• Tidak ada hasil yang ditemukan

PHBM dirancang sebagai upaya pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat, Dalam penerapannya di lapangan, masyarakat menyikapi program

PHBM dengan persepsi yang cenderung positif pada aspek ekonomi dan sosial karena PHBM dapat menambah penghasilan dan mengurangi kebakaran serta pencurian. Akan tetapi persepsi masyarakat negatif pada aspek keberlanjutan ekologis karena mengganggu sumber-sumber air yang dibutuhkan penduduk.

Pola pelibatan masyarakat dalam PHBM masih berupa mobilisasi massa. Kualitas partisipasi belum dapat diwujudkan. Karena tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi tergolong dalam kategori rendah. Hanya pada partisipasi dalam pelaksanaan PHBM tergolong cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan rakyat sebagai kendala bagi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan evaluasi.

Dalam penerapan PHBM ditemukan relasi kekuatan antara Perhutani dengan masyarakat belum seimbang, Perhutani lebih mendominasi pelaksanaan. Perhutani lebih menomorduakan kepentingan petani. Kemitraan terjadi dengan cenderung asimetris, isi perjanjian lebih banyak memberatkan pihak petani seperti keamanan hutan yang lebih banyak dibebankan kepada pihak petani. Diperlukan perbaikan isi perjanjian yang lebih seimbang antara hak dan kewajiban para stakeholder, sehingga tidak ada yang dirugikan oleh pihak lain. PHBM harus menjadi program pemberdayaan bukan program pengamanan hutan dengan memanfaatkan petani.

Dominasi Perhutani dalam penerapan PHBM dengan mekanisme yang seragam di semua kondisi menyebabkan kreativitas rakyat tidak terakomodasi. Usulan dan inisiatif rakyat dalam pengembangan program yang sesuai kebutuhan rakyat tidak bisa diterima. Usulan tentang jenis tanaman yang berbunga untuk mendukung peternakan lebah misalnya tidak pernah diperhatikan. Semua kegiatan harus sesuai dengan keputusan dari Perhutani apa pun kondisinya.

LMDH sebagai pelaksana program menjadi kunci sekaligus energi bagi berjalannya sebuah sistem PHBM. Proses pembentukan dan tahapannya terlalu cepat, sehingga kepengurusan LMDH menjadi kurang maksimal. LMDH yang dibentuk secara instan, seringkali tidak secara kuat mewakili kepentingan kelompok akar rumput. Kendala yang sering dihadapi adalah rendahnya tingkat

158 kinerja dan tak jelasnya orientasi kerja para pengurusnya. Karena itu LMDH mesti mengakomodasi semua potensi riil masyarakat dan kepentingan rakyat akar rumput.

Selain LMDH, yang turut berperan dan menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan PHBM adalah Perhutani, pemerintah daerah setempat, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas bisnis (investor, pengusaha). Kontribusi yang diberikan oleh institusi-institusi itu memiliki dampak yang signifikan bagi keberhasilan program.

Peran lembaga menjadi kunci sekaligus energi bagi berjalannya sistem PHBM dan membuahkan hasil yang diharapkan bersama. Diperlukan adanya peningkatan kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam PHBM, baik itu Perum Perhutani, jajaran institusi pemerintah, dan lembaga terkait lainnya, sehingga semua penyelenggaraan kegiatan terkoordinasikan dengan baik, sinergis dan secara berkelanjutan.

Kebijakan hutan kemasyarakatan harus mempertimbangkan pelaku utama yang paling berperan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan yaitu masyarakat dan Perum Perhutani. Masyarakat adalah pihak yang berkepentingan langsung dalam memanfaatkan hutan. Pemerintah daerah seharusnya mengambil peran penting disamping LSM yang diperlukan dalam pendampingan.

Faktor terpenting yang menjadi prioritas utama dalam pengelolaan hutan kemasyarakat adalah kebijakan dan kelembagaan. Strategi yang dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan tidak boleh mengabaikan kepentingan masyarakat. Pertimbangan utama dalam strategi adalah pendapatan masyarakat. Strategi penting lainnya yaitu mengurangi konflik. Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan di wilayah Perhutani BKPH Parung Panjang adalah penguatan kelembagaan dan akses terhadap sumberdaya hutan.

Bentuk keagrariannya dalam penerapan hutan kemasyarakatan adalah adalah pemberian hak pengaturan kepada pemerintah daerah. Hal penting yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu adalah inventarisasi data keagrariaan yang lengkap. Kesiapan kelembagaan yang mengelola sumberdaya hutan merupakan prasyarat penting agar pemberian akses dan penguasaan terhadap sumberdaya hutan dilakukan dengan tepat untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

159 Kelembagaan merupakan masalah krusial yang mesti dipecahkan mengingat kondisi LMDH yang masih ringkih, belum berdaya, belum mampu bargaining, belum solid, dan belum jelas tata kelola. Seharusnya organisasi yang baik berjalan dengan lancar dan wajar, ada kepercayaan dalam anggota kelompok. saling menghargai, deliberative, dengan taka kelola yang jelas.

