• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, proses ‘sosialisasi’ dilakukan oleh MG melalui anak perusahaan PT. MJR. Lebih dari 180 orang dari Suku Afu, Woboi dan Hobuang menghadiri acara ini. Perwakilan perusahaan menyampaikan kepada warga Kampung Meto bahwa mereka akan membuka lahan seluas 40 hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Selama proses ini, perwakilan dari perusahaan membagikan babi, bahan makanan dan amplop uang yang dianggap sebagai uang tali asih. Mereka kemudian membagikan selembar kertas dan meminta tanda tangan masyarakat. Beberapa bulan kemudian, masyarakat baru menyadari bahwa kertas yang mereka tanda tangani adalah surat penyerahan tanah adat mereka kepada perusahaan.

Karena merasa dibohongi, warga setempat menolak kedatangan perusahaan dengan alasan perusahaan belum menyediakan sekolah atau fasilitas kesehatan.

Pada tahun 2017, Gubernur mencabut izin perusahaan ini dan memberikannya kepada PT. PDS dan PT. PDA; keduanya adalah anak perusahaan milik salah satu pimpinan partai. Pada 24 Agustus 2017, tanah dari enam marga yang berbeda dipindahkan ke perusahaan Korea, yang namanya masih belum diketahui oleh peserta penelitian. Kawasan yang dialihkan ke perusahaan ini adalah kawasan lindung Taman Nasional Wasur dan dikategorikan sebagai

‘Hutan Industri’ (HTI). Namun, ada kekhawatiran bahwa lahan tersebut akan dijadikan perkebunan sawit.

Berdasarkan temuan lapangan, jelas bahwa perusahaan-perusahaan yang ada di wilayah Boven Digoel ini memulai operasinya dengan menjanjikan standar hidup yang lebih tinggi kepada masyarakat setempat sambil membagikan

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 83

sembako. Namun, janji akan taraf hidup yang lebih baik ini jarang dipenuhi dan pembagian awal sembako akhirnya berhenti juga.

Jadi, perusahaan itu janji-janji kita, apalagi kita yang pemilik. Dia janji kita itu nanti punya rumah, air bersih, terus nanti ada jaminan setiap bulan, begitu.

Jadi kita ini pikir betul, jadi kita iya-iya. Baru kita mulai lihat ke depan ini, macam bama itu, dia sudah kasih 15 kg. Ada gula, kopi, teh, tapi di situ itu dia mulai mengurangi...Perusahaan janji kita rumah, sampai hari ini cuma janji di atas janji, belum terjawab sampai hari ini. Terus dari air bersih juga, perusahaan janji kita juga tidak ada. BC

Jadi perusahaan ini banyak tipu kita. Jadi orang tua kita bawa, dorang jalan itu. Di atas itu ada tulisan orang tua kita tidak baca baik-baik. Dorang tutup tulisan di atas, di bawah ini orang tua tanda-tanda tangan saja, dorang tidak tahu apa isi di atas sini. Jadi perusahaan hanya tipu-tipu kita saja begitu.

Dibuat kasih bama [bahan makanan] yang seperti kemarin mama BC bicara.

Bama itu beras 15 kg, susu cuma satu kaleng saja. Itu kita mau menjamin kebutuhan dalam keluarga model susu yang satu kaleng bagaimana? Dengan gula satu kilo, dengan daun teh itu satu dos yang teh Sariwangi, dan Supermie biasa dong kasih itu satu karton. Itu saja. BA

Perusahaan juga menjanjikan bantuan pendidikan bagi anak-anak masyarakat setempat. Namun, peserta mengungkapkan bahwa pemberian bantuan ini bersifat diskriminatif karena hanya ditujukan bagi anak laki-laki saja. Tak hanya itu, perusahaan juga menerapkan denda bila anak yang dibantu tidak mampu menyelesaikan studinya.

Dia [perusahaan] kasih uang, beasiswa untuk anak-anak. Anak mama juga dapat. Jalan lagi, sedikit lagi dia kasih cerai. Dia panggil kumpulkan kita, bilang hari ini perempuan tidak punya hak, anak dari perempuan juga tidak punya hak. Semua diputus. Terus, ada datang lagi bantuan dari perusahaan.

