• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Perempuan dalam Pengelolaan Tanah Adat di Distrik Unurum Guay

Dalam konteks masyarakat adat di Unurum Guay, perempuan adat setempat umumnya tidak punya hak untuk mengambil keputusan tentang tanah adat mereka. Hak yang dimiliki perempuan hanya terbatas pada hak pakai saja.

Kalaupun perempuan diberikan hak untuk memiliki tanah adat, haknya tidak akan melebihi hak laki adat. Perbedaan hak antara perempuan dan

laki-10 Diambil dari praktik metode Alur Waktu.

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 63

laki ini diutarakan oleh sebagian besar perempuan peserta penelitian ketika mereka membicarakan tentang tanah adat mereka:

Tanah tempat saya berkebun ada di lokasinya nenek dari bapak. Tanahnya sudah jadi milik saya, tapi suatu saat bisa diambil oleh pihak laki-laki saudara nenek karena kami beda marga. Marga Dies itu biasa anggap perempuan tidak berkuasa. Kita tidak dianggap, jadi saya merasa berat tentang tanah ini.

Kita dilempar saja. Yang lain mereka berhak. UC

Saya merasa bisa menjaga tanah secara pribadi, tapi saya tidak bisa bertindak karena saya mungkin masih muda; belum bisa dipercayakan karena saya seorang perempuan. Karena di tradisi kami, perempuan tidak punya hak. UP Saya tidak bisa melawan ondo-ondo karena perempuan punya hak terbatas, tidak lebih. Laki-laki yang punya hak. UB

Secara pribadi, saya ingin menjaga alam ini karena bisa pergi pancing, berkebun juga dari alam, bisa kumpul batu. Tapi, saya tidak bisa melawan saudara laki-laki dan orang tua. Kita sebagai perempuan tidak bisa melawan ... saya tidak bisa melawan orang tua karena hak perempuan tidak bisa melebihi laki-laki; umur saya juga masih muda. UA

Posisi perempuan dalam pengambilan keputusan tentang tanah adat di Kampung Garusa semakin lemah bila mereka berstatus sebagai pendatang meskipun mereka sudah menikah dengan laki-laki adat asal kampung ini.

Mereka hanya punya hak pakai selama suaminya masih hidup.

Saya tidak terlalu berhak karena ini bukan tanah marga saya. Saya hanya kawin di sini. Di tanah saya, saya juga hanya ikut saudara laki-laki. UG Rumah dan tanah milik suami. [Saya] tidak berhak karena hanya anak mantu di Kampung Garusa. UL

Saya tidak punya hak bicara karena datang hanya kawin. UN

Sikap diskriminatif terhadap perempuan adat tampak jelas ketika perusahaan masuk ke Distrik Unurum Guay dan mendekati para ondoafi untuk melepaskan tanah adat mereka. Para ondoafi tidak memberikan hak kepada perempuan untuk berbicara karena menganggap perempuan tidak akan paham tentang

Burung pun Tak Ada Lagi 64

urusan tanah adat. Suara perempuan baru dipertimbangkan ketika mereka mulai menyadari bahwa perusahaan tidak berlaku adil atas mereka.

Waktu pertama mereka pertama kali masuk, itu mereka ada buat acara para-para pinang...jadi semua masyarakat dari sini, ke bawah. Di situ tidak pernah dikasih hak untuk perempuan bicara, itu tidak pernah. Dan memang seperti begitu kenyataannya, laki-laki tidak pernah mau kasih kesempatan kepada perempuan untuk bicara. Nanti mungkin sudah, dorang sudah mulai merasakan pedihnya perusahaan ketika mereka datang, bikin rapat di balai kampung sini, di situ baru bisa ada mungkin perwakilan seperti itu, termasuk saya dari Suku Supra .... Itu biasa dong kasih kesempatan kalau kita rapat mengenai plasma ini, tapi kalau macam apa begitu, cuma mama-mama yang tertentu, seperti kalau di sini UM biasa bicara. Katanya menurut tanggapan laki-laki nanti bicaranya tidak masuk akal, nanti bicaranya tak karuan situ, bikin para pimpinan di depan bingung katanya begitu. Padahal tidak, mama-mama juga punya tanggapan-tanggapan yang mereka mau berikan, mau bicara ataupun ada hak mereka mau bicara, tentang perkebunan di dalam. UE

Tanah ini yang paling berperan bapak-bapak dorang biasa bicara. “Kamu anak-anak ini kau tau apa? Yang lebih begitu itu bapak-bapak”, padahal kitorang ini juga punya ilmu, kita sekolah. Padahal kita juga berhak bicara. UI Perusahaan juga dengan sengaja tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berbicara dalam pertemuan-pertemuan yang perusahaan adakan dengan masyarakat adat dengan alasan yang sama.

