• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menjadi Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Tengah Kerasnya Kehidupan

Sebelum industri ekstraktif masuk, Distrik Tomage menjadi salah satu distrik yang terpencil di Kabupaten Fakfak. Pembangunan tidak sampai ke wilayah ini, akses transportasi ke wilayah ini sangat sulit, dan akses kepada layanan sosial juga tidak tersedia sehingga masyarakat lokal harus berjuang keras

14 Kadate Bintuni “Pemprov Diminta Percepat Tapal Batas Bintuni dan Fakfak”, PT. Kadate Bintuni Media Utama, 15 May 2018.

Burung pun Tak Ada Lagi 108

untuk menyambung hidup sehari-hari. Masyarakat mulai merasakan pembangunan dan dampak positifnya ketika perusahaan mulai beroperasi di wilayah mereka.

Dulu kita hidup menderita. Kita pergi buang-buang jaring, kita ganti-gantian.

Kalau ke laut, sa takut. Bapa pergi menjaring untuk cari udang. Kalau tidak ada udang, pace panjat kayu putih cari burung Yakob, kakaktua putih, untuk jual dan dapat uang untuk biaya anak sekolah .... Begitu kita cari uang sampai tahun 2006. Sebelum kerja di sawit, kerja pangkur sagu untuk makan saja.

Dulu pace usaha tangkap burung Yakob, jual satu ekor 500 ribu. Sekarang ini harga burung 1 juta. FB

Waktu dulu, bapa dorang pangkur sagu saja itu makanan pokok. Mau beli beras itu, dong harus mendayung dulu jual sagu ke Kokas, baru bisa beli beras.

Dulu itu cari uang pe setengah mati; mau sekolah setengah mati. Kebanyakan anak sekolah itu nganggur-nganggur. Katong mau beli minyak tanah harus mendayung dulu. Kalau air turun, katong turun; kalau air naik, katong naik.

Nanti ada perusahaan ini baru baik sedikit. Katong cari uang itu lebih gampang.

Kalau dulu tra ada; hanya bisa ambil damar. Mau bikin gereja juga dulu harus pangkur sagu dulu. Dapat 10 ribu baru sumbang beli kayu untuk gereja.

Sekarang sa kerja di perusahaan sawit, sebagai karyawan. FJ

Kehidupan di kampung dulu susah; tidak ada jalan, tidak ada kios di kampung.

Kita jalan kaki dari Tomage ke Bomberai. Jam 6 pagi berangkat, sampe di sini jam 1 siang untuk datang beli gula, garam, vetsin, sabun, minyak tanah;

baru pulang lagi jalan kaki sampe di sana malam. Tahun 2013 jalan motor sudah ada, perusahaan Genting Oil masuk, dia buka jalan tahun 2012. Setelah itu, jalan disambung oleh pemerintah. Tahun 2018 baru aspal jalan; abis itu su mulai ada motor, mobil. Dulu susah anak-anak sekolah, sekarang baru bisa anak masuk kuliah. Dulu melahirkan sendiri di kampung saja, sekarang baru kenal bidan, ada rumah sakit. FA

Sawit ini masuk, baru kita makan dengan minyak goreng, dengan vetsin.

Kalau tidak, maaf saja. Pangkur ya kita makan, pancing ya kita makan, berburu ya kita makan. Sawit itu, walau kita bilang jelek, tapi kita bisa makan .... sampai berapa tahun kemudian baru aspal, jalan bagus – kendaraan mulai bolak balik. Dulu memang menderita, tidak seperti ini. Kendaraan juga tidak ada. Makan itu ikan kita rebus, garam itu ya sudah, makan saja. [Dulu] rebus

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 109

saja makan. Kita tidak kenal minyak goreng. Kalau yang mau makan goreng, masak kelapa – parut kelapa, diremas, masak, baru pakai masak sayur. FB Ketika PT. RSP memulai operasi perkebunan skala besarnya, sejumlah besar masyarakat adat di Distrik Tomage menjadi buruh harian di perusahaan tersebut, termasuk perempuan. Kehidupan yang sulit di Distrik Tomage membuat banyak masyarakat adat yang memutuskan untuk bekerja untuk perkebunan kelapa sawit untuk menyambung hidup meskipun mereka sadar bahwa persoalan pelepasan tanah dengan perusahaan masih belum selesai.

