi lembaga penyiaran yang lebih spesiik sifatnya (lex specialis) sehingga segala yang berurusan dengan lembaga siaran harus merujuk kepada, misalnya, P3SPS dan peraturan KPI lainnya, dan bukannya sebaliknya. Ini karena kampanye-kampanye dalam media televisi menjadi ranah yang sangat berbeda dibandingkan dengan kampanye bentuk lain. Sejauh itu berada dalam media penyiaran, KPU beserta perangkat undang-undang di bawahnya, harus merujuk ke KPI dan P3SPS, bukan sebaliknya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kampanye pemilu harus merujuk pada undang-undang pemilu dan peraturan KPU sehingga tidak ada yang dilanggar. Padahal, secara terang dan jelas, para pemilik itu menggunakan media televisi yang mereka miliki dengan beragam teknik kampanye dan iklan politik yang sangat canggih. Singkatnya, menguatnya kultur birokrat membuat KPI tidak mampu membuat terobosan berarti di tengah ekspekstasi publik yang sangat tinggi. Sebaliknya, komisioner KPI terkungkung dalam aturan-aturan yang dibuat sendiri atau pihak lain tanpa mampu berbuat lebih banyak.

PENUTUP

Berbagai persoalan sebagaimana telah diuraikan di atas kiranya memberikan gambaran yang jelas betapa sulitnya mewujudkan hak publik untuk mendapatkan informasi yang fair dari televisi. Padahal, televisi telah menjadi sumber informasi dan hiburan yang paling populer dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, apa yang diungkapkan Herman dan Chomsky (1988) bahwa media akan digunakan untuk me-manufaktur pikiran masyarakat masih akan sangat terbuka. Persoalannya bahwa KPI sebagai lembaga regulator bidang penyiaran tidak mampu membuat terobosan yang bermakna dalam memperjuangkan tatanan informasi yang adil sehingga para pemilik akan tetap menggunakan media televisi yang mereka miliki demi tujuan politik. Pendekatan KPI yang sangat formalistik, dan tidak adanya keberanian dari komisioner untuk membuat terobosan akan membuat tatanan penyiaran menjadi sangat tidak demokratis. Padahal, demokratis tidaknya sistem penyiaran akan menentukan kualitas pemilihan umum. Untuk itu, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, mendorong KPI untuk lebih berani dalam menegakkan demokratisasi penyiaran sebagaimana tugas dan kewajiban yang diemban KPI. Hasil penelitian Bayu Wahyono dkk (2011) membuktikan bahwa tekanan publik akan lebih mendorong komisioner untuk bekerja lebih berani. Kedua, mendidik masyarakat berkait dengan hak-hak publik di bidang penyiaran, penyalahgunaan media penyiaran demi kepentingan pemilik, dan sikap kritis terhadap iklan dan isi berita. Dengan cara demikian, diharapkan publik akan semakin cerdas dan mampu membuat gerakan dalam skala yang lebih luas. Jika ini terjadi, maka masyarakat yang kritis akan terbentuk dan pemilu akan jauh lebih berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Herman, Edward S dan Noam Chomsky, (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy the Mass Media, New York: The Pantheon Books

McManus, John H. (1994). Market-Driven Journalism: Let the Citizen Beware. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications

McNair, Brian, (2003). An Introduction to Political Communication, third edtition, London and New York: Routledge

Mosco, Vencent, (1996). The Political Economy of Communication: Rethingking and Renewal, London: Sage Publication

Wahyono, Bayu S dkk (2011). Ironi Eksistensi Regulator Media dan Komunikasi di Indonesia, Yogyakarta: PR2Media-Yayasan TIFA

BIODATA PENULIS

Penulis adalah Peneliti pada Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), selain juga mengajar sebagai dosen tamu di Prodi Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Prodi Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Beberapa penelitian yang pernah diterbitkan diantaranya adalah Pelarangan Buku di Indonesia: Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Bekspresi (2010), Ironi Eksistensi Regulator Media dan Komunikasi di Indonesia (2011), Dominasi TV Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan (2012), dan Digitalisasi Televisi di Indonesia (2012). Selain itu, menulis di berbagai jurnal ilmiah seperti JSP (FISIPOL UGM), Jurnal Ilmu Komunikasi (Univ. Atma Jaya), Jurnal Ilmu Komunikasi (UII), INFOTEKKOM, Semai Komunikasi (STIKOM Semarang), dan sebagainya.

DIGITALISASI TELEVISI DI INDONESIA:

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 165-169)