• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya-Upaya untuk Mendokumentasikan Pelanggaran Sistematis terhadap Perempuan

Pada tahun 2009-2010, Kelompok Kerja Perempuan Majelis Rakyat Papua (Pokja Perempuan MRP) bekerja sama dengan Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan aktor-aktor kunci masyarakat sipil untuk melakukan studi tentang kekerasan terhadap perempuan Papua sejak tahun 1963 hingga masa kini. Laporan yang berjudul Stop Sudah!

mendokumentasikan sekitar 260 kasus kekerasan negara dan kekerasan domestik. Laporan tersebut telah diserahkan kepada Ketua MRP dalam seremoni formal di Jayapura yang disaksikan secara terbuka.17 Laporan ini memberikan

17 “Enough is Enough: Testimonies of Papuan Women Victims of Violence and Human Rights Violations 1963-2009,” <www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-IDN-Enough-Women_Papua-Report-2010.pdf>.

Papan yang menunjukkan kepemilikan tanah adat oleh marga Subur. Putusan MK No. 35/

PUU-X/2012 adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakui kepemilikan tanah adat oleh masyarakat adat. Foto oleh tim AJAR/PWG, Boven Digoel, akhir 2019.

Titik Awal 19

catatan yang menarik tentang kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan yang terjadi sebelum Reformasi (1963-1998) dan setelahnya (1998-2009). Laporan ini juga mencakup kasus-kasus kekerasan domestik yang terjadi, memperlihatkan adanya hubungan antara kekerasan berbasis gender yang terjadi di ruang publik dengan yang terjadi di ranah privat. Laporan ini memuat 5 temuan utama:

1. Pendekatan keamanan negara mengutamakan kekerasan untuk melumpuhkan lawan, tanpa ada sanksi yang serius bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pelaku kekerasan terhadap perempuan.

2. Praktik diskriminasi terhadap perempuan di Papua melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.

3. Konflik sumber daya alam, konflik politik, dan perebutan kekuasaan dari tingkat lokal hingga nasional, mendorong terciptanya situasi di mana kekerasan negara dan kekerasan domestik terhadap perempuan menjadi meningkat.

4. Tidak ada respons dan kemauan politik yang serius dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik di Papua secara umum, ataupun masalah kekerasan terhadap perempuan secara khusus.

5. Lapisan trauma dan ketidakberdayaan yang tumpang tindih dan yang tidak ditangani menimbulkan adanya siklus viktimisasi.

Menanggapi laporan ini, MRP dan DPRD Papua pada tahun 2011 menerbitkan peraturan daerah khusus [Perdasus] untuk membentuk sebuah komisi di tingkat provinsi untuk menyediakan pemulihan bagi perempuan korban. Perdasus tentang Pemulihan Hak Perempuan Orang Asli Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (dikenal sebagai Perdasus Pemulihan), akan menyediakan sebuah mekanisme lokal untuk mengakui pengalaman kekerasan perempuan Papua dan memberikan bantuan mendesak.18 Meskipun sudah disahkan sejak tahun 2011, peraturan ini tak kunjung diimplementasikan selama hampir satu dekade.

18 <dpr-papua.go.id/wp-content/uploads/2020/02/PERDA-NOMOR-1-TAHUN-2011-TTG-PEMULIHAN-HAK-PEREMPUAN-PAPUA-SALINAN.pdf>.

Burung pun Tak Ada Lagi 20

Sa Ada Di Sini: Suara Perempuan Papua Menghadapi Kekerasan yang Tak Kunjung Usai19

Meskipun telah ada berbagai upaya untuk mendokumentasikan kekerasan terhadap perempuan di Papua seperti yang dijelaskan di atas, hanya ada sedikit kemajuan di aspek pencegahan dan keadilan. Pada tahun 2019, sepuluh tahun setelah terbitnya laporan bersama MRP dan Komnas Perempuan, PWG menerbitkan laporan baru tentang tentang kekerasan terhadap perempuan dengan mengintegrasikan metode partisipatif dan sensitif pada trauma. PWG mengkaji spektrum kekerasan, dari kekerasan negara, seperti konflik sumber daya alam, hilangnya tanah adat, kekerasan seksual dan berbasis gender akibat konflik politik, hingga kekerasan domestik. PWG mendokumentasikan 249 kasus yang dikumpulkan antara tahun 2013-2019. Para perempuan berbicara tentang kekerasan di masa lalu dan dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan dan kesejahteraan sosial ekonomi mereka, serta dampak kekerasan politik dan kekerasan domestik yang masih berlangsung.