Saran :

1. Perlunya perluasan lahan garapan bagi petani dengan luas 2 hektar agar dapat memberikan penghasilan yang cukup bagi petani dari budidaya tanaman pangan, dan bagi hasil.

2. Perlunya belajar bersama antara mandor Perhutani dengan masyarakat sehingga dapat saling bertukar pikiran, saling memahami, saling percaya dalam pelaksanaan kemitraan.

3. Perlunya mengakomodasi proses negosiasi dan bargaining position,

sharing power sehingga terjadi keseimbangan baru menuju kepada

keseimbangan peran dan tanggung jawab.

160

EPILOG

Luas lahan Pulau Jawa yang semakin sempit ditambah dengan tekanan penduduk yang semakin padat sulit untuk mencapai kesetimbangan kawasan. Pemenuhan ruang terbuka hijau (RTH) atau kawasan hutan di Jawa sebesar 30 % semakin sulit diwujudkan. Untuk itu perlu dicarikan alternatif agar terjadi kesetimbangan kawasan.Lahan pertanian di luar Pulau Jawa yang lebih luas dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pertanian pangan. Adanya kendala tingkat kesuburan tanah yang rendah dan keterbatasan infrastruktur harus diatasi.

Ketersediaan lahan untuk pertanian merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan peran pertanian secara berkelanjutan. Tingginya tekanan terhadap lahan akibat pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun, sementara luas lahan yang ada tetap bahkan makin sempit. Hal ini disebabkan oleh pewarisan kepemilikan lahan, dan persaingan yang tidak seimbang dalam penggunaan lahan, terutama antara sektor pertanian dan nonpertanian. Keadaan demikian ini akan berpengaruh terhadap penurunan daya dukung lahan dan lingkungan.

Sumber daya hutan di Jawa yang dikelola Perhutani seyogyanya bisa dimanfaatkan untuk menyediakan kebutuhan lahan bagi petani sekitar hutan. Visi Perhutani untuk menjadi pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat diwujudkan dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan produksi secara seimbang sebagai upaya untuk mempertahankan kelestarian hutan tanpa mengurangi fungsi hutan.

Masyarakat sekitar hutan merupakan bagian tak terpisahkan dari kawasan hutan seharusnya diberikan akses seluas mungkin. Akses hanya diberikan kepada petani yang benar-benar siap menjadi mitra dengan kelembagaan yang sudah mapan. Dalam konteks kesetimbangan diperlukan konfigurasi tata organisasi (kelembagaan) dan relasi sosial antar kuasa Kemitraan antara Perhutani dengan masyarakat lokal mesti dijalin dalam hubungan yang lebih deliberatif dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Prinsipnya masyarakat mesti menjadi subjek yang mampu merumuskan kebutuhannya. Kemitraan harus dilaksanakan dengan adanya kesetaraan dalam kedudukan, konsensus, dan partisipatif.

Diperlukan perubahan paradigma dan organisasi dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Organisasi Perhutani harus berubah dari eksklusif menuju inklusif.

161 Peran masyarakat harus diakomodasi dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Sumber daya alam sudah seharusnya dikelola secara berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat.

Kebijakan terhadap hutan harus mempertimbangkan semua komponen termasuk masyarakat sekitar hutan sebagai bagian dari ekosistem yang tidak bisa dipisahkan. Hutan jangan hanya diposisikan sebagai tegakan saja tetapi menyangkut aspek tanah, dan keagrariaan. Menurut Winoto (2008) tanah bagi kebanyakan manusia merupakan identitas yang melekat kepadanya status kebangsaan dan kenegaraannya. Agar tanah dapat menjadi modal kehidupan, harus didasarkan kepada empat prinsip, yaitu: (i) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; (ii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan hidup berkeadilan; (iii) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, dan kebangsaan Indonesia; dan (iv) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk menata kehidupan yang harmonis dan mengatasi berbagai konflik sosial.

162 DAFTAR PUSTAKA

Affianto, A. dkk.2005. Analisis Biaya dan Pendapatan dalam Pengelolaan PHBM. Bogor : Pustaka Latin

Alikodra. 2004. Pengembangan Istitusi Lingkungan Hidup, Bahan Kuliah, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Arnstein, S R. "A Ladder of Citizen Participation," JAIP, Vol. 35, No. 4, July

1969

,

Asngari, P S. 1984. Persepsi Direktur Penyuluhan Tingkat karesidenan dan kepala penyuluh Pertanian terhadap Peranan dan Fungsi Lembaga Penyuluhan Pertanian di Negara Bagian Texas, amerika Serikat.” media Peternakan Volume 9 no.2. Fakultas Peternakan IPB.

Awang, S A, 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi, Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Debut Press. Yogyakarta.

