• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspansi Kelapa Sawit dan Konflik Horizontal di Distrik Tomage

‘Program Agropolitan’ yang dikembangkan pada tahun 2014 melalui kemitraan antara Pemerintah Daerah Fakfak (Pemda Fakfak) dan Kementerian Pertanian (Kementan) memberikan izin kepada PT. RSP untuk membuka perkebunan kelapa sawit berskala besar di Kabupaten Tomage dan Bomberai. Sebagai bagian dari perjanjian ini, PT. RSP diizinkan untuk mendirikan perkebunan seluas 30.595,89 hektar.13 Kelompok masyarakat adat Mbaham Matta dan Iraratu yang terlibat dalam penelitian ini berpendapat bahwa PT. RSP telah masuk ke tanah adat mereka tanpa seizin mereka.

Sebelum program ini dilaksanakan, pemilik perkebunan sawit sudah lebih dulu melakukan pendekatan kepada para tokoh laki-laki Kampung Tomage.

Peserta penelitian kami menyebutkan bahwa beberapa perwakilan PT. RSP datang ke Kampung Tomage pada tahun 2011 bersama polisi untuk membujuk bapak kepala kampung Rovinus supaya mengizinkan perkebunan kelapa sawit masuk. Mereka juga mengajak beberapa tokoh kampung untuk pergi ke Manokwari untuk melihat perkebunan kelapa sawit yang ada di sana. Setelah perjalanan itu, perusahaan mulai melakukan sosialisasi tentang perkebunan kelapa sawit termasuk memberikan janji kepada masyarakat lokal bahwa perusahaan akan menyediakan air bersih, membuat jalan sampai ke kampung, memberikan beasiswa bagi anak-anak kampung sampai sarjana, dan menyediakan lapangan kerja untuk anak-anak setelah lulus SMA. Janji-janji ini mampu

12 JATAM, “Behind the BP Tangguh Project Propaganda,” JATAM Mining Advocacy Network, October 2003.

13 Awas Mifee, 29 Januari 2014, “Rencana mirip MIFEE di FakFak,” <awasmifee.potager.

org/?p=745&lang=id>.

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 105

memikat hati masyarakat kampung karena sesuai dengan kebutuhan hidup mereka saat itu.

Sawit itu mau masuk itu yang bapak-bapak dan ibu-ibu minta dong punya permintaan itu bilang, “Pak Bos itu ko masuk, yang penting ko penuhi kitong punya permintaan ini. Air bersih, kitong punya jalan, anak-anak sekolah, biaya anak sekolah ini.” Mereka catat juga, tapi tidak tahu, dong tidak jawab kita punya keluhan-keluhan ini. Perusahaan sendiri bilang iya, “Kalau saya sudah masuk, sudah operasi ini, baru saya mulai bikin jalan sampai tembus di kampung, air bersih saya buat”. Jadi masyarakat Tomage itu dengar itu senang toh, jadi langsung terima, “Oh iyo, kitong dulu minum air kali, jalan ini kitong jalan kaki ke Bomberai. Jadi sekarang perusahaan ini su masuk, dia buat kitong pu jalan bagus, air minum supaya kita tidak rasa susah lagi.”

Sudah, langsung perusahaan ini masuk. Ternyata di latar belakang itu, masyarakat sendiri susah lagi. FD

Setahun kemudian, perwakilan perusahaan datang kembali dan melakukan pertemuan di Kampung Selawir dan menyerahkan uang ketuk pintu sebesar 10 juta untuk dua kampung (Ottoweri dan Tomage) ke kepala Suku Nanafesi.

Kepala suku kemudian membagi-bagi uangnya ke setiap kepala keluarga yang ada di tiap kampung, terutama ke tiga marga yang tanahnya akan dipakai untuk perkebunan kelapa sawit: Kasina, Nanafesi, dan Lober. 

Setelah program agropolitan dijalankan, PT. RSP mulai membuka hutan dan melakukan penanaman bibit sawit tanpa lebih dulu melakukan pembebasan lahan dengan masyarakat adat pemilik tanah. Pada tahun 2015, perusahaan sempat berjanji akan membayar 120 juta kepada masyarakat adat pemilik tanah sebagai upah pemakaian lahan selama 30 tahun. Tak lama setelah itu, polisi datang menjaga areal perkebunan.

Dong bilang sewa pakai, jadi dikasih. Perusahaan pulang, ya tanah tinggal.

[Perusahaan] datang saja .... tanah tidak dibayar, berapa ribu hektar itu tidak ada sama sekali. Itu yang pace dia marah, “Kalau kamu buat begitu, buang suara untuk saya, supaya saya lagi tahu atau saya berbicara begini begini, tapi ini tidak. Kamu sendiri-sendiri yang kirim orang-orang ini ke sana, tanpa permisi untuk saya .... Tidak boleh bikin dong begitu. Kita duduk sama-sama baru bicara sama, itu baru aturan. FB

Burung pun Tak Ada Lagi 106

Foto oleh tim AJAR/PWG, awal 2020.

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 107

Akibatnya, banyak anggota masyarakat adat Irarutu yang tidak mengizinkan perusahaan masuk ke dalam tanah adat mereka merasa khawatir kalau hutan adat mereka yang terletak di antara perkebunan sawit akan dihancurkan. Karena itu, masyarakat adat Irarutu mulai mengorganisir diri pada tahun 2017 dan meminta pemerintah untuk menghentikan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di tanah tradisional mereka dan izin tersebut ditinjau kembali.

Sejak PT. RSP mulai mengoperasikan perkebunan kelapa sawit di wilayah tersebut, telah terjadi konflik yang signifikan antara kelompok adat Irarutu dan Mbaham Matta mengenai batas-batas khusus tanah adat mereka.14 Kedua kelompok tersebut mengklaim bahwa tanah tempat PT. RSP saat ini mengoperasikan perkebunan kelapa sawit berada di tanah adat mereka masing-masing. Namun, mereka tidak dapat menemukan penyelesaiannya hingga saat ini karena pemetaan wilayah adat di antara masyarakat adat yang berbeda-beda. Ketiadaan satu peta administratif yang merinci secara jelas batas-batas wilayah adat semakin menyulitkan masyarakat dalam mengenali tempat-tempat penting yang ada di sekitar mereka setelah perusahaan sawit mulai beroperasi.

Iya sawit semua, hijau-hijau seperti ini .... Ko lihat tempat dari mana? Tempat yang kita biasa nyebrang pi cari buaya, cari ikan, di mana? Sudah tidak kenal.

Ini dari mana, punya yang sampai di sini sawit su [tidak jelas]. Masih begini kita masih bingung-bingung, apalagi sudah tinggi, lebih jahat lagi untuk kita.

Ini kali dari mana sampai di sini, su bingung to .... Kalau di sebelah sana masih Antero, jadi cari makan di seberang kali. Tapi kalau di bagian SP 1 sampai di sini, su tidak tahu, kali mana-ke mana, su tidak tahu. FB

Menjadi Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Tengah