• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orde Baru: Otoritas negara, pengerukan sumber daya, dan pembangunan nasional

Rezim Orde Baru Soeharto merupakan antitesis dari kebijakan sosialis termasuk nasionalisasi ekonomi sebagai wujud dari ekonomi berdikari yang dijalankan Sukarno di awal tahun 1960an. Soeharto dengan tangan terbuka menerima kapitalisme sebagai mesin pembangunan ekonomi nasional. Rezim Soeharto ditopang oleh keterlibatan militer secara luas di segala bidang kehidupan sipil

dan K. Robinson, “Land, economic development, social justice and environmental management in Indonesia: the search for the people’s sovereignty” dalam Land and Development in Indonesia:

Searching for the People’s Sovereignty (2016): 1-34.

Titik Awal 33

demi visi pembangunan yang diusungnya, dan digunakan untuk menekan pendapat yang berbeda (sering kali dengan kekerasan), terutama jika pendapat tersebut dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan nasional.

Pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menyatakan bahwa potensi kekayaan alam Indonesia harus dimanfaatkan untuk memperkuat perekonomian dan, karena modal dalam negeri sangat terbatas, peraturan perundang-undangan sangat diperlukan untuk menarik modal asing.2 Selanjutnya, Orde Baru mengesahkan berbagai peraturan dasar, termasuk undang-undang yang mengizinkan penanaman modal asing, dan Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan Pertambangan. Prinsip utama dari dari aturan-aturan ini adalah penegasan bahwa negara mempunyai kewenangan tertinggi yang terpusat atas semua tanah yang “tak bertuan” dan semua sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (baik di atas maupun di bawah tanah), untuk digunakan bagi “kepentingan nasional.” Prinsip dasar dari kewenangan Negara ini, dan pandangan sempit tentang bentang alam yang hanya dinilai sebagai komoditas, menjadi landasan hukum dan filosofis tentang bagaimana bentang alam Indonesia dipandang dan dikelola selama puluhan tahun kemudian.3

Kesepakatan bersejarah Freeport4

Dalam beberapa bulan setelah disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing, perusahaan asal Amerika Serikat PT. Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang memenangkan konsesi dengan pemerintah baru. Freeport

2 Pembahasan tentang Ketetapan MPRS No. XXIII/1966 untuk Memperbarui Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan ditemukan dalam Y. Zakaria, “20 Tahun UU Kehutanan, Bagaimana Kehidupan Masyarakat Adat?,” Mongabay, 11 September 2019, <mongabay.co.id/2019/09/11/20-tahun-uu-kehutanan-bagaimana-kehidupan-masyarakat-adat-1/>.

3 Untuk diskusi mengenai dampak dari pandangan bahwa Negara Indonesia memiliki kewenangan atas hutan, lihat N. Peluso dan P. Vandergeest, “Genealogies of the political forest and customary rights in Indonesia, Malaysia, and Thailand,” Journal of Asian Studies 60 (3), 761-812.

4 Untuk studi historis yang lebih mendetail mengenai Freeport di Indonesia, dengan pemikiran yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi politik yang dinegosiasikan Jakarta dengan Washington, D.C., lihat D. Leith, “Freeport and the Suharto Regime, 1965-1998,” The Contemporary Pacific 14,

Burung pun Tak Ada Lagi 34

menandatangani kontrak 30 tahun untuk menambang Gunung Ertsberg di Kabupaten Mimika, Papua. Tempat ini merupakan salah satu cadangan tembaga terbesar di dunia dan juga situs yang memiliki makna spiritual yang penting bagi orang asli Papua. Kemudian pada tahun 1990an, karena hubungan pribadi dan ekonomi yang dekat dengan Soeharto dan keluarganya, Freeport juga memenangkan kontrak untuk menambang Gunung Grasberg, tempat cadangan emas terbesar di dunia. Penggalian puncak gunung dan pembangunan tambang terbuka di gunung-gunung keramat ini dianggap sebagai sebuah pemenggalan spiritual “ibu bumi”, dan menjadi simbol pelanggaran negara Indonesia dan korporasi asing terhadap orang asli Papua dan khususnya perempuan.5