Dia bilang ada bantuan kuliah. Jadi anak mama ini masuk, pigi [pergi] daftar di Kodim. Saat mereka berangkat mama antar ke sana, kita semua duduk dalam ruangan sampai selesai. Mama tidak lihat itu, mama tidak baca, padahal ada dalam itu ditulis kalau anak putus sekolah, orang tua harus bayar 40 juta.

Padahal mama pikir ini perusahaan ada hutang sama mama, tapi mama tidak tuntut ... Jadi perusahaan itu pertama kita kira dia baik, tapi ternyata belakangan

Burung pun Tak Ada Lagi 84

baru kita tahu tidak baik. Jadi kita perempuan ini sudah tidak punya hak, kecuali lak-laki baru ada. BC

Itu dari perusahaan, diputus beasiswa anak sekolah, dari perempuan bilang jangan. Jangan kasih bantuan kepada perempuan punya anak-anak, cuma laki-laki saja. Tapi diambil itu laki-laki itu punya anak dua tiga tidak, diambil satu saja ....Tidak ada keadilan karena perempuan tidak dapat beasiswa. Anak dari perempuan tidak dapat beasiswa, anak dari laki-laki saja yang diakui. BA Perusahaan tidak pake kita. Pergi minta beasiswa, bama [bahan makanan], mereka bilang kita perempuan ini tidak ada hak. Tapi, pemerintah dorang kasih kita punya hak sebagai kader. Anggap saja pemerintah kasih ini sedikit-sedikit. Jadi, pemerintah saya tidak persalahkan. Yang saya persalahkan itu perusahaan. BL

Praktik umum lainnya dalam hubungan perusahaan-masyarakat adat adalah pembagian uang. Meskipun uang tali asih adalah hal biasa selama tahap awal sosialisasi, PT. KG dan MG Group sering membagi-bagikan uang kepada marga-marga yang tanahnya ingin mereka pakai. Ketika PT. MJR mulai membuka lahan di Boven Digoel, mereka memberi kurang dari 400.000 rupiah kepada Marga Yame. Dalam proses pembagian uang ini, banyak anggota masyarakat adat yang dikucilkan, terutama perempuan. Pada tahun 2012, PT.

BCA memberikan 10 juta rupiah kepada Marga Tomba sebagai imbalan atas tanah adat mereka. Seperti dijelaskan BA, jumlah tersebut kemudian dibagi-bagi di antara anggota marga.

Bapak saya waktu itu kasih uang itu cuma 500 ribu, “Aduh Bapak, ini uang 500 ribu kita mau pakai apa?”. Menyesal kalau kita punya tanah besar sudah habis. BA

Proses mendapatkan uang yang dibagikan perusahaan ini juga menyebabkan penderitaan lebih lanjut,

Kita pergi, dong [perusahaan] langsung buat itu langsung dengan ATM begitu.

Kita pergi mau ambil itu, kita biasa kan buka dulu toh, baru lihat nilai uang.

100 [ribu] saja atau 200 [ribu]. Biasakan 100 jaga buku, 100 kita ambil, begitu saja. Kita mau bagaimana? Sedangkan tiket [ongkos transportasi] dari sini naik ini, PP itu 100 ribu. Kita bayar tiket, kita pulang kosong. BA

Mendengarkan Suara Perempuan Adat 85

Sebelum memulai operasi mereka, harus digarisbawahi bahwa keberadaan industri ekstraktif di Boven Digoel didukung oleh aliansi kekuatan negara dan korporasi. Dalam 20 tahun terakhir, sejumlah laporan mengungkapkan pemanfaatan kekuatan militer oleh PT. KG. Pada tahun 2004, terungkap bahwa PT. KG membuat beberapa kesepakatan ‘keamanan’ baik formal dan informal dengan militer.

Selanjutnya, laporan tahun 2009 menunjukkan bahwa PT. KG memiliki 12 pos militer di dalam wilayah konsesinya di Boven Digoel.

Masyarakat tidak tahu itu hutan dibongkar itu, mau pergi bertindak bagaimana, tidak bisa karena di belakang itu ada aparat. Di depan ada perusahaan, di belakang ada brimob. Aparat ancam, intimidasi; tidak usah tanya, disuruh ikuti saja. BA