---2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana

--- .1995. “ Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Lokal dalam Program IDT “ dalam Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat.

--- 2002. Relevansi Paradigma Social Forestry,

Balitbang Prov.Jateng, 2006. Penelitian Pemberdayaan Kelembagaan Keamanan dan Kesejahteraan Masyarakat di Wilayah Sekitar Hutan di Jawa Tengah.

Warta Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat Vol. 5 No. 7 Juli 2002.

Brokensha D and BW Riley.1987. Privatization of Land and Tree Planting in Mbeere, Kenya. In Raintree JB (ed). Land, trees and Tenure.hal 187- 192.ICRAF and The Land Tenure Center. Nairobi and Madison.

Chambers, R.1987. Sustainable rural livelihoods: A strategy for people, environment, and development.Brigton : Institute of Development Studies at the University of Sussex

163 Cohen, B. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Rineka Cipta

Contreras-Hermosilia AC. Fay, E E. 2006. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF-SEA).

Center for International Forestry Research 2002. Refleksi Empat Tahun Reformasi Mengembangkan Sosial Forestri di Era Desentralisasi , Intisari Lokakarya Sosial Forestri.

Denzin, N K.1970. The Research Act : A Theoretical Intoduction to Sociological Methods, Chicago : Aldine Publising Company

De Soto, H. 2000. The Mistery of capital: Why capitalism triumphs in the West and Fails Everywhere Else. New York :Basic Book.

Dey, I.1993.Qualitative Data Analysis: a User-friendly guide for social scientics.New York

Dephut. 2007. Rencana Makro Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan Sekitar Hutan

Djogo, T dkk. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Bahan Ajaran Agroforestri 8. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southesat Asia.

Dove, M. 1983. Theories of Swidden Agriculturure and the Political Economy of Ignorance. Agroforestry System 1: 85 -99.

Drengson, AR. and D.M. Taylor (eds).1997. Ecoforestry: The Art anda Science of Suistainable Forest Use. Canada: New Society Publisher.

Dunn, WN. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Terjemahan), Edisi Kedua. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Eade, D. 1997.Capacity Building An Approach to People Centred Development. UK : Oxfam

Edmunds, D & Wollenberg, E. 2002. Local Forest Management: The Impact of Devolutions Policies. Cifor.

Fairclough,N.1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman

Faisal, S. 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang :Penerbit Yayasan Asih Asah Asuh (YA3);

FAO, 2002. Land Tenure and Rural Development, Roma: Food and Agriculture Organization;

164 Fajar, U. 2009. Transformasi Struktur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada

Komunintas Petani. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB.

Fay, C., and G. Michon. 2005. Redressing forestry hegemony: When a forestry regulatory framework is best replaced by an agrarian one. Forest, Trees and Livelihoods. Vol. 15.

Fay,C and Sirait.2004. Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui Pembaruan Penguasaan Tanah. World Agroforestry Centre.

Fisher, Simon, Jawed Ludin, Steve Williams, Dekha Ibrahim Abdi, Richard Smith dan Sue Williams, 2000, Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta :The British Council, Indonesia.

Galudra, G. 2003. Conservation Policies versus Reality: Case Study of Flora, Fauna and Land Utilization by Local Communities in Gunung Halimun- Salak National Park. ICRAF Southeast Asia Working Paper No. 2003_2. Friedman, J.1992. Empowerment : The Politics of Alternative Development.

Cambridge: Blackwell Publisher

---. 2003.Memahami Konflik Tenurial melalui Pendekatan Sejarah: Studi Kasus di Lebak, Banten World Agroforestry Centre [ICRAF])

Giddens, A .1999. Jalan Ketiga. Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta :Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama.

Gorz, A. 2002. Ekologi dan Krisis Kapitalisme, Yogyakarta :Penerbit Insist Press.

Grootaert.et.al .2003. Social Capital Thematic Group: Integrated Questionnaire for The Measurement of Social Capital (SC-IQ); The World Bank Juni 23, 2003;

Guba, EG and Lincoln,YS. 1994.Competing Paradigms in Qualitative Research in Handbook of Qualitative Research Denzin & Lincoln Eds). Thousand Oaks : Sage

Harsono, B. 1997. Hukum Agrarian Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1, Hukum Tanah Nasional. Jakarta :Penerbit Djambatan.

Hardjana, AM., 1994, Konflik di Tempat Kerja. Yogyakarta: Kanisius..

Hayami, Y. dan M. Kikuchi.1987. Dilema ekonomi desa. Jakarta : yayasan obor Indonesia

Hikam, AS.1996. Demokrasi Civil Society. Jakarta: LP3ES

Horton, PB dan Hunt C L.1991. Sosiologi Jilid I, Jakarta :Penerbit Erlangga

Ichwandi, I dan M.B. Saleh.2000. Towards Mutually Benefical Partnership in Outgrower Schemes/Cost Benefit Analysis on four case Studies of