Selain cadangan mineral yang kaya, tambang Ertsberg juga menjadi tambang tembaga dengan biaya pengerukan terendah di dunia (meskipun biaya pengerukan untuk suap dan ‘pungutan liar’ belum dihitung dalam biaya ini). Karena itu, operasi-operasi Freeport di Papua menjadi portofolio paling berharga yang dimiliki perusahaan ini. Pada saat yang sama, Freeport menjadi sumber pendapatan pajak yang penting bagi pemerintah Indonesia, dan juga menjadi sumber pembayaran tidak resmi kepada Soeharto, para pejabat pemerintah lainnya serta militer. Lokasi tambang dengan dampak lingkungan dan sosial yang parah menyulut perlawanan politik di Papua, yang kemudian ditanggapi pemerintah dengan memperpanjang militerisasi di wilayah tersebut sehingga semakin memperparah siklus kekerasan di sana.6

Hubungan Freeport dengan Orde Baru menjadi sebuah contoh utama dari model “kapitalisme kroni” yang dimiliterisasi ala Soeharto.7 Perusahaan asing membayar mahal untuk mendapat akses pada bahan mentah dengan biaya yang rendah karena tak harus membayar kompensasi kepada masyarakat lokal dan tak harus melakukan upaya perlindungan lingkungan yang berbiaya mahal.

no. 1 (Honolulu: University of Hawai’I Press: Spring 2002): 69-100; <scholarspace.manoa.hawaii.

edu/bitstream/handle/10125/13611/v14n1-69-100.pdf>.

5 A. Feith, 2000. “Strategies of Rule, Strategies of Resistance: Women and The West Papuan Resistance Struggle.” Honors Dissertation, Queensland University. Bab 4, <papuaweb.org/dlib/s123/feith/ba.

pdf>.

6 Human Rights Watch, 2006. “Too High A Price: The Human Rights Cost of the Indonesian Military’s Economic Activities,” <www.hrw.org/reports/2006/indonesia0606/>.

7 M. Vakitiotis, 1998, Indonesian Politics Under Suharto: The Rise and Fall of the New Order. Routledge.

Titik Awal 35

Dengan cara ini, sektor sumber daya alam dan provinsi-provinsi yang kaya akan sumber daya alam menjadi semakin penting bagi keamanan ekonomi dan politik nasional.

Menyusul kesepakatan Freeport, perusahaan asing berlomba-lomba masuk, ingin sekali memenangkan kontrak sumber daya alam untuk ekstraksi bahan mentah seperti mineral, minyak dan gas, dan kayu.8 Beberapa diantaranya adalah Exxon Mobil, yang menandatangani kontrak untuk mengakses cadangan gas alam cair terbesar di dunia yang terletak di Aceh, sebuah konsesi yang sama seperti Freeport, dan kemudian menjadi sumber pertikaian dalam konflik politik berdarah yang terjadi selama puluhan tahun di Aceh.

Undang-undang dan peraturan lain di rejim Orde Baru semakin memperkuat kebijakan sentralisasi atas pengerukan sumber daya alam untuk keuntungan sebesar-besarnya, daripada untuk mendukung pengelolaan atau konservasi yang berkelanjutan ataupun memberikan keuntungan balik kepada masyarakat lokal yang menanggung beban terparah dari pengerukan sumber daya alam itu. Misalnya, kebijakan kehutanan hanya ditujukan untuk menghasilkan kayu, utamanya bagi pasar internasional. Nilai lingkungan dari hutan yang utuh untuk melindungi kualitas air, tanah, udara, atau pemeliharaan keanekaragaman hayati jarang sekali diakui apalagi diprioritaskan oleh Kementerian Kehutanan Orde Baru, dan nilai hutan untuk kesejahteraan masyarakat lokal juga tidak dilihat.

Kawasan hutan primer yang kaya dengan areal yang sangat luas –lebih dari 90% dari total luas lahan di luar Jawa, Madura, dan Bali– ditetapkan sebagai Hutan Negara, meskipun sebagian besarnya berada di bawah hak ulayat masyarakat adat. Konsesi-konsesi kayu, atau kontrak HPH (Hak Pengusahaan Hutan) selama 25 tahun, diberikan kepada perusahaan-perusahaan untuk menebang spesies-spesies berharga ini secara selektif. Setelah spesies ini ditebang, hutan tersebut dianggap “tidak produktif lagi” oleh Kementerian Kehutanan, tanpa menimbang jumlah pohon yang masih tersisa. Izin-izin

8 B. Simpson, Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960–1968 (Stanford: Stanford University Press, 2008), 612–13.

Burung pun Tak Ada Lagi 36

untuk menebang hutan “non-produktif” menjadi dapat dikeluarkan untuk mengubah hutan menjadi perkebunan bubur kertas (pulp) dan kertas atau perkebunan berskala luas, terutama kelapa sawit, kopra, gula, rempah-rempah, atau produk-produk lainnya – tergantung pada permintaan pasar internasional yang menguntungkan.