• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterlibatan Pasukan Keamanan dalam Interaksi Perusahaan dengan Masyarakat Adat

Pelibatan pasukan keamanan, terutama militer, dalam proses konversi lahan merupakan hal yang lumrah di Indonesia, khususnya di Papua. Dalam proses penelitian ini, kami mendapati bahwa perusahaan biasanya melibatkan pasukan keamanan ketika berhadapan dengan masyarakat adat setempat, terutama ketika masyarakat adat menuntut agar perusahaan segera menepati janji-janjinya.

Perjanjian yang dibuat oleh perusahaan dengan masyarakat adat belum direalisasikan. Masyarakat dan ondoafi menuntut realisasi perjanjian yang pernah disepakati. Mereka mengalami ancaman dari pihak keamanan. UP Biasa perusahaan undang [tentara] karena mereka tahu kalau masyarakat bicara itu, kadang bisa suara-suara, nada-nada yang tinggi-tinggi begitu, kasih singgung pimpinan-pimpinan dari perusahaan juga. Ada ondo-ondo yang

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 67

suaranya pokoknya tidak mau tahu, apa yang mau bicara di depan, lepas bicara. Mau tersinggung kah, tidak kah, mau langsung tunjuk kah. Itu ada salah satu ondo di sini Bapak ondo Matias Manoa. Orangnya tidak pandang enteng. Apa yang dia mau bicara, dia bicara. Dia mau bilang tipu-tipu saja di depan manajer, tetap dia bicara. UE

Berdasarkan informasi dari salah satu peserta, Kopassus juga sering dilibatkan dalam rapat-rapat perusahaan dengan masyarakat lokal. Kopassus hadir memberikan sinyal ancaman kepada warga yang menolak kehadiran perusahaan di tanah adat mereka.

Ada polisi, Koramil, bahkan ada Kopassus. Mereka biasa hadir. Jadi, macam kita ditakut-takuti. Mereka tidak mau bicara dong punya apa yang ada di dalam hati. Mama-mama juga tidak berani bicara dari situ karena dorang [mereka] lihat. UE.

Tak hanya untuk meredam penolakan warga setempat atas kehadiran perkebunan kelapa sawit, perusahaan juga melibatkan pasukan keamanan ketika merespons keluhan-keluhan masyarakat adat yang berkaitan dengan pekerjaan mereka sebagai buruh perkebunan.

[Kami] belum bebas dari kekerasan di dalam keluarga maupun di dalam perusahaan. Misalnya, macam ada rapat dari perusahaan, ada pengawalan Kopassus. Macam ada karyawan yang mengeluh dia pung gaji, manajer telepon polisi; polisi datang. UG

Kehadiran pasukan keamanan ini membuat posisi masyarakat adat terjepit.

Mereka tak bisa bebas menyuarakan hak mereka untuk mendapatkan ganti rugi atas tanah adat mereka yang diambil perusahaan. Sementara di sisi lain, mereka juga tak bisa dengan aman menyampaikan keluhan mereka atas pekerjaan yang mereka lakukan di perkebunan kelapa sawit.

Banyak sekali terjadi kekerasan di sini ... di sana [perusahaan], kalau ada masalah, bawa polisi. Ondo-ondo selalu berurusan dengan polisi. Kalau ondo marah-marah terhadap plasma, mereka dilapor ke polisi. Kita yang punya hak, tapi tidak bisa menuntut; tidak merasa bebas menuntut. Kita diancam dengan polisi. Maka itu warga plasma sekarang tidak bisa bertindak karena kalau berpikir buat palang ke sana, pasti kita berurusan dengan polisi. UP

Burung pun Tak Ada Lagi 68

Warisan Sejarah Kekerasan di Unurum Guay

Seperti banyak wilayah lain di Papua, Unurum Guay memiliki catatan sejarah yang kelam. Antara 1984-93, ada operasi militer Indonesia aktif di kawasan Pantai Timur dekat Unurum Guay, diantara Distrik Bonggo dan Sarmi. Operasi ini berhubungan dengan beberapa insiden kekerasan yang terjadi di Jayapura.

Insiden pertama adalah pembunuhan tokoh budaya, antropolog, dan penyiar populer Papua Arnold Clemen Ap pada tahun 1984. Pada tahun 1983, Ap ditangkap, dipenjara, dan disiksa oleh Kopassus karena dituduh sebagai simpatisan Gerakan Papua Merdeka.11 Perayaan budaya dan musik Papua yang dilakukan Ap dianggap menentang upaya pemerintah Indonesia untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat Papua. Selama proses PAR, sejumlah perempuan dari Unurum Guay membenarkan bahwa pembunuhan Ap membuat orang menjadi takut dan mengungsi dari wilayah tersebut. Mereka bersama-sama berbagi cerita terkait peristiwa yang terjadi selama periode operasi khusus itu.

Tahun 1961, Indonesia masuk [Papua] pertama kali ... tahun 1962, penjajahan oleh militer Belanda terhadap masyarakat. Masyarakat melakukan perlawanan balik, membunuh 3 orang: 1 polisi orang Genyem, 1 polisi orang Keerom, 1 orang Belanda. Tahun ‘70-80 terjadi operasi militer. Masyarakat lari ke hutan. Hobni Maware telinganya dipotong. Tahun 1977, Sadrak Maware, Piter Birom, Yakobus Bargwe, mereka dibunuh oleh TNI. Tahun 1969 Papua minta merdeka; mereka dituduh ikut dalam perjuangan. Tahun

‘78-79 ada pembinaan, ada pembangunan rumah di Kampung Unurum Guay dari Banpres: bama [bahan makanan], alat dapur sekop, parang.

Tahun 1970-1980, perempuan mengalami kekerasan seksual oleh militer.12 Insiden kedua terjadi terkait pengejaran militer terhadap mantan anggota Kompi 171 Brimob Papua, Eliezer Awom. Awom membelot pada tahun 1983 dan memimpin pasukan OPM selama lima tahun. Antara 1985 dan 1986, beberapa desa di kawasan Pantai Timur dibakar oleh pasukan operasi khusus sebagai peringatan untuk Awom dan anggota OPM lain agar segera menyerah.

11 “Catatan Kelam: Operasi Militer Disertai Penyiksaan dan Kekerasan Seksual di Jayapura” Suara Papua, 17 March 2020.

12 Taken from PAR timeline.

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 69

Sebelum pembakaran dimulai, warga desa diperingatkan oleh OPM untuk mengungsi ke hutan.

Iya, tapi lupa tahun [masa DOM]. Waktu itu kita masih nona, saya pung bapa dong tentara bunuh di Kampung Kapcao, Kabupaten Sarmi. Bapa dibilang gerombolan. Bapa dia lari ke kampung tua sana, baru dong [mereka] panggil dia. Dari situ, malam dong buang surat di depan pos. Bapa saya ini tidak tahu baca toh, orang Biak yang tulis surat. Malam baru dong tangkap dia. Dong bawa ke pohon-pohon kelapa. Dong bunuh dia pake pistol kah. Tapi, ada sa pung tanta di Kapcao, dong ketemu dia di situ. Dia bisik, tentara dong so bunuh bapa. Tentara ada bajaga di situ ... katong [kita] tinggal di Kapcao menderita, hanya makan-makan bia saja. Bosan rebus, bakar. Bapa dong kubur dia di sana, ujar UK.

Perubahan Hidup Masyarakat Adat Sejak Hadirnya