• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika desentralisasi telah terbukti berhasil dalam meningkatkan efektivitas dan respon pemerintah di banyak tempat, hal yang sama tidak terjadi di Papua.

Pemerintahan baru di Jakarta setelah jatuhnya Orde Baru melihat Otonomi Khusus sebagai langkah untuk meredam gerakan separatisme, menyelesaikan konflik, dan mempercepat pembangunan sambil mempertahankan otoritas politik Indonesia. Sesungguhnya, substansi UU Otsus No. 21 tahun 2001 mengedepankan prinsip-prinsip penyelesaian konflik, yaitu kewenangan provinsi yang lebih besar untuk mengelola pemerintahan dan sumber daya alam; hak-hak dasar dan pemberdayaan bagi orang asli Papua, termasuk perempuan;

dan partisipasi yang lebih luas dalam pembangunan dengan jaminan transparansi dan akuntabilitas.22

Berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam, UU Otsus mencakup ketentuan-ketentuan untuk pemerintahan lokal yang otonom (Pasal 5-32);

redistribusi pendapatan dari sumber daya alam Papua, misalnya 80% pendapatan dari kehutanan, perikanan, dan pertambangan, dan 70% pendapatan dari minyak dan gas alam akan diberikan ke Papua (Pasal 33-42); pembangunan dan lingkungan yang berkelanjutan (Pasal 63-64); dan pembangunan bagi orang Papua yang terisolasi, terpinggirkan, dan terabaikan (Pasal 66).23

Akan tetapi, Undang-undang dan peraturan Otsus, seperti halnya undang-undang desentralisasi untuk wilayah-wilayah lain di Indonesia, disahkan dengan sangat cepat tanpa dialog politik secara memadai, tanpa konsultasi

22 P. King, West Papua and Indonesia since Suharto, 83 sebagaimana yang dikutip dalam M. Halmin, Ibid, 35.

23 UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; Bahasa Inggris: <refworld.org/cgi-bin/

texis/vtx/rwmain?page=printdoc&docid=46af542e2>, Bahasa Indonesia: <walhi.or.id/wp-content/

uploads/2018/07/uu-otonomi-khusus-papua .pdf>.

Titik Awal 43

lokal atau perencanaan matang tentang bagaimana penerapannya nanti, yang kemudian menyebabkan kegagalan dalam memenuhi tujuannya. Keterburu-buruan dalam membentuk kewenangan baru untuk pengelolaan sumber daya alam memperparah penghancuran lingkungan setempat dan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan. Di sisi lain, kekukuhan pendekatan pertumbuhan ekonomi pemerintah pusat sebagai solusi bagi konflik yang sedang berlangsung,24 membuat pemerintah gagal gagal dalam menyediakan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan standar hidup yang layak bagi mayoritas orang asli Papua.25

Mayoritas ketentuan Otsus tidak dilaksanakan karena adanya ketakutan Jakarta atas meningkatnya kekuatan politik orang asli Papua. Salah satu ketentuan yang tidak dilaksanakan adalah kewenangan untuk mendirikan partai politik lokal yang diartikan sebagai upaya agar Papua tidak dapat bernegosiasi dengan Jakarta untuk menuntu janji-janji perubahan. Terkait sumber daya alam misalnya, dalam UU Otsus, Majelis Rakyat Papua (MRP) harus memberikan persetujuan atas izin pengelolaan sumber daya alam yang dikeluarkan oleh provinsi. Namun, aturan ini belum juga diterapkan.26 Pada saat yang sama, ketika pemerintah Papua berusaha mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatasi akar masalah dari penderitaan mereka, pemerintah pusat kemudian menjadi penghalang. Ini misalnya terjadi saat Kementerian Dalam Negeri di Jakarta yang tidak dengan segera mengesahkan peraturan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Papua sehingga aturan tersebut tak dapat dilaksanakan.27 Orang asli Papua melihat persoalan ini sebagai tindakan yang meremehkan kewenangan lokal, bukan semata karena birokrasi yang tidak efisien.

24 “West Papua Now”, westpapuatabloid.com, 10 April 2018; <westpapuanow.com/2018/04/10/

reducing-inequality-in-west-papua-by-accelerating-infrastructure-development/>; L. Nebe, diterjemahkan oleh M. Chang, Tempo.com, 5 Desember 2019; <en.tempo.co/read/1280548/the-flag-not-the-issue-papua-needs-development>.

25 ICTJ dan Elsham Papua, 10.

26 International Centre for Transitional Justice, The Past Which has not Changed: Human Rights Violation in Papua Before and After Reformasi, (New York: ICTJ, Juni 2012), 16.

