• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA KOMUNIKASI JOKOWI SEBAGAI PEMIMPIN INDONESIA

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 92-95)

: H.H. Daniel Tamburian

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Hp 0818 0864 1973, tamburian@gmail.com

ABSTRAK

Indonesia adalah negara besar yang rakyatnya terdiri dari beragam latar belakang budaya, agama, dan suku. Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan baik. Pemimpin yang mampu memberikan solusi karena tak ada solusi tanpa komunikasi.

Aristoteles mengemukakan bahwa seorang komunikator haruslah memiliki Ethos, Logos, dan Pathos. Ethos adalah kredibilitas. Pathos berarti emosional. Dalam berkomunikasi seorang pemimpin harus

mampu membujuk rakyat dengan menyentuh sisi emosi mereka. Logos secara haraiah berarti “kata”

bisa juga diartikan sebagai pengetahuan. Maksudnya adalah dalam meyakinkan atau membujuk rakyat seorang pemimpin hendaklah memiliki pengetahuan yang luas. Melalui pengetahuan yang dimilikinya pemimpin mampu membangun argumen yang baik di atas alasan-alasan (reasoning) yang logis disertai dengan bukti.

Dunia sudah memasuki era Informasi yang ditandai dengan information booming. Ruang, jarak, dan waktu tak mampu lagi menghambat manusia untuk berkomunikasi dan mencari atau mendapatkan informasi. Komunikasi menjadi lebih mudah dan khalayak semakin pintar.

Pemimpin Indonesia di masa datang adalah model pemimpin era Informasi yang mensyaratkan keterbukaan sebagai karakter yang wajib dimiliki. Kabar baiknya ternyata ada beberapa gubernur, bupati, dan walikota di Indonesia yang memiliki kesamaan dengan Jokowi. Pemimpin yang memiliki ethos, pathos, dan logos.

PENDAHULUAN

Tidak terasa masa pemerintahan presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan segera berakhir. Pada masa awal pemerintahannya masyarakat menaruh harapan besar di pundak SBY untuk melakukan pembaruan di Indonesia. Figur SBY diharapkan juga mampu berkomunikasi dan memahami keinginan masyarakat Indonesia yang pada era Megawati tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada saat menjadi presiden, Megawati tidak mampu membangun jembatan komunikasi yang baik dengan masyarakat dan dengan media massa. Ia lebih banyak diam dan menangis sesekali juga mengeluh melalui media massa.

Figur SBY diharapkan menjadi antitesa dari gaya komunikasi Megawati. Tepat setahun sebelum pelaksanaan pemilu 2004 yaitu pada tanggal 15 Oktober 2003, SBY mendapat penghargaan dari

Kongres Bahasa Indonesia ke-8 sebagai igur yang berbahasa Indonesia lisan terbaik. Didukung

dengan bahasa tubuh yang baik saat berpidato dan gelar Doktor yang disandangnya, SBY tampil sebagai komunikator yang ulung dan santun dibanding Megawati.

Sembilan tahun berlalu sejak SBY terpilih jadi presiden, namun ternyata igur SBY hanya bagus

di awal yaitu pada saat kampanye presiden. Kekecewaan masyarakat mulai muncul ketika SBY tidak mampu lagi berkomunikasi dan memahami kehendak rakyat. SBY lebih banyak marah-marah bahkan “curhat” di media massa. Di tahun-tahun akhir masa jabatannyaini SBY lebih sering marah, “curhat” dan menyalahkan media massa atau orang lain. Komunikasi yang dia lakukan hanya berpusat pada dirinya, partainya, dan keluarganya. Gaya komunikasi SBY di akhir masa jabatannya bertolak belakang dengan gaya komunikasinya di awal-awal pemerintahannya.

Di tengah kejenuhan masyarakat dengan gaya komunikasi para pemimpin saat ini, muncul sosok Joko Widodo (Jokowi), mantan walikota Solo yang sekarang menjabat gubernur DKI Jakarta. Penampilan Jokowi dengan gaya komunikasinya sungguh kontras dengan para pemimpin yang ada saat ini. Penampilan Jokowi yang bersahaja terkesan sangat merakyat. Gaya bicaranyapun tidak dibuat-buat, apa adanya tapi mengalir layaknya masyarakat umum yang sedang berbicara, namun memiliki ketegasan, hasrat untuk memahami masalah dan kemauan yang kuat untuk menyelesaikannya diiringi sikap untuk melayani.

Pada saat kampanye pemilihan gubernur Jokowi menerapkan strategi tiki-taka ala Spanyol begitu pengakuannya pada Tempo. “Kalau Spanyol operan pendek, kami umpan manis ke kampung- kampung...Kami ajak warga minum teh atau kopi sambil mengobrol soal Jokowi” begitu kata Boy Sadikin, tim sukses Jokowi.

Terpilihnya Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta menunjukkan bahwa rakyat tidak bisa lagi dikelabui oleh pemimpin melalui iklan di media massa, mematahkan dukungan koalisi partai-partai partai politik beserta pemimpin-pemimpin lainnya, dan tentunya mengalahkan kekuatan uang yang selama ini menjadi andalan partai politik saat kampanye. Dana kampanye Jokowi hingga pekan terakhir sebelum pencoblosan hanya sembilan miliar rupiah. Sementara biaya kampanye mencapai Rp 15 juta per hari. Bandingkan dengan Fauzi Bowo (Foke) yang memiliki dana kampanye hingga Rp 70 miliar dengan iklan di semua TV, radio, spanduk, dan baliho. Foke juga didukung oleh koalisi partai-partai besar dan pemimpin-pemimpin seperti Sutiyoso (mantan gubernur DKI Jakarta), Wiranto (Ketua Umum Partai Hanura), dan Ryaas Rasyid.

