• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN DIGITALISASI: SEBUAH KOMPARAS

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 144-147)

Secara garis besar, ada persamaan prinsip dalam pengaturan penyiaran digital di negara-negara demokrasi baik di Eropa, Amerika Serikat, Australia dan Asia. Pertama, penerapan teknologi digital dalam penyiaran bertujuan memperbaiki atau mengisi kekurangan dari sistem penyiaran yang telah ada sebelumnya, seperti, meningkatkan diversitas kepemilikan dan konten siaran. Di Perancis, penerapan televisi digital terrestrial diproyeksikan dapat menambah jumlah channel free to air, termasuk di sini penambahan jumlah saluran untuk penyiaran publik dan komunitas, dan masuknya pemain baru dalam industri penyiaran televisi. Di negara ini, tujuh puluh persen (70%) rumah tangga hanya dapat mengakses lima saluran free to air, sementara jumlah rumah tangga yang menggunakan satelit dan mampu berlangganan televisi masih terbatas Oleh karena itu, penambahan jumlah saluran memiliki arti penting untuk menyajikan keberagaman konten.

Kedua, asas pluralisme dijunjung tinggi dalam menentukan kebijakan digitalisasi untuk menekan munculnya dominasi, diskriminasi dan eksploitasi.Negara-negara demokrasi menjamin pluralisme, antara lain, dengan mengatur izin penyelenggaraan penyiaran digital dan pengelolaan multipleksing. Inggris yang kuat dengan tradisi public service broadcasting melakukan kontrol ketat terhadap

market entry melalui mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran digital untuk menghindari dominasi televisi komersial (Smith, 1999). Negara ini memisahkan secara tegas antara lembaga penyelenggara penyiaran dan lembaga penyelenggara multipleksing untuk menjamin diversity of content dan ownership. Di negara ini pun distribusi program di setiap multipleksing diatur berdasarkan

genre untuk menjamin ketersediaan variasi isi siaran. Di Perancis, untuk menjamin kebebasan berekspresi dan akses publik terhadap penyiaran digital, regulator mendikte penempatan channel

ke dalam kelompok multipleksing. Di Jerman, proporsi alokasi frekuensi digital untuk penyiaran komersial dan untuk penyiaran publik menjadi perhatian serius untuk menghindari sentralisasi penyiaran. Bahkan untuk melindungi pluralisme, pengajuan izin penyelenggaraan penyiaran digital mensyaratkan adanya komitmen untuk mewujudkan diversitas dengan memberikan perhatian pada kepentingan lokal dan juga minoritas.

Ketiga, kebijakan digitalisasi diorientasikan untuk melindungi dan menjaga eksistensi lembaga penyiaran publik, lokal dan komunitas di pasar digital. Negara-negera demokrasi memberikan alokasi multipleksing secara berimbang (proprorsional) antara lembaga penyiaran publik dan komersial. Di Inggris, tiga multipleksing dialokasikan untuk public service broadcasting dan tiga multipleksing yang lain dialokasikan untuk penyiaran komersial. Negara yang memiliki tradisi kuat dalam hal penyiaran publik ini berkeinginan untuk menjamin keberlangsungan hidup publik broadcasting dan juga menjaminan akses bagi publik terhadap lembaga penyiaran tersebut. Di Swedia, public service television (yaitu SVT –Sveriges Television) dan juga educational broadcasting (yaitu UR) yang memproduksi dan menyiarkan program pendidikan, termasuk program budaya dan program khusus untuk kelompok minoritas tidak memerlukan izin baru untuk melakukan penyiaran digital. Kedua lembaga penyiaran ini pun mendapatkan prioritas dalam pembagian jatah multipleksing. Di Kanada, adopsi digital dimandatkan bagi dua puluh delapan stasiun. Keduapuluh delapan stasiun tersebut adalah stasiun yang bersiaran di wilayah ibu kota negara atau provinsi, stasiun yang target pasarnya dilayani oleh berbagai stasiun, dan stasiun yang memiliki pasar di atas 300.000. Stasiun-stasiun lain (diluar 28 stasiun) bersifat sukarela dalam menerapkan teknologi digital dalam penyiarannya.

dan mendistribusikan informasi. Parlemen menyusun undang-undang tentang digitalisasi untuk memberikan payung hukum bagi realisasinya. Berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah (eksekutif) membuat perencanaan dan pelaksanaan digitalisasi. Di Jerman, parlemen mengatur sistem penyiaran untuk menjamin terwujudnya sistem penyiaran yang demokratis, berprinsip pada diversitas dan keadilan sosial. Parlemen memegang kendali untuk membuat peraturan yang menyangkut human rights –termasuk di sini peraturan tentang penyiaran- dan membuat larangan untuk mendelegasikan keputusan ini kepada lembaga yang lebih rendah (di level eksekutif).