27 IPAC, Renewing, Revising or Rejecting Special Autonomy In Papua, Laporan IPAC no. 64 (Jakarta, 30 Juli 2020), 8.

Burung pun Tak Ada Lagi 44

Apa yang dihadirkan Otsus adalah aliran dana besar-besaran yang berasal dari ekstraksi sumber daya alam, ketika sekitar $7,2 miliar (Rp 105 triliun) telah dialokasikan oleh pemerintah pusat ke Provinsi Papua dan Papua Barat sejak 2002.28 Namun, jumlah uang yang besar tanpa ada pengawasan yang kuat dalam penggunaannya malah menciptakan lebih banyak masalah baru daripada menyelesaikan masalah yang ada. UU Otsus telah memindahkan kewenangan dari pusat ke tingkat provinsi lewat gubernur. Tetapi, undang-undang yang sama ini juga menetapkan bahwa prioritas pengalokasian dana dari pemerintah pusat adalah daerah tingkat kabupaten (80% di Papua dan 90% di Papua Barat), dan bukannya ke pemerintah tingkat provinsi yang memiliki kapasitas lebih besar untuk menyerap dana tersebut secara efektif.29 Pemerintah kabupaten tidak siap untuk menyerap secara efektif banjiran dana Otsus untuk dialokasikan pada program pendidikan, kesehatan, dan layanan infrastruktur. Hampir tidak ada kapasitas kelembagaan dalam pengelolaan anggaran atau proses tender (procurement), ditambah tidak ada mekanisme untuk transparansi ataupun langkah-langkah pencegahan korupsi yang efektif.

Akibatnya, sebagian besar dana ini tidak digunakan dengan baik atau hilang dikorupsi. Layanan-layanan dasar yang dijanjikan untuk mengangkat orang asli Papua dari jurang kemiskinan menjadi tak tercapai. Sebagaimana yang disebutkan oleh analis dari IPAC, pemerintah pusat tidak bertindak untuk memperbaiki situasi ini dan justru menjadikannya sebagai “alat untuk mengkooptasi elit-elit politik Papua ataupun untuk mengancam mereka akan dibawa ke pengadilan jika mereka tidak memberikan dukungan politik”.30

Seperti yang terjadi di hampir semua wilayah Indonesia, Papua juga mengalami pemekaran wilayah. Pemekaran di Papua juga dipengaruhi oleh persaingan suku-suku untuk mendapatkan kewenangan dalam mengelola wilayah baru. Sejak 2003, Papua sudah mekar menjadi 2 provinsi dengan penambahan 32 kabupaten baru dan ratusan kecamatan baru. Untuk setiap wilayah pemekaran, dibutuhkan kantor baru, posisi baru, dan lembaga baru,

28 A. Sumule, 29 Mei 2020, “Evaluasi Otsus Papua: Tinjauan Bab Per Bab,” Suarapapua.com, <suarapapua.

com/2020/05/30/evaluasi-otsus-papua-tinjauan-bab-per-bab-bagian-ii/>.

29 <peraturan.bpk.go.id/Home/Details/89763/perdasus-papua-no-25-tahun-2013>. Peraturan ini disyaratkan oleh Pasal 34 UU Otsus.

30 IPAC, 30 Juli 2020, 7.

Titik Awal 45

yang semuanya ditopang oleh anggaran baru dan kewenangan baru atas dana-dana pembangunan dan alokasi hak ekstraksi sumber daya alam. Kantor-kantor baru ini membawa kesempatan untuk menguasai semua dana baru ini –baik yang sah maupun yang dikorupsi – serta memunculkan kekuasaan besar dan patron politik.31 Persaingan untuk menguasai sumber daya alam dan pendapatan sumber daya alam yang pada masa sebelum reformasi hanya terjadi antara Kementerian Kehutanan, Pertanian, Pertambangan, dan Lingkungan Hidup, semakin memburuk di bawah desentralisasi dan Otsus, karena kementerian-kementerian ini juga bersaing dengan pemerintah daerah untuk mendapatkan kewenangan. Perebutan sumber daya alam dan keuangan yang gila-gilaan terjadi bukan untuk memperkuat suara masyarakat lokal dalam hal bagaimana sumber daya alam akan dimanfaatkan atau dipakai untuk kepentingan mereka.

Sebaliknya, persaingan baru ini malah mempercepat laju pengerukan sumber daya alam dengan dampak negatifnya terhadap masyarakat lokal, seperti yang terlihat dalam studi-studi kasus kami.

Otsus juga semakin meningkatkan gelombang masuknya kaum pendatang.

