• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Moi lain yang berperan penting dalam melindungi tanah adat di Sorong adalah SC. Terlepas dari aturan patriarki tentang kepemilikan tanah adat, SC berhasil menjadi pemimpin adat Moi dan berhak untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan tanah adat. Ia juga memperjuangkan hak-hak masyarakat Moi di Kota Sorong yang terpinggirkan akibat perkembangan pesat dan urbanisasi.

“Saya SC dari Suku Moi, tamatan dari Sekolah Tinggi Theologia (STT) Batu Malang. Saat ini aktif sebagai pimpinan Yayasan Kasih Agape Malainsimsa sejak 2017, sebelumnya saya bergabung di Yayasan Doulos Jakarta. Selain itu, aktif juga di Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Malamoi. Saya ditempatkan sebagai awalnya di Biro Perempuan, setelah itu pindah ke Biro Hak Adat, lalu posisi di Sekretariat LMA, dan sekarang sebagai Wakil Ketua LMA. Suku Moi memiliki ulayat dari Kota Sorong sampai ke Sorong Selatan, dan Raja Ampat, termasuk di wilayah utara daerah Tambrauw. Tetapi, karena telah dibentuk kabupaten tersendiri, maka menjadi batas Suku Moi. Seharusnya batas kepemilikan adat tidak dapat dibatasi atau digeser oleh pembagian administrasi pemerintahan, tetapi saat ini sudah berjalan, karena itu sudah bagian dari tatanan adat.

Setelah saya mencari tahu, ternyata ada ketentuan bahwa perempuan juga dapat memperoleh hak milik saat orang tua [bapak] tidak memiliki anak laki-laki, juga saudara laki-laki. Bapak saya punya istri ada 4, istri pertama sampai ketiga tidak punya anak; sampai ke istri keempat barulah dapat saya.

Jadi, pada akhirnya saya harus berjuang dari sisi hukum adat, seperti apa pandangan adat Suku Moi terhadap perempuan. Dan ternyata, saya mendapat

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 161

legitimasi dari hukum adat Suku Moi bahwa untuk mendapat keabsahannya, harus melewati sidang adat di hutan.

Karena ada proses tadi, klaim dari saudara laki-laki itu, dan yang boleh masuk dalam sidang adat itu harus yang telinga berlubang dan hidung berlubang atau orang adat yang pernah sekolah adat [masuk belajar dalam rumah adat – kambik]. Orang-orang itu yang akan proses hal-hal terkait adat, dan waktu kasus saya ini, mereka masuk ke hutan dari jam 10.00 WIT sampai jam 17.00 WIT. Yang ikut dalam penyelesaian itu, kuasa [tua-tua adat] dari dua pihak yang berperkara. Kuasa ini harus sudah pernah mengikuti sekolah adat, dan mereka membahas permasalahan dimulai dari mencari tahu silsilah kami [masing-masing pihak yang berperkara].

Untuk saudara laki-laki ini, dia anak tetapi dalam proses dia [melalui] nikah adat atau tidak .... yang ini [saya] perempuan tetapi lahir dalam nikah adat, gereja. Ternyata laki-laki, dia lahir di luar ketentuan adat. Jadi, putusan adat jatuh ke saya karena walaupun saya perempuan, saya lahir dalam tatanan adat.

Perempuan Moi menjaga hak-hak dasar yang lain adalah menjaga dusun sagu, tetapi di daerah Malanu ini kami punya sagu sudah habis karena sudah banyak perubahan; seperti saya punya dusun, tetapi sudah habis karena berubah menjadi kota saat ini. Dulu untuk menyekolahkan anak-anak, perempuan Moi harus ke dusun ambil sagu dan dibawa ke kota melalui daerah Makbon, tetapi, sekarang dusun itu sudah dijual dan dilakukan pembangunan di sana.

Saya punya tetapi bukan saya yang menjualnya, dijual oleh marga-marga lain.

Tantangan internal kami juga cukup besar, di mana antar marga saling klaim dengan cara melepaskan tanah kepada orang lain.

Karena melihat persoalan kepemilikan tanah adat ini, menjadi sesuatu yang penting untuk mempertahankan adat istiadat Suku Moi. Maka, saya berinisiatif membuat peta tanah adat di Kota Sorong, mengingat Kota Sorong yang sangat majemuk dan perkembangan saat ini, sepertinya orang menganggap orang Moi hampir tidak ada eksistensinya di Kota Sorong. Untuk Kota Sorong ini ada 21 marga, tetapi di daerah pusat kota sendiri ada 7 marga. Saya mulai dengan 7 marga. Dengan mencatat dan membuat tapal batas, sudah jadi peta tapal batas 7 marga di Kota Sorong, yang ditandatangani oleh perwakilan 7 marga.

Burung pun Tak Ada Lagi 162

Masalah tanah milik saya yang dijual oleh marga lain disebabkan karena faktor ekonomi, akibatnya dusun sagu habis. Padahal dulu, tebang pohon sagu tokok, isi dalam tumang, bawa ke pasar dan dijual untuk beli ikan dan beras. Tetapi, sekarang sudah tidak; sagu sudah tidak ada, tidak tahu bikin kebun. Akhirnya, karena Kota Sorong sudah maju, orang datang cari tanah tidak mungkin tinggal di langit, atau antara langit dan bumi, pasti tinggal di atas tanah. Lokasi tersisa ada tempat kecil yang masih terdapat beberapa pohon sagu yang tersisa.

Kata kuncinya adalah bahwa dusun habis, tanah yang kami orang Moi punya lama-lama habis. Siapa yang jual? Saudara-saudara lain yang jual. Saya datang dan melihat semua itu, lakukan upaya untuk menyelamatkan tanah ulayat, bahkan nyawa saya juga terancam oleh aparat, gunakan baju hitam bawa senjata. Tetapi, akhirnya peta tapal batas untuk 7 marga Kota Sorong sudah selesai dan telah ditandatangani di depan notaris oleh 7 marga. 7 marga diantaranya Malibela Klawalu, Kalagison Milo/Kalagison Kabandulu, Mobalus dan Kalawaisa, Osok Malaimsimsa, Kalami Kalagus, Bewela, Malaseme Klaibin. Marga sekitar adalah Malaseme Klaum, Malibela Klaifi, Malibela Ginala, dan marga-marga lain.

Setelah saya dorong untuk 7 marga ini, saya juga dorong untuk marga-marga orang Moi lainnya karena marga-marga ini harus tahu sejarah, dan cerita sejarah orang Moi ini harus punya satu dokumen. Jadi, saya lanjutkan untuk 13 marga, dan waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan peta tapal batas 7 marga dan 13 marga ini 1 tahun 4 bulan. Setelah jadi, kami bawa ke pemerintah daerah agar diketahui dan diterima sebagai dasar dari masyarakat adat. Kami tidak pakai peta pemerintah; ini peta tapal batas kami masyarakat adat.

Menurut saya bangsa yang dapat bertahan adalah mereka yang menjaga tanahnya, dan itu tanda kita mengucap syukur kepada Tuhan. Orang yang punya masalah dengan batas tanah, biasanya mereka akan datang bertanya dan saya dapat menjawab karena saya sudah tahu tapal batas tanah adat.

Jadi, saya hanya menyampaikan agar mereka bertemu dengan marga tertentu yang merupakan pemilik dari lokasi tersebut.”

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 163