Saat ini ada sawit, jadi senang. Sa kerja di sawit sebagai buruh harian. Gaji tidak cukup untuk hidup, jadi kerja kebun untuk makan. Tanam pisang untuk dimakan sendiri. [Sa] beli gula, kopi, bon di kios-kios ini, dibayar saat gajian [Rp. 500 ribu]. FF

Saya kerja di sawit baru bisa dapat uang. Sa karyawan biasa; gaji 1 bulan 2 juta, tapi gaji naik-turun. Biasa 2 juta, biasa 1,5 [juta], tergantung masuk lapangan. FG

Sa rasa senang karena ada uang untuk bantu anak-anak sekolah....Sa bisa pakai untuk kebutuhan lain dan kirim untuk anak-anak sekolah. FE

Kerasnya kehidupan di Distrik Tomage ini dimanfaatkan oleh perusahan sawit yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengurus perkebunan sawit yang sedang dibuka. Perusahaan kemudian merekrut banyak masyarakat lokal, termasuk para lansia.

Tahun 2014, perusahaan sawit masuk. Kitong masih di rumah jelek-jelek, rumah panggung. Orang perusahaan datang bujuk-bujuk orang di kampung, ambil bantal bujuk-bujuk mau tidur untuk ambil hati. Setelah masuk kerja, hidup menderita. Makan kita tanggung sendiri .... Ya kalau kita ikut aturan Depnaker, di atas 50 tahun ini sudah tidak bisa. Tapi dari perusahaan juga ingat kita, jadi masih bisa .... Kalau sawit dia masih berpikir yg tua-tua ini, akhirnya paksa begitu. Dia pu peraturan tidak bagus, tapi dia masih bantu ...

Sawit ini, kita bilang tidak bagus dari satu sisi, tapi dari sisi lain dia bagus, dari umur ini. FB

Perekrutan lansia ini kemudian dipakai perusahaan sebagai alasan untuk tidak mengeluarkan kontrak kerja ataupun SPK (Surat Perintah Kerja) bagi

Burung pun Tak Ada Lagi 110

masyarakat adat yang dipekerjakan di perkebunan sawit. Dengan kata lain, mereka akan terus menjadi buruh harian tanpa ada promosi menjadi pegawai tetap perusahaan.

Kalau buat itu berarti mama yang sudah usia itu, sudah tidak bisa kerja. Jadi kata dia punya alasan begitu sama kita masyarakat atau karyawan. “Iya, Mama-mama dong, Bapa-bapa dong, sekarang bapa dong minta SPK, kalau kami buat berarti mama dong yang sudah usia lanjut itu su tidak bisa kerja. FD Tak hanya lansia, perusahaan juga merekrut anak-anak dari masyarakat lokal untuk menjadi pekerja harian bersama orang tuanya. Karena perusahaan-perusahaan ini memberikan penghasilan dan mata pencaharian alternatif, banyak orang tua yang mengizinkan anak-anak mereka untuk bekerja di usia sekolah. Seperti yang dijelaskan oleh beberapa peserta, anak-anak yang menjadi buruh harian ini umumnya adalah anak-anak yang sudah putus sekolah karena orang tuanya meninggal dan tidak ada yang membiayai sekolah mereka lagi atau yang terlanjur hamil sebelum sempat menyelesaikan sekolah mereka.