Meningkatnya kesempatan kerja dengan adanya “pemekaran” jabatan-jabatan administratif seharusnya bisa menjadi sarana untuk meningkatkan mata pencaharian dan pendapatan lokal. Tetapi hampir tidak ada upaya untuk meningkatkan kapasitas penduduk lokal supaya mereka mampu mengisi pekerjaan tersebut. Sehingga mereka kalah bersaing dengan para pendatang yang membanjiri Papua. Pembangunan ekonomi dengan mengandalkan

31 Pada tahun 2013, analis-analis IPAC mencatat bahwa Papua, sebelum Otsus hanya memiliki 1 provinsi dengan 10 kabupaten, berubah menjadi 2 provinsi dengan 42 kabupaten, dengan 33 kabupaten lain yang menunggu persetujuan DPR. Pembagian-pembagian ini telah memicu perpecahan di antara para suku yang bersaing untuk menguasai sumber daya. “Pejabat lokal yang ambisius memiliki kepentingan dalam menciptakan banyak kampung untuk mendapatkan akses kepada dana-dana yang dianggarkan untuk program pembangunan kampung dan lebih banyak distrik (atau

“kecamatan” untuk sebutan di wilayah-wilayah lain di Indonesia) untuk mendapatkan jumlah minimum pendirian kabupaten baru, di mana kekuasaan politik dan fiskal terkonsentrasi. Kabupaten yang lebih banyak akan meningkatkan kemungkinan munculnya lebih banyak provinsi baru dan kini, setidaknya ada 3 provinsi yang sedang dipertimbangkan .... Ada berbagai kepentingan berbeda yang mendorong pembagian-pembagian baru di Papua, terutama di tingkat kabupaten. Membawa pemerintah lebih dekat kepada masyarakat hanyalah alibi semata. Pemekaran muncul utamanya untuk mendapatkan akses kepada sumber daya – khususnya arus pendapatan dari pemerintah pusat – dan juga tentang promosi suku-suku dan sub-suku”. Sumber: IPAC, Carving Up Papua: More Districts, More Trouble, (Jakarta, 9 Oktober 2013).

Burung pun Tak Ada Lagi 46

eksploitasi sumber daya alam menarik semakin banyak orang non-Papua, yang secara bersamaan menghancurkan hutan-hutan alam tempat orang Papua bergantung, dan semakin memperburuk pemiskinan dan keresahan masyarakat lokal.32

Pendekatan pembangunan yang terus didengungkan juga menimbulkan pertanyaan, pembangunan untuk siapa? Pembangunan ekonomi yang saat ini berjalan telah secara nyata mengundang semakin banyak orang non-Papua dan investasi luar seperti industri ekstraktif ke Papua, pola yang jelas-jelas mendorong kemarahan orang Papua. Hal ini, pada gilirannya, mendorong penambahan jumlah pasukan keamanan, untuk melindungi orang non-Papua dan proyek-proyek ekonomi yang seharusnya dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi orang asli Papua. Namun, pembangunan ekonomi sebesar apa pun tidak dapat mengatasi dinamika rasisme yang juga memicu rasa frustrasi orang Papua.33

Pada saat yang sama, sejak Otsus berlaku, kekerasan berdarah terus berlanjut di Papua. Aparat keamanan masih melakukan penahanan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang bersuara, menembaki warga sipil dan melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan Papua.34 Kehadiran aparat keamanan di Papua justru meningkat dan menyebar; mereka terus dikirim untuk mengamankan “aset-aset vital” negara dalam industri sumber daya alam. Sampai saat ini, rasio polisi atau tentara terhadap penduduk di Papua adalah 1:97, sementara rasio rata-rata di wilayah lain adalah 1: 296.35

32 IPAC, 27 Februari 2014, “Papua Update: The Latest on Otsus Plus,” <www.jstor.org/stable/

resrep07802.1?seq=1#metadata_info_tab_contents>.

33 A. Ruhyanto, “The Perils of the Prosperity Approach in Papua,” The Peace Review: A Journal of Social Justice 28 (22 November 2016): 490-98.

34 Untuk informasi yang lebih mendetail tentang kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh negara di Papua sejak era Reformasi, lihat subbab 1.2. Kekerasan Negara: 1999-2009 di Enough is Enough!

Testimonies of Papuan Women Victims of Violence and Human Rights Violations 1963–2009 (Jakarta:

Komnas Perempuan dan ICTJ Indonesia), 26-36.

35 A. Supriatma, “TNI/Polri in West Papua: How Security Reforms Work in the Conflict Region,”

Indonesia no. 95 (Ithaca: Cornell University Press, April 2013): 96-8.

Titik Awal 47