• Tidak ada hasil yang ditemukan

KA, perempuan adat Kebar yang menjadi fasilitator penelitian, bercerita tentang awal mula kehadiran perusahaan di tanah adat mereka. Menurut KA, Dinas Pertanian Kabupaten Tambrauw berperan dalam mempertemukan perusahaan dengan masyarakat untuk pertama kalinya:

Perusahaan yang dari awalnya tuh, dari Dinas Pertanian dari Kabupaten Tambrauw. Dorang bilang ini uji coba dari dinas. Akhirnya kami masyarakat izin, tapi kami izin itu untuk di lahan terbuka seperti alang-alang, tidak di hutan .... Yang kami izin cuma 2 tahun untuk dorang kerja, ternyata, dari perusahaan mereka gusur sampai ke hutan. Akhirnya terjadi perkelahian antara kami pemilik hak ulayat Arumi, Wasabiti, Ariks, Wanimeri. Kami berkelahi karena dari perusahaan mereka bongkar hutan .... Waktu itu dorang bongkar hutan, kami sementara ada waktu itu Natal, bulan Desember, kami sibuk-sibuk. Kami tidak tahu yang dorang sudah bongkar hutan dari lokasi Wasabiti sana kemari.

Masyarakat adat juga pernah meminta bantuan kepada Polisi untuk menghentikan penggusuran hutan oleh perusahaan. Namun, upaya ini juga tak berhasil.

Waktu itu perusahaan sudah gusur hutan yang di sebelah ini, sudah habis.

Dorang buat jalan ini untuk ke lokasi Kebar. Waktu itu kami tidak mau untuk dorang buka jalan ini, tetapi perusahaan itu dengan sendirinya dorang buat jalan ini, bilang “kita mau gunakan jalan saja ke lokasi Kebar”. Akhirnya kami izinkan. Ternyata orang mau bongkar hutan ... akhirnya kami palang.

Tapi dari polsek dorang datang paksa-paksa kami. Kami tidak mau, tapi dorang datang berulang kali kemari. Akhirnya kami bilang, “kami pemilik tanah Arumi, pemilik hak ulayat. Kami bilang ke bapak Kapolsek, Bapak kami bisa buka palang atau rumah yang kami di jalan, tapi dengan catatan Bapak jamin jangan sampai perusahaan gusur hutan yang ada di sebelah sini dan ada di sebelah atas.” Ternyata lewat hampir 1-2 bulan, kami kaget begini, dorang gusur hutan ini. Hutan di sebelah atas, di sebelah bawah, yang di dalamnya ada kayu besi, kayu matoa. KA

Burung pun Tak Ada Lagi 144

Mereka juga sempat melapor ke Komandan Kodim, namun langkah ini juga tak berhasil. Malahan, salah satu anggota masyarakat adat sempat dipukul oleh anggota Brimob ketika mereka berdemo pada bulan Agustus 2018 lalu.

Mereka berdemo karena hutan adat mereka digusur secara intensif hingga mencapai 500 hatanpa ada persetujuan dari mereka.

Dari perusahaan dorang datang untuk ukur lokasi. Hutan ini, dorang ukur hutan ini waktu itu dorang mau gusur. Pas kakak laki-laki saya dia pakai motor dari sana. Dia pukul pengawas lapangan di sini, di tempat ini, dan keamanan Brimob pakai popor senjata pukul bahunya kakak. Akhirnya kakak dia juga diam, kembali kasih tahu kami masyarakat. Kami dengan mobil datang dan kami berkelahi besar di sini. Kami berkelahi dengan karyawan dari perusahaan, terus pengawas lapangannya sampai dong pu pimpinan perusahaan juga waktu itu; Kami lapor langsung ke Pak Dandim. Waktu itu Dandim suruh antar kakak laki-laki yang dipukul dengan popor senjata langsung ke Dandim di Manokwari dan ambil data di sana waktu itu. KA Perwakilan masyarakat adat kemudian melakukan perjalanan untuk bertemu dengan beberapa lembaga negara termasuk Kementerian Pertanian, Kementerian Perekonomian, Kementerian Agraria, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta pada November 2018 untuk menyampaikan masalah ini. Mereka mendapat tanggapan bahwa masalah ini adalah tanggung jawab pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.