Kadang itu pernah dari pihak perusahaan mengatakan bahwa kalau bikin rapat di kampung bicaranya terlalu tidak menyambung. Tapi beberapa kali itu rapatnya bukan di sini, tapi orang tertentu dan sudah komunikasi lewat telepon atau menyurat, mereka beralih ke dalam, rapat di dalam di kantor kelapa sawit. UE

Sekalipun demikian, ada beberapa perempuan adat asal Kampung Garusa yang berani melawan diskriminasi ini. Mereka bersikeras untuk ikut terlibat dan bersuara dalam proses diskusi tentang tanah adat mereka. Menurut perempuan-perempuan ini, mereka juga punya hak untuk berbicara atas tanah adat mereka. Mereka ini umumnya memiliki mata pencaharian lain yang tidak

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 65

bergantung pada hutan adat mereka, mendapat dukungan dari suami mereka, atau memiliki posisi penting di marganya.

Kalau secara pribadi memang kita tidak bisa dapat undangan, perempuan tidak bisa dapat undangan. Hanya kita tengok-tengok dong bicara hal ini.

Sepertinya saya macam tertarik juga, saya harus juga bicara. Akhirnya ya saya bicara. Yang saya bicara itu waktu itu, itu memang saya rasakan sendiri, macam ada kaget begitu.” UE

Kalau untuk hak bicara memang sangat sulit karena laki-laki lebih tinggi dari perempuan, tetapi ada perempuan-perempuan yang bersifat laki-laki juga, mereka biasa nantang, “Kenapa saya tidak dikasih hak untuk bicara, saya punya hak juga di sana”. Termasuk saya, ada beberapa ibu lagi...saya punya hak atas tanah keluarga karena saya anak pertama ... saya merasa perempuan juga punya hak bicara dan negara ini negara hukum, ada undang-undang.

Bukan namanya kita mau melawan, tapi saya bicara ini karena saya mau menjaga kita punya hutan. Saya ini perempuan yang paling tua dari Marga Supra. Saya yang akan menjaga ada saya punya adik-adik di belakang. UG Saya asli Kampung Garusa. Apa pun bapa-bapa bicara, saya juga bisa bicara.

Kalo bapa bicara ini, sa protes itu tidak baik; kalo bagus, sa ikut. Dong undang saya kalo ada rapat ini. Saya punya anak, saya tidak mau dirugikan. UM, bekerja sebagai guru honor.

Saya punya hak [atas] hutan, saya punya hak bicara. Saya dengan pace punya hutan. Hutan untuk berkebun; ada matoa jadi saya jaga. UH

Perempuan-perempuan ini mengungkapkan kesedihan dan kekecewaan yang mereka rasakan atas keputusan orang tua dan kepala suku mereka yang memberikan tanah adat mereka kepada perusahaan.

Dan saya yang ada berbicara ini, sangat sakit hati dan terpukul. Selalu ingat bagaimana orang tua kita dibodohi karena mungkin tidak sekolah. Mereka ke bawah [ke areal perusahaan] palang dengan palang, tapi pihak perusahaan atau manajer datang, “Sudah Bapa, tak usah”. Mereka kasih tipu dengan uang Rp500.000 atau Rp100.000, palang itu dibuka, aktivitas jalan kembali. UE Saya bersedih kenapa saya punya bapa kepala suku ditipu. Karena bapa tidak punya keadilan yang kuat terhadap dia punya pribadi masing-masing. Mereka cepat sekali ditipu oleh orang. 1 nasi bungkus atau 1 bungkus rokok; cepat

Burung pun Tak Ada Lagi 66

sekali mereka tertarik. Kami anak ini kecewa. Kenapa bapa tidak punya prinsip begitu, supaya bisa menghadapi manajer-manajer, begitu. UB

Kalau seperti sekarang susah, saya tidak bisa dapat apa-apa dari situ. Yang ada hanya bisa menangis. Pertama kali hutan itu dibongkar, belum ditanami kelapa sawit, terlihat sangat indah. Setelah pohonnya ditebang, setelah kita berdiri di dalam, terasa seperti hati ini hancur. Terasa seperti badan ini, kepala ini digunduli botak, hancur semuanya. Hutan sudah tidak ada, semuanya hilang. Kami sebagai orang-orang asli sering jalan di situ, mengeluarkan air mata dengan satu pikiran, “Hutan hancur, percuma, tapi tidak ada hasilnya”

Kami masih tetap ada seperti dulu, sa punya tete moyang hidup di situ, masih harus cari makan, berburu mencari makan. Padahal dengan janji-janji, dengan satu macam janji model berbagai macam datang, “Dengan ini kamu akan hidup sejahtera”. Sejahteranya di mana? Tidak ada. Kami masih tetap seperti ini, tidak ada perubahan. Tolonglah, siapa pun yang melihat, siapa pun yang mendengar, siapa pun yang sama dengan saya, ingin memberikan hutannya untuk kebun rimba atau perkebunan, jangan. Karena, kamu akan merasakan seperti saya hari ini, sangat sangat sedih dengan kehancuran yang sudah terjadi.. UP.

Keterlibatan Pasukan Keamanan dalam Interaksi