• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Konflik Militer di Kabupaten Fakfak

Selama seabad terakhir, Kabupaten Fakfak telah menjadi saksi dari banyaknya konflik militer. Wilayah ini menjadi lokasi pertempuran sengit antara Jepang dan pasukan Sekutu di masa Perang Dunia Kedua. Banyak artefak dari Perang Pasifik (1941-1945) telah ditemukan di Distrik Kokas seperti sisa-sisa meriam, gua-gua yang digunakan oleh Jepang sebagai pangkalan pertahanan, benteng dan pos pengintai.2

Pada tahun 1960an, Fakfak kembali menjadi lokasi konflik militer antara pasukan khusus Belanda dengan tentara Republik Indonesia yang baru berdiri.

Dalam upaya memaksa Belanda keluar dari tanah Papua, Presiden Sukarno melancarkan kampanye perang gerilya yang melibatkan penurunan pasukan terjun payung ke wilayah-wilayah Fakfak yang belum dilepaskan Belanda.3

Setelah berada di bawah kedaulatan Indonesia, Fakfak kembali mengalami berbagai peristiwa kekerasan dari pasukan keamanan Indonesia. Pada tahun 2008, polisi Indonesia menangkap 41 orang di Fakfak setelah 3 orang dari Desa Sungai mengibarkan bendera Bintang Kejora di luar gedung Pepera.4 Pada 2016, demonstrasi terjadi di seluruh Papua di mana hampir 2.000 orang ditangkap.5 Menyusul aksi unjuk rasa di Fakfak, penangkapan massal dilakukan termasuk penahanan setidaknya 19 anak.6 Pada Agustus 2019, ribuan orang di Fakfak mengambil bagian dalam protes nasional atas perlakuan tidak demokratis terhadap orang Papua di seluruh Indonesia.7 Pada Desember 2019, pasukan keamanan Indonesia menanggapi peristiwa tersebut dengan melakukan penangkapan massal. Sebanyak 54 pria ditangkap di Fakfak dan kemudian beredar foto-foto dari tahanan yang memperlihatkan tangan mereka diikat

2 Hans Wiesman, “The Forgotten War in S.W. Pacific: Air Raids from Australia Against the Dutch East Indies,” War History Online, 24 April 2017.

3 “Dutch Troops Fight Indonesian Chutists,” The New York Times, 21 May 1962.

4 The Jakarta Post, 22 July 2008, “Indonesian Police Probe ‘Free Papua’ Over Insurgency Links,”

<www.etan.org/et2008/7july/19/20inwest.htm>.

5 Al Jazeera, 3 May 2016, “Mass Arrests Reported in Indonesia’s Restive Papua,” <www.aljazeera.

com/news/2016/5/3/mass-arrests-reported-in-indonesias-restive-papua>.

6 Ibid.

7 Sophie Chao, 17 June 2020, “West Papua and Black Lives Matter,” Inside Indonesia, <www.

insideindonesia.org/west-papua-and-black-lives-matter>.

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 101

dan mereka dipaksa untuk merangkak di depan personel keamanan Indonesia.8 Peristiwa meresahkan tersebut dikisahkan oleh salah satu peserta perempuan,

Tanggal 1 Desember 2019 terjadi penembakan terhadap masyarakat sipil dari kampung yang menuju kota. Lalu, ada aparat Brimob dan polisi dari arah kota ke kampung. Sepertinya aparat su tahu kalau masyarakat mau menuju ke kota. Itu hari ada peringatan orang Papua. Pas masuk di Distrik Kayuni, ada masyarakat membawa senjata tajam. Polisi tahu, akhirnya terjadi penyerangan.

Dua orang sipil kena tembak; 1 langsung meninggal, 1 tertembak di paha sebelah kanan. Masyarakat sekitar 53 orang dibawa ke Polres 2 hari. Diproses sisa 23 orang, masih ditahan sampai sekarang, masih menunggu sidang.

Tuduhannya makar karena masyarakat bawa bendera Bintang Kejora. Karena kejadian itu, banyak masyarakat yang menghindar ke hutan karena penyerangan ke rumah-rumah warga. Masyarakat yang ditahan juga dari kampung di sekitar Kayuni, yaitu, Warpa, Kuagas, Pikpik, Kwamkwamur, Kriawasawas, Bahbadan. Saya ada di situ pada saat kejadian. Sa saksi mata. Mayat yang meninggal ditemukan seminggu setelah kejadian. Waktu kejadian, kampung kosong. Tanggal 4 Desember, sa deng FS jalan ke hutan cari warga. Nanti tanggal 6 Desember jam 11 malam baru ada informasi ketemu mayat. Itu laporan dari bapak Sekretaris Desa Kayuni. FR

Di bawah rezim Orde Baru, Tomage dan kampung-kampung sekitarnya telah menjadi pusat program transmigrasi. Kampung Tomage berdiri pada tahun 1980 setelah dimekarkan dari Kampung Ottoweri. Menurut peserta penelitian, pada awal tahun 1980an, Rovinus Nanafesi selaku kepala kampung pertama diminta untuk memilih satu dari dua izin berbeda untuk penggunaan lahan di kampung tersebut: transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit. Bapak Rovinus memilih menyetujui transmigrasi dan menolak perkebunan kelapa sawit karena khawatir limbah perkebunan bisa merugikan masyarakat kampung nantinya.