Ini bukan cuma pemerintah yang tak punya keadilan, tapi semua masyarakat di sini. Kalau kami bisa keluarkan perusahaan ini, baru kami merasa ada keadilan.

Kalau masih ada sedikit-sedikit, kami belum merasakan ada keadilan. RI Hingga tulisan ini dibuat, belum ada langkah konkrit dari tingkat pemerintahan daerah untuk menghentikan operasi PT. BAPP. Perusahaan masih beroperasi dan menggunakan jasa pasukan keamanan untuk mengamankan areal perusahaan hingga membuat masyarakat setempat menjadi takut.

Hutan ini digusur secara diam-diam, secara sembunyi-sembunyi .... Kami kaget begini, hutan sudah habis, ini semua sudah Dorang juga waktu itu pakai keamanan: Brimob, polisi, tentara; waktu itu semua ada, akhirnya kami masyarakat juga takut. KA

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 145

Sekalipun merasa takut, niat para perempuan peserta penelitian ini untuk terus mempertahankan tanah adat mereka tidak pernah pudar. Bagi mereka, perjuangan mempertahankan tanah adat harus tetap jalan karena tanah adalah sumber kehidupan mereka dan anak cucu mereka.

Kenapa ibu-ibu dorang dari tanah yang jauh bisa pergi ke Lembah Kebar ini?

Dorang tidak punya tempat di sini, tapi kenapa dia bisa dari tempat jauh datang ke sini? Kalau menurut saya, empat kotak [kerangka Batu-Bunga] itu batu semua karena kita lihat di sana saja itu sudah ada warna merah [menandakan lokasi perusahaan] dan direncanakan perusahaan itu 19.000 hektar, berarti wilayah Kebar Raya ini su habis. Jadi, jangan bilang kalau tanah misalkan Asentowi sana itu masih hijau, jadi santai saja. Tidak. Karena saya punya umur ini tidak panjang. Kalau sa mati, siapa yang akan membela hak sa punya anak-anak? Untuk itu, lewat kesempatan ini, dari pribadi saya, saya minta kalau bisa ada jaringan kerja, kalau bisa, ada hal yang bisa kita lakukan. KJ Tak hanya itu, mereka juga sadar kalau ada risiko-risiko yang harus mereka tanggung demi perjuangan mereka ini, seperti yang diutarakan oleh dua anak muda Kebar yang turut membantu proses penelitian di wilayah ini.

Kalau kita mau berjuang untuk tong pu tanah sendiri itu harus ada resiko yang kitong hadapi. Jadi, tidak bisa tong berharap bahwa kitong pu jabatan atau apa yang ada di pemerintah itu tetap ada. Harus ada resiko; harus ada sesuatu yang kita lepas untuk dapat sesuatu yang kita inginkan. Jadi, kita harus siap juga dengan kehilangan jabatan, status, untuk jaga kita pu tempat ini. Kalau bagi saya, jabatan atau uang atau status itu bukan segala-galanya;

yang penting itu hidup kita ini, itu sudah. RO

Harus tong tanggung resiko. Tidak usah bilang orang lain, sa pu diri sendiri.

Sa kuliah cape sampe ini, ketika saya mau honor dan sebagainya .... Sa pu sarjana, sa kasih tinggal. Itu resiko yang harus tong tanggung ... Kalau cerita-cerita, bisa sampai menelan korban, bukan jabatan saja ... kitong tetap memperjuangkan kebenaran itu. RP

Burung pun Tak Ada Lagi 146

Komunitas Adat Moi di Sorong. Foto oleh tim AJAR/PWG, Agustus 2020.

9