Dari 249 peserta perempuan, 65 di antaranya pernah mengalami kekerasan negara. Meskipun peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, tak ada satu pun kasusnya diselesaikan oleh negara dan para perempuan itu juga tidak pernah mendapat penanganan. Terdapat beberapa inisiatif dari masyarakat sipil untuk membantu para korban, namun upaya-upaya tersebut tidak berjalan secara konsisten (hlm. 21).

Dari 249 peserta perempuan, 37 orang pernah mengalami kekerasan domestik.

Prevalensi kekerasan domestik, serta kurangnya layanan dan akses terhadap keadilan adalah masalah kritis yang mereka hadapi (hlm. 29).

Kerangka Kerja untuk Pemulihan dan Pemberdayaan

Pelajaran kunci dari penelitian ini menegaskan kembali bahwa kebutuhan perempuan asli penyintas kekerasan harus ditangani dengan cara-cara yang holistik dan seimbang sebagai cara untuk meningkatkan kehidupan mereka.

19 PWG memfasilitasi proses penelitian aksi dari tahun 2013-2019 yang melibatkan 249 perempuan asli Papua. Sebuah laporan dalam bahasa Indonesia telah diluncurkan di Kantor Gubernur Papua pada tahun 2016 dan versi bahasa Inggris yang diperbarui telah diterbitkan pada tahun 2019.

Titik Awal 21

Harapan untuk Masa Depan

Pengakuan, Rasa Aman, dan Keadilan

Ada empat elemen berbeda namun saling terkait yang dapat berkontribusi dan mendorong pemulihan perempuan korban kekerasan. Hanya dengan demikian, mereka, keluarga, dan komunitasnya dapat menjadi agen perubahan untuk hidup yang bebas dari kekerasan. Keempat elemen tersebut adalah:

1. Setelah memberikan dukungan awal untuk korban pasca peristiwa kekerasan (seperti perlindungan hukum dan penyediaan layanan kesehatan dan layanan-layanan lain), perlu ada upaya serius untuk memperkuat landasan kehidupan perempuan. Ini termasuk perumahan yang layak, akses kepada layanan kesehatan, akses kepada pendidikan, dan akses kepada sumber-sumber penghidupannya termasuk tanah, kebun, hutan, dan air.

2. Untuk mewujudkan keamanan dan keadilan bagi perempuan korban kekerasan, pemerintah dan masyarakat perlu memberikan pengakuan kepada korban kekerasan, khususnya korban kekerasan negara. Negara, lembaga agama, dan adat harus menyampaikan pesan yang jelas dan konsisten bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan yang salah. Selain itu, diperlukan juga upaya untuk memastikan adanya akses kepada keadilan yang dapat memberikan rasa aman bagi korban.

3. Penguatan proses pemulihan yang memperkuat ketahanan semangat juang untuk mengatasi trauma dan siklus viktimisasi harus menjadi prioritas bagi mereka yang bekerja dengan para penyintas. Akses kepada dukungan dan layanan psikososial jangka panjang harus diprioritaskan sambil juga mengakui bahwa proses pemulihan sering kali bersifat spiritual. Oleh karena itu, upaya-upaya ini harus mencakup kerja sama dengan lembaga agama dan adat yang menyentuh kehidupan para korban. Bantuan jangka menjadi sangat penting untuk memastikan pemulihan korban.

Temuan-temuan kunci dan rekomendasi laporan tentang kekerasan terhadap perempuan ditampilkan kembali di sini. Laporan selengkapnya dapat diakses secara daring: <asia-ajar.org/wp-content/

uploads/2019/04/I-am-Here-Voices-of-Papuan-Women-2019.pdf>.

Burung pun Tak Ada Lagi 22

4. Terakhir, perempuan korban membutuhkan secercah harapan untuk meningkatkan kehidupan mereka dan anak-anak mereka. Tanpa optimisme ini, perempuan akan mengabaikan upaya-upaya untuk membangun solidaritas dengan korban-korban lain maupun untuk membangun hidup dan masyarakat yang bebas dari kekerasan. (hlm. 61-63)

Titik Awal 23

Keluarga orang asli Papua bersiap memancing di kawasan rawa di perbatasan Merauke dan Boven Digoel. Foto oleh Albertus Vembrianto.

3

Menapak jalan