Transmigrasi lebih dulu masuk ke Distrik Bomberai pada tahun 1984.

Transmigran ditempatkan di wilayah-wilayah pemukiman khusus yang dinamakan

8 Human Rights Watch, 5 December 2019, “Indonesia Arrests Yet More Indigenous Papuans: 20 Charged with Treason for Raising Papuan ‘Morning Star’ Flag”, <www.hrw.org/news/2019/12/05/

indonesia-arrests-yet-more-indigenous-papuans>.

Burung pun Tak Ada Lagi 102

Satuan Pemukiman atau SP. Transmigrasi baru masuk secara bertahap ke Distrik Tomage sejak tahun 1990an. Gelombang pertama terjadi pada tahun 1993 dan melibatkan 500 keluarga. Mereka terdiri dari transmigrasi dari Pulau Jawa dan transmigrasi lokal, dan semuanya ditempatkan di SP 1.

Gelombang kedua terjadi pada tahun 1995 dan menduduki wilayah SP 2 dan SP 3. Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1997 dan menempati SP 4 hingga SP 7. Gelombang terakhir terjadi pada tahun 2012 di SP 8, tapi hanya melibatkan transmigran lokal sebanyak 200 kepala keluarga. SP 8 berbatasan dengan tanah adat Suku Mbaham Matta dan Irarutu, sedangkan SP1 hanya berbatasan dengan tanah adat Suku Irarutu.

Setiap transmigran mendapatkan rumah, pekarangan rumah seluas setengah hektar, lahan usaha yang pertama berukuran setengah hektar, lahan usaha kedua berukuran satu hektar, dan alat-alat pertanian. Masing-masing mereka juga mendapatkan sertifikat tanah atas lahan-lahan yang diberikan itu.

Dari diskusi yang kami lakukan bersama anggota laki-laki kampung, kami mendapati beberapa masalah terkait kehadiran transmigrasi di Distrik Tomage.

Tanah yang ditempati para transmigran tidak melalui proses pembayaran ganti rugi lebih dulu kepada masyarakat adat pemilik tanah. Setelah transmigrasi masuk, beberapa transmigran memutuskan untuk menjual lahan mereka setelah mendapatkan sertifikat tanah lalu kembali ke Jawa. Setelah sampai di Jawa dan hidup mereka tidak sejahtera, mereka kembali lagi ke Distrik Tomage lalu beli tanah di sana. Masyarakat lokal tidak menyukai praktik jual-beli sertifikat tanah ini, terlebih karena mereka sendiri tidak mendapatkan ganti rugi atas tanah mereka yang diambil untuk keperluan transmigrasi. Mereka mengistilahkan praktik ini sebagai “pakai sepatu di Kampung Tomage, buka sepatu di kota.”

Sekalipun demikian, masyarakat lokal memiliki hubungan yang baik dengan transmigran. Mereka juga belajar tentang cara bercocok tanam sayur-mayur dan cara memasak makanan yang biasa dimakan oleh transmigran yang berasal dari Jawa.

Lama-lama transmigrasi datang, dia mulai tanam kangkung ini, kita lihat – baru kita ikut tanam. Kita tanam, kita bisa makan ... belajar dari Jawa-Jawa ini, sayur-sayuran ini. Mereka bawa dari Trans [kampung transmigran], turun di sana kita beli. Tidur sama-sama dorang, jadi dong cerita penanaman sayur

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 103

ini. Mereka jalan turun, jadi saya bawa dong tidur sama-sama di rumah. Jadi saya bilang dorang, “Kamu bawa sayur-sayur ini bagaimana?” “Mama, begini dia pu cara, cangkul, abis itu tanam. Baru mama sendiri siram-siram.” “Oh, begitu.” Sebenarnya kita orang makan makanan sayur yang di hutan ini salah, makan ini yang bagus. Sudah, ikut tanam. [Saya juga] belajar sama orang Jawa bikin tape. [Orang] Jawa datang di sini, dia ambil itu ragi, pulang baru dia masak, saya lihat, “Oh saya juga bisa bikin”. Bikin sendiri lagi. Tapi anak-anak tidak suka makan, itu yang saya malas bikin lagi. Kalau anak-anak-anak-anak suka makan ya saya bikin, kan saya sudah tahu .... Jadi, pengalaman-pengalaman bukan datang dari kita saja, datang dari Jawa-Jawa ini yang kasih pelajaran untuk kami yang Papua ini, baru kita tahu cara buat ini begini. Itu sudah kita ikuti itu, sehingga kita bisa tahu. FB

Industri Ekstraktif di Kabupaten Fakfak dan Distrik