• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam diskusi-diskusi yang kami lakukan, kami mendapati bahwa perempuan memiliki hak untuk terlibat dalam pengaturan tanah adat mereka, meskipun kami tidak mendapatkan info lebih lanjut tentang bagaimana pembagian hak ini bila dibandingkan dengan laki-laki.

Saya bisa mengatur tanah adat bersama dengan keluarga. Tapi, batu ini berat karena sa punya keluarga tidak bisa untuk mengumpulkan kita semua untuk mengatur sesuatu di tanah kita. RA, ketika ikut dalam metode Batu dan Bunga Sekalipun demikian, pemimpin-pemimpin marga sering kali dengan sengaja tidak melibatkan perempuan dalam proses-proses pengambilan keputusan ini.

Contohnya, kita perempuan ini punya hak untuk berbicara, membela sesuatu.

Tapi, kadangkala kita tidak dipakai, mungkin dirasa belum mampu atau bagaimana, padahal kita juga bisa .... Kita sebagai perempuan ada punya hak-hak tertentu. Kita perempuan ada punya 10 hak pokok yang harus kita juga bisa terlibat dalam pemerintahan dan adat. Biasa selama ini saya perhatikan, untuk mencapai sesuatu itu diatur oleh laki-laki. Perempuan belum terlalu dilibatkan. KJ

Kesengajaan untuk mengesampingkan perempuan juga terlihat di ranah pendidikan. Beberapa peserta bercerita bahwa mereka tidak bisa melanjutkan studi mereka karena tidak mendapat dukungan dari keluarga mereka.

Naik kelas 2 [SMA], guru minta uang SPP tapi trada biaya. Minta tolong kakak, om tidak diberikan. Akhirnya tinggalkan sekolah karena trada biaya. KG [Saya] tamat SMP ke kota masuk SMA, tapi kakak laki-laki tolak saya. Sa disuruh pulang karena ada adek yang lanjut sekolah. Sekarang dia su jadi guru, dia mengajar di sini. [Saya] pulang kampung cari teman lagi di sini, sampe dapat jodoh dan menikah .... Kerja [saya] sekarang di kebun tanam sayur, kasbi, pisang, rica, bawang. KM

Sa lanjut di SMPN Kebar tamat 1984 tapi tidak lanjut lagi. Orang tua tidak biayai sekolah lanjutan. KQ

Kondisi ini sangat kontras dengan kualitas pendidikan di wilayah ini.

Masyarakat di Kebar termasuk salah satu komunitas di Papua yang paling

Burung pun Tak Ada Lagi 128

pertama yang mampu mengecap pendidikan formal tingkat lanjut. Lembah Kebar sudah memiliki sarjana pertama di tahun 1960, yaitu Nikodemus Baru dan Yohanes Kebar. Lembah Kebar juga sudah memiliki SMP Negeri pada tahun 1983, jauh lebih awal dibandingkan wilayah-wilayah lain. Berkat adanya SMP ini, masyarakat tak perlu lagi menyekolahkan anaknya ke Manokwari untuk melanjutkan pendidikan mereka.

Selain pengabaian hak, masalah lain yang dihadapi oleh perempuan adat di Kebar adalah kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa peserta berkisah bahwa mereka mengalami kekerasan dari pasangan mereka karena tidak punya anak, pengaruh alkohol, kondisi keuangan yang sulit, dan masalah kesehatan.

Sewaktu belum punya anak, sa pu suami punya keluarga marah mama. Mama menangis saja, mama tidak balas. KP

Suami sekarang mau kawin, sudah selingkuh selama 4 tahun berjalan. Saya dipukul suami dengan kayu dan parang, dikejar dengan pistol, tapi saya lari.

