• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Hidup Masyarakat Adat Sejak Hadirnya Perusahaan di Distrik Unurum Guay

Masyarakat adat Unurum Guay memanfaatkan hasil hutan sebagai sumber mata pencaharian, dengan menjual kayu dan hasil-hasil kebun. Namun, pemerintah kini mulai melarang penebangan kayu akibat deforestasi yang marak terjadi, termasuk dengan berubahnya hutan adat mereka menjadi perkebunan kelapa sawit. Deforestasi ini membuat sumber pendapatan mereka yang berasal dari hasil hutan menjadi terancam dan bahaya banjir juga menghadang mereka.

Suami saya hanya usaha kayu saja untuk kebutuhan hari-hari. Dia ada 7 sensor, orang dari kampungnya yang datang bantu. Kalau jual kayu, biasa 2 juta sampai 5 juta satu kubik. Bayar premi yang punya kayu 300 ribu 1 kubik.

Sekarang tinggal 5 sensor. Kalo kayu besi 1 ret 20 juta. Kalau banting di tempat 19 atau 18 juta karena pos-pos juga bayar; pos polisi, tentara, kehutanan, biasanya 1 mobil 100 ribu. Jadi, sebenarnya bingung siapa yang untung karena bayar upah angkut 1 juta, belum beli bama [bahan makanan], bayar operator, belum kirim uang sama istri orang yang kerja. Dulu di sini kayu besi semua, sekarang sudah tidak ada, jauh sekali sampai mau dapat kayu besi ke dalam hutan. Umur kayu besi sampe besar lama sekali, sampe 20 tahun barangkali.

Burung pun Tak Ada Lagi 70

Pernah Bupati kasi berhenti ini sensor, tidak tahu kenapa. Sekarang lanjut lagi karena banyak rumah-rumah butuh kayu yang kena banjir lalu itu. UI

Selain karena kebutuhan setempat, penebangan kayu juga masih terjadi di distrik ini karena adanya permintaan perusahaan kepada ondo-ondo kampung.

Kalau warga ya sebagian yang lain sama sekali tidak mau diizinkan. Tapi sekarang tergantung di ondo. Karena perusahaan biasa pakai ondo-ondo, misalnya “Ini kau punya uang saku, jadi kau tandatangani sudah untuk penebangan baru”. Kalau macam dia [perusahaan] ambil semua masyarakat yang punya hak plasma harus tanda tangan berarti kebanyakan tidak [mengizinkan]. UA

Kehadiran perusahaan juga menyebabkan terjadinya penebangan sejumlah pohon endemis yang menjadi sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat adat Kampung Garusa, seperti pohon Matoa.

Seperti sekarang, buah matoa digusur oleh itu alat eksa [excavator] itu, berhamburan kayak apa saja. Masyarakat kan bisa menikmati hasilnya, dijual ke kota biar matoa ini sangat berharga. Biarpun kita kasih naik dengan karung-karung, di sana tinggal kita kasih turun saja pembeli su datang merebut. Tarik dari karung sini, sana. Kalau pisang atau apa itu kita masih ragu. Di sini hasil alam yang bisa laku itu sudah. Kalau kita musim panennya Matoa, biarpun kita bawa keluar di jalan, sebentar saja pembeli su datang, “Mbak jual kah?

Harganya berapa?” Itu yang sedikit merugikan kita, yang bisa selalu kita ini di masyarakat adat kampung ini selalu dipermainkan. UQ

Hilangnya akses masyarakat terhadap tanah adat mereka juga berimplikasi negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat Papua. Hal itu terlihat dari sejumlah testimoni peserta PAR yang menggambarkan penurunan pendapatan yang cukup signifikan dan resiko hilangnya pangan lokal mereka.

[Saya dulu] jual sayur genemo, ambil di hutan. Tapi, karena tanah sudah diambil oleh perusahaan, sekarang tidak jualan sayur genemo. Kalau mata pencaharian hilang, saya akan tetap berkebun. UJ

Sagu bisa habis kalau perusahaan masuk, jadi harus kita lindungi. Kalau kebun masih bisa kita tanam, asal tanahnya jangan dihabiskan perusahaan.