Jakarta sebagai ibukota negara merupakan miniatur Indonesia, berbagai suku bangsa dan bahasa, agama, dan budaya berbaur. Memimpin Jakarta seperti memimpin Indonesia dalam skala yang kecil. Kondisi masyarakat Jakarta yang heterogen dengan permasalahan yang sangat kompleks tentunya

menyulitkan orang daerah seperti Jokowi dalam membangun komunikasi. Kemenangan Jokowi pada pemilukada Jakarta 2012 lalu merupakan sebuah kemenangan komunikasi. Kemenangan tersebut juga menjadi tanda kerinduan masyarakat akan model seorang pemimpin Indonesia masa depan, pemimpin di abad informasi.

Indonesia sebagai negara yang sangat besar dengan kekayaan melimpah dan beragam suku bangsa dan bahasa, agama dan ras membutuhkan seorang pemimpin yang mampu menyatukan seluruh komponen bangsa yang ada, tidak dengan kekerasan atau “tangan besi” tetapi melalui sebuah komunikasi yang persuasif. Bangsa ini membutuhkan juga pemimpin yang mampu menjawab kebutuhan dan tantangan jaman. Pemimpin yang mampu memberikan solusi. Semua itu dapat dilakukan melalui komunikasi yang baik dengan masyarakat, karena tak ada solusi tanpa komunikasi.

Gaya Komunikasi Pemimpin Indonesia di Abad Informasi

Dunia sudah memasuki era Informasi yang ditandai dengan information booming. Ruang, jarak, dan waktu tak mampu lagi menghambat manusia untuk berkomunikasi dan mencari atau mendapatkan informasi. Bahkan, sekarang ini dunia sudah seperti berada dalam genggaman tangan melalui sebuah sentuhan di ujung jari kita. Kemajuan yang dicapai dalam teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah seluruh sendi-sendi kehidupan manusia secara radikal, khususnya dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi seorang pemimpin tidak lagi dapat berbohong atau bersikap pura-pura untuk mengelabui masyarakat. Dapat dikatakan hampir semua informasi tentang pemimpin bisa ditemukan di media online dan atau media sosial. Sebuah komunikasi yang baik haruslah dilandaskan pada

trust (kepercayaan), seperti yang dikatakan oleh Gay dan Donald Lumsden: “Other people will want to listen to you because they trust you and believe in you. Your credibility is critical in all forms of communication, whether you’re talking to one person or a thousand” (Lumsden, 2006: xvii). Kredibilitas menurut Lumsden merupakan persepsi yang ada dalam diri komunikan tentang komunikator, sebuah penilaian yang ada dalam diri pendengar atas karakter pembicara dan memengaruhi respon pendengar terhadap pesan yang disampaikan (Lumsden, 2006: 27).

Aristoteles (384-322 SM) dalam bukunya De Arte Rhetorica mengemukakan bahwa seorang komunikator haruslah memiliki Ethos, Logos, dan Pathos. Ethos adalah kredibilitas. Seorang pemimpin akan mampu meyakinkan rakyatnya melalui karakter yang ia miliki. Masyarakat tentunya cenderung memercayai orang yang mereka hormati (respect). Berbagai kasus korupsi yang menimpa banyak pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, bahkan yang terakhir yudikatif telah meruntuhkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap pemimpinnya. Bahkan beberapa pemimpin korup tersebut adalah pemimpin agama, dan bukan hanya tersandung kasus korupsi tapi juga kasus pelanggaran moral dan etika. Pemimpin yang kehilangan kredibilitas berakibat pada hilangnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat atas diri mereka. Pemilu 2014 sudah di depan mata dan Indonesia berada dalam kondisi krisis pemimpin yang memiliki kredibilitas.

Pathos berarti emosional. Dalam berkomunikasi seorang pemimpin harus mampu membujuk rakyat dengan menyentuh sisi emosi mereka. Kondisi pempimpin Indonesia saat ini sangat memprihatinkan dan jauh dari harapan rakyat. Sikap egosentris merasuk ke dalam jiwa para pemimpin negeri ini. Hal ini terlihat jelas sekali dari setiap pernyataan yang terlontar dari mulut mereka. Ucapan yang keluar dari mulut mereka benar-benar tidak menyentuh emosi rakyat yang saat ini membutuhkan

baik di atas alasan-alasan (reasoning) yang logis disertai dengan bukti. Menarik untuk disimak setiap ucapan dan tindakan dari para pemimpin Indonesia saat ini. Berbagai pernyataan yang keluar dari mulut mereka menggambarkan betapa naif dan kurangnya pengetahuan yang mereka miliki. Bahkan, beberapa diantaranya tidak sesuai nalar dan merusak akal sehat manusia.

Keberhasilan komunikasi seorang pemimpin tidak hanya terletak pada kemampuan retoriknya saja – ethos, pathos, dan logos – yang adalah sebuah komunikasi verbal, tetapi juga pada komunikasi nonverbal pemimpin tersebut. Komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, postur, gerak, atau bahkan sesuatu yang dikenakan oleh pemimpin yang memperlihatkan komitmen dia pada orang lain. Pemberitaan tentang keluarga Atut, Gubernur Banten, yang hidup mewah dan suka mengendarai mobil-mobil super mahal di tengah kemiskinan masyarakat Banten menunjukkan bahwa komunikasi nonverbal pemimpin berperan penting dalam proses komunikasi. Dedy Gumilar berujar: “Jalanan di Banten rusak bukan karena truk kontainer tapi oleh Lamborghini”.

Dalam dokumen Komunikasi dan Pemilu 2014 Persiapan Pel (Halaman 92-95)