Kelima, independent regulatory body memegang tugas yang cukup kompleks dan peran penting dalam digitalisasi terutama dalam pemberian izin penyiaran digital dan seleksi pengelola multipleksing. Lembaga ini pun memiliki tanggung jawab melakukan komunikasi dengan publik tentang digitalisasi, menampung keluhan/kritikan tentang pelaksanaan digitalisasi termasuk melakukan monitoring dan evaluasi program, serta menjatuhkan sanksi jika terdapat pelanggaran. Di beberapa negara, independent regulatory body mengalami reorganisasi dan perluasan tugas dan tanggung jawab sebagai konsekuensi dari adanya penggabungan sejumlah lembaga yang juga memiliki tugas dan tanggung jawab di bidang penyiaran. Penggabungan ini dimaksudkan untuk

menghindari ketumpangtindihan tugas dan tanggung jawab serta untuk tujuan eisiensi kerja. Di

Inggris, Ofcom (The Ofice of Communication) dibentuk untuk menggabungkan tugas dan tanggung jawab lima independent regulatory body sebelumnya, yaitu: BSC (The Broadcasting Standards), ITC (The Independent Television Commission), Oftel (The Ofice of Telecommunication), The Radio Authority dan The Radiocommunications Agency. Dari gabungan lembaga-lembaga tersebut Ofcom memiliki tugas dan tanggung jawab: (1) memastikan penggunaan spektrum frekuensi radio secara optimal, (2) memastikan bahwa berbagai pelayanan komunikasi elektronik –termasuk pelayanan data berkecepatan tinggi- tersedia di seluruh Inggris/UK, (3) memastikan berbagai layanan televisi dan radio berkualitas tinggi dan memiliki daya tarik yang luas bagi masyarakat, (4) menjaga kemajemukan dalam penyediaan jasa penyiaran, (5) menerapkan perlindungan yang memadai untuk pemirsa terhadap materi dianggap berbahaya, (6) menerapkan perlindungan yang memadai untuk pemirsa terhadap ketidakadilan atau pelanggaran privasi. Secara terperinci tugas dan tanggung jawab Ofcom diatur dalam the Communication Act 2003. Di Perancis, CSA (Conseil Supérieur de l'Audiovisuel) merupakan independent regulatory body yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan kualitas dan keberagaman program dalam penyiaran digital. Lembaga ini bertanggung jawab mengembangkan produksi program nasional dan juga mempromosikan kebudayaan Perancis. Lembaga ini pun memiliki tanggung jawab dalam distribusi multipleksing dan melakukan seleksi yang ketat terhadap pengajuan izin penyiaran digital.

Keenam, komunikasi publik seperti sosialisasi digital televisi dan penjadwalan switch off direncanakan dengan baik dan memperhatikan kemampuan publik dan lembaga penyiaran lokal. Regulator dan aktivis penyiaran di negara-negara demokratis menyadari bahwa keputusan digitalisasi merupakan keputusan politik dan membawa konsekuensi yang sangat besar dalam kehidupan publik. Di satu sisi publik memang diuntungkan dengan hadirnya banyak channel free to air dan program dengan kualitas audio-visualyang bagus, namun publik pulalah yang menanggung beban biaya peralihan teknologi dan resiko kegagalan dalam mengontrol sistem penyiaran digital terutama yang diakibatkan oleh konsentrasi kepemilikan dan meningkatnya komersialisasi. Di negara-negara demokratis, kegiatan kampanye sosial yang bertujuan untuk menyosialisasikan digitalisasi digalakkan, pemberian subsidi pengadaan set box juga dilakukan, saluran komunikasi dan informasi dibangun dan berdasarkan perencanaan yang matang baik oleh pemerintah, independent regulatory body, broadcasters, dan juga penyelenggara multipleksing. Kesemua aktivitas tersebut dilakukan agar publik dapat berpartsipasi semaksimal mungkin dalam digitalisasi. Di samping itu, perencanaan atau penjadwalan