Ditembak, kena di pohon pinang. Kalau sudah mabuk, dia datang tutup pintu, pasti kita dapat pukul. Makan minum saya yang tanggung jawab. Dia pu gaji tidak tahu kemana .... Saya kerja di kantor, di gereja, sampai di rumah juga harus masak. Dia duduk saja dengan hp, internet sudah ada di rumah. Ke kota alasan urusan dinas, tapi pulang tidak bawa apa-apa. Kalau kita bicara, kita dapat pukul. RG

Sa pu suami ini, mungkin karena alkohol, di rumah tidak aman. Mungkin kalau tidak minum, baik-baik saja. Kalau saya bicara, dia pu adik-adik salah paham. Sa bilang, dong belum menikah. Kalau sudah menikah, baru dong rasa. Biasa kalau saya kerja, tapi dong [suami] tidak kerja. Sa kasih bicara tapi nanti salah paham, jadi sa lebih baik tinggal dengan sa pu mama ade saja .... Sa pernah mendapatkan kekerasan sebelum punya anak. Sa dikunci dalam kamar, sampai saya minta pulang. Ada mobil, saya pulang ke bapa dan mama.

Lewat beberapa bulan, bapa dengan dia pu keluarga datang, minta maaf dengan mama dan bapa, sudah kembali lagi. Tapi, ternyata masih mabuk-mabuk. Dia mabuk-mabuk sama adek-adek dorang. Dong minum minuman lokal ini, enau. Saya mengalami kekerasan kalau dong mabuk. Kalau tidak mabuk, aman-aman saja. KU

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 129

Sa sekolah cuma sampai kelas 5 SD, langsung pacar ikut dan langsung kawin .... Bapa sering minum dulu, tapi waktu anak perempuan sakit, bapa berhenti.

Bapa sering pukul saya. Sampe sekarang sering baku marah karena kebutuhan keluarga. KO

Hidup dalam keluarga rasa tidak nyaman sampai sekarang padahal suami saya tidak pernah minum. Dapat pukul setiap hari, pakai martelo. Ibu ini mengalah saja, tidak melawan, diam saja. Ibu ikuti firman Tuhan, mengalah saja. Paitua [suami] itu pengaruh dari pendengaran. Jadi, dia mungkin salah dengar, jadi dia pukul. Dulu dia waktu kecil, dia dan bapa berkelahi, lalu bapa pukul dia kena telinga jadi begitu. Karena pukulan itu, dia jadi masalah pendengaran. Dia pergi bicara dengan orang, lalu dia tantang orang karena salah dengar. Ada peribahasa bilang air yang tenang, nanti dia meledak tiba-tiba. Jadi, dia begitu bukan karena dia pu pendengaran saja, tapi karena karakter juga. RH

Diskusi-diskusi ini juga mengungkapkan tingginya angka kematian di wilayah ini pada masa lalu. Banyak peserta yang bercerita bahwa ada beberapa anak mereka maupun anggota keluarga mereka yang meninggal mendadak tanpa diketahui penyebab yang pasti hingga saat ini.

Suami saya meninggal pas gerhana matahari tanggal 9 Maret, mungkin karena kena racun kah, tidak tahu. Meninggal tiba-tiba saja. Setelah dia sampai di Sausapor, dia sudah rasa dia pu sakit .... Anak ketiga, laki-laki, meninggal setelah sakit panas 1 hari. Dia meninggal tiba-tiba seperti dia pu bapa. RC Suami saya meninggal tahun 2014, tidak tahu karena apa. Hal yang sama seperti adek yang meninggal tiba-tiba. RA

Sa punya 5 anak tapi semuanya sudah meninggal ketika dalam kandungan. RG [Anak] yang kelima SD, meninggal kena orang jahat tahun 2003. [Anak]

keenam meninggal 2001. Pada 2005 lahir anak bongso, laki-laki. 2 orang meninggal karena miskram. KG

Ada 3 anak yang meninggal saat bayi karena sa kerja banyak di kebun, pikul makanan. Rumah sakit ada tapi jauh. Paitua bantu sama-sama kerja bawa pikul kayu. RB

Burung pun Tak Ada Lagi 130