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 71

Orang tua dulu berkebun, tanam sayur gedi, lilin, pisang. Anak zaman sekarang, harap suami saja yang bekerja. UE

Terancamnya akses kepada pangan lokal mengubah gaya hidup masyarakat, termasuk pola konsumsi masyarakat setempat. Pangan pokok berupa sagu sudah tergantikan dengan keberadaan nasi sejak dusun sagu mereka berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Tapi sekarang kita su tra bisa tokok sagu. Su malas, su pengaruh ada jalan besar. Dulu tergantung di sagu saja, sekarang sudah perubahan su makan beras. UO

Hilangnya hutan adat mereka juga membuat masyarakat adat setempat juga kini sulit untuk berburu seperti dulu.

Perbedaannya dengan sekarang tempat berburu susah, kalau untuk bapak saya. Karena dia lebih ke arah pantai, bapak saya kalau berburu. Karena di sana itu tersedia semua jenis binatang, buaya, kalau di bagian gunung tidak mungkin orang dapat buaya karena buaya itu ada di bagian pantai sana. Jadi situ ada macam telaga-telaga kecil to, itu ada buaya di situ. Buaya juga kulitnya juga orang bapak saya ambil, bisa dijual, biasa dijual per ons kah kalau tidak salah. UA

Perusahaan sudah buka kita punya hasil alam banyak. Contoh Natal begini, orang tua kita berburu untuk hari raya seperti ini, tapi sekarang tidak; hutan dibongkar [perusahaan]...harapan saya, kita bisa dapat kembalikan kita pung hutan, dapat kembali utuh-utuh. UE

Masih ada beban yang saya tanggung dalam kampung ini. Seandainya beban ini bagai muatan mungkin saya su roboh. Begitu juga dalam rumah tangga saya, pasti ada tantangan ke depan. Batu ini juga menandakan untuk perusahaan yang selama ini belum adil karena orang tua-tua tidak bisa berburu. UE

Melihat berbagai perubahan hidup ini, bisa disimpulkan bahwa kehadiran perusahaan di Distrik Unurum Guay belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat Oria. Ketidakadilan yang terus dialami masyarakat adat semakin menyadarkan perempuan adat di distrik ini bahwa hidup mereka sangat tergantung pada alam dan bahwa mereka juga punya hak yang sama untuk terlibat dalam mempertahankan tanah adat mereka.

Burung pun Tak Ada Lagi 72

Sepertinya, bapak-bapak dong perusahaan dipanggil untuk pertemuan rapat.

Nah, di situ kenapa seorang perempuan tidak ada punya hak untuk dia berbicara tentang hak adat, selalu laki-laki. Kenapa bisa diinjak, hak perempuan itu?

Apakah mungkin perempuan dia keluar dari marga ke marga lain? .... kenapa bisa dihilangkan [hak kita] oleh kita punya keluarga sendiri? Kalau kita sudah keluar dari kita punya marga ke marga lain karena kita kawin. Itu sering terjadi, apalagi yang kawin ke luar. Sebenarnya yang kawin keluar yang haknya bisa tipis. Kalau yang kawin di kampung sendirinya itu tidak bisa kalau menurut saya, itu tetap kita punya hak ada. Itu sebenarnya saya protes. Harus kita punya hak juga untuk kita membicarakan kita yang punya hak dasar. Itu sering diinjak kita, sebagai perempuan tipis untuk kita bisa bicara kita punya hak adat. Mungkin dengan ini, perempuan bisa ada peluang ke depan. Perempuan punya hak bicara untuk hak dasarnya sendiri. UQ

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 73

Seorang anak 10 tahun bekerja bersama neneknya di perkebunan kelapa sawit.

Foto oleh Albertus Vembrianto, Boven Digeol.

6