Waktu itu, adik itu pas tamat SMP, mau masuk SMK, tapi tidak jadi karena bapa meninggal. Adik jadi bantu mama ikut kerja di sawit. Seharusnya tidak bisa, tapi perusahaan kasih kerja. Dia pu adik juga masih sekolah tapi dia putus sekolah sewaktu SMP kelas 1 ketika bapa meninggal, jadi turun kampung dan kerja sawit juga ... Anak-anak bantu mama kerja di sawit untuk biayai yang masuk SMP, baru kelas 1 SMP. Semua kerja di sawit sampai sekarang. FK Mau masuk SMK, bapa meninggal. Langsung keluar bantu mama masuk kerja di sawit...Sa su kerja di sawit dari umur 18. Waktu kerja di sawit, tidak ada tanya umur. Banyak anak yang umur di bawah 18 tahun yang kerja di sawit. Kerjanya sama. FO

Saya masuk SMP di SP 1. Sewaktu kelas 1 lalu putus sekolah karena hamil tapi [bayi saya] meninggal .... Selama kerja, anak kecil dijaga sa pu mama.

Dulu mama kerja di sawit, tapi sakit lambung sehingga berhenti. FP

Beberapa anak yang putus sekolah ini juga bekerja untuk membantu orang tuanya mencari nafkah bagi keluarga mereka. Bagi mereka, kehadiran perkebunan sawit membantu kehidupan mereka karena mereka bisa bekerja dan punya pendapatan sendiri meskipun tidak menyelesaikan pendidikan dasar mereka.

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 111

Kakak perempuan kerja di sawit untuk cabut-cabut rumput; jadi mama tra usah kerja. Kakak yang kerja di sawit tinggal di kampung. Sistem gaji sama juga...[Sa] mulai kerja di perusahaan tahun 2013 [usia 15 tahun], babat-babat sampai tanam. Satu kampung bekerja di perusahaan. Saat ini banyak usia anak yang kerja di sawit. FM

Setelah putus sekolah, kerja di sawit. Biasa kerja babat rumput, kerja piringan, bersihkan di bawah pohon sawit saja, sekitar 5 meter dari pohonnya. Pertama kali kerja, isi tanah dalam koker .... [Saya] suka kerja di sawit karena bisa dapat uang. FN

Adik bantu mama, jadi mama rasa lega. Jadi kalo mama sakit, adik bantu mama kerja. Kalau mama su sembuh, baru mama masuk kerja lagi. FK

Akses pendidikan memang menjadi salah satu masalah utama di distrik ini. Masalah ini juga yang menjadi salah satu alasan tokoh-tokoh kampung mengizinkan perusahaan sawit masuk ke wilayah mereka, dengan harapan perusahaan bisa mendukung pendidikan generasi muda mereka.

Pada tanggal 1 Agustus 2012, ada pembicaraan masyarakat adat dengan perusahaan di Kampung Selawir. Dulu katong bilang kalau kamu tebang satu pohon, harus bangun satu manusia. Bukan untuk bangun orang-orang tua macam kami ini, tapi generasi baru, untuk anak-anak sekolah. Tapi tidak ada.

Ada kesepakatan waktu itu, jadi tanda tangan daftar hadir bahwa Kampung Selawir sudah setuju. Tokoh laki-laki Kampung Selawir

[Suami], dia dibujuk orang Jawa, orang sawit sampai dia setuju. “Bapak, bisa, dia begini begini.. bagus, kita bisa bantu masyarakat, bisa sekolah anak-anak ini bisa .... Kalau bapak tidak mau, baru anak-anak ini mau sekolah dengan apa? Uang mana yang bapak bisa sanggup kasih sekolah bapak pu anak-anak ini. FB

Pasal 69 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Indonesia sebenarnya masih membolehkan perusahaan untuk memperkerjakan orang di bawah usia 18 tahun dengan sejumlah persyaratan tertentu.15 Penerapan aturan ini yang harus diperiksa di Distrik Tomage untuk memastikan agar

15 N. Widya Utami, 10 Januari 2020, “UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Penjelasannya,”

Insight Talenta.

Burung pun Tak Ada Lagi 112

pekerjaan yang dilakukan buruh anak ini dilakukan tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial mereka, termasuk mengurangi hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dasar.