switch off juga mempertimbangkan kepentingan/kesiapan publik dan lembaga penyiaran lokal. Di Swedia, parlemen membuat ketentuan bahwa deadline switch off hanya dilakukan secara nasional ketika 99,8% masyarakat (sama dengan persentase coverage area untuk penyiaran analog). Untuk

mengejar deadline tersebut, publikasi tentang digitalisasi dilakukan secara gencar oleh pemerintah melalui berbagai saluran, seperti iklan dan diskusi interaktif di media, membangun call centre, website, komunikasi melalui mail dan short message service (SMS), dan sebagainya. Di negara ini, seperti juga negara-negara lain, memberikan pelayanan simulcast dalam proses transisi ke digital agar masyarakat yang belum mampu mengakses program penyiaran digital masih bisa menangkap siaran analog. Di Kanada, tidak ada waktu yang pasti kapan switch off dilakukan, karena semua tergantung pada kesiapan publik dan pelaku penyiaran di dalam negeri.

Bagaimana dengan Indonesia? Nampaknya Indonesia menganut prinsip yang berbeda dari keenam prinsip yang disebutkan di atas. Di Indonesia, digitalisasi diterapkan di tengah karut-marutnya kondisi pertelevisian di mana pemusatan kepemilikan dan pemindahtanganan spektrum frekuensi radio terjadi dan merajalela, tanpa pemerintah (dan juga Komisi Penyiaran Indonesia) mampu menghentikan dan menindak pelanggaran tersebut. Apakah benar digitalisasi diterapkan untuk meningkatkan diversity of content dan ownership masih menjadi tanda tanya besar, karena kebijakan digitalisasi tidak mengarah ke sana, namun justru melanggengkan status quo. Seperti misalnya, pemerintah cenderung berpihak pada kapital (yaitu pemilik televisi swasta di Jakarta yang saat ini telah established) dalam menentukan pengelola multipleksing. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) Permen 22/2011, lembaga penyelenggara mutipleksing adalah lembaga penyiaran publik TVRI dan lembaga penyiaran swasta. Ini berarti bahwa hanya lembaga penyiaran yang sudah mempunyai izin penyelenggaraan penyiaran tetap yang berhak mengikuti tender untuk mengelola multipleksing. Ketentuan ini tidak memberikan peluang bagi lembaga-lembaga lain yang juga memiliki potensi menjadi pengelola multipleksing seperti Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Swasta dan koperasi. Di samping itu, tidak ada ketentuan bagaimana pengaturan multipleksing memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup penyiaran lokal dan

komunitas yang memiliki kemampuan inansial yang terbatas. Berdasarkan pada kebijakan ini,

pemusatan kepemilikan dalam industri penyiaran di Indonesia tidak akan berubah bahkan akan semakin menguat.

Di Indonesia, pembatasan multipleksing untuk penyiaran publik terjadi. Hanya ada satu multipleksing yang dialokasikan untuk penyiaran publik dan ini pun masih harus dibagi-bagi untuk penyiaran komunitas. Di samping itu, untuk dapat melakukan penyiaran digital, lembaga penyiaran harus memiliki izin penyiaran digital dari menteri dan ini berlaku untuk lembaga penyiaran yang telah mengantongi izin penyiaran analog. Hal ini cukup memberatkan bagi lembaga penyiaran lokal, karena dalam mengurus izin penyiaran analog saja mereka telah banyak mengeluarkan dana. Persoalan lain, di saat Dewan Perwakilan Rakyat sedang mendiskusikan perubahan undang- undang penyiaran (No. 32/2002), pemerintah melalui Kominfo membuat keputusan sepihak tentang peralihan dari sistem penyiaran analog ke digital. Tanpa adanya payung hukum (undang-undang yang mengatur digitalisasi televisi terrestrial), pemerintah mengeluarkan Permen 22 tahun 2011 tentang “Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air)”. Dengan Permen tersebut, pemerintah menunjukkan dominasi dan sifat otoriternya. Fakta tentang persoalan ini dapat dengan jelas dilihat dalam Permen 22/2011 pasal 9 ayat (1) dan (2) tentang izin penyelenggaraan penyiaran, pasal 10 ayat (1) dan (2) tentang izin penyelenggaraan multipleksing, pasal 19 tentang evaluasi pengawasan, dan pasal 20 tentang sanksi-sanksi. Semuanya

DAMPAK KEBIJAKAN PENYIARAN DIGITAL BAGI

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 144-147)