• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

ABSTRAK

Penelitian ini berorientasi kepada pembahasan atas konstruksi nilai normatif syariah yang terdapat pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 105 dari aspek pengakuan dan pengukuran transaksi kerjasamanya. Metodologi yang diterapkan pada penelitian kualitatif ini adalah ilmu sosial profetik. Prinsip filosofis yang diturunkan dari metodologi tersebut adalah nilai humanis emansipatoris, transendental dan teleologikal. Supaya dapat lebih dekat dengan unsur teknisnya, masing-masing prinsip filosofis tersebut diturunkan menjadi konsep dasar instrumental, socio-economic, critical, justice, all inclusive, rational-intuitif, ethical dan holistic welfare. Hasil penelitian ini dapat terlihat dari transformasi nilai syariah dalam PSAK 105 yang meletakkan standar ukurannya pada sebuah keseimbangan atas keberadaan nilai normatif dengan unsur teknis dalam pengakuan dan pengukuran transaksinya. Berdasarkan prinsip filosofis humanis, PSAK 105 masih belum sepenuhnya memiliki keseimbangan nilai karena nilai kebersamaan dalam kerjasamanya masih tereduksi oleh proses bagi hasil yang berbeda. Prinsip filosofis emansipatoris dalam PSAK 105 masih menemukan adanya proses bagi hasil yang belum seimbang dengan bagi rugi yang dapat meruduksi nilai keadilan, karena lebih cenderung pada materi. Prinsip filosofis transendental melihat konstruksi keilmuan yang mendasari PSAK 105 cenderung besifat rekonstruktif dari akuntansi konvensional yang empirik, dan belum diimbangi dengan aplikasi aspek non empirik. Sedangkan prinsip filosofis teleologikal memandang akuntabilitas yang terjadi atas kerjasama dalam PSAK 105 lebih dominan pada aspek hubungan antar manusia, dan belum seimbang dengan pertanggungjawabannya sebagai hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kata Kunci : Tranformasi, humanis, emansipatoris, transendental, teleologikal

PENDAHULUAN

Munculnya kesadaran umat atas

transaksiyang tidak lagi sekedar berorientasi profit secara materi, menyebabkan adanya pergeseran paradigma dalam bertransaksi. Sehingga menyebabkan para pelaku bisnis perbankan kemudian menyesuaikan prinsip-

prinsip operasional perbankan dengan

membuka divisi syariah. Adanya bank syariah, tidak berarti serta merta terjadi pergeseran sosial dalam masyarakat secara cepat dalam mengubah karakter transaksinya. Tetapi merupakan proses panjang yang dilakukan individu maupun institusional dalam proses

transformasi menuju kesadaran fiqih

muamalahnya.

Perkembangan konsep syariah

berikutnya tentu masih membutuhkan

dukungan dari banyak pihak. Karena

keberadaan lembaga perbankan syariah yang ada msih membutuhkan seperangkat aturan, kebijakan dan sistem yang baku. Semua perangkat tersebut bersumber dari dari dua pihak yang berbeda namun harus bersinergi. Pertama, adalah pemerintah sebagai pihak yang berwenang secara legalitas hukum formalnya. Sedangkan yang kedua adalah pelaku transaksinya yang harus konsisten

menjaga keberlangsungan prinsip

kemanusiaan dalam mengembangkan nilai’ syariah menuju pada fitrah dirinya’ yang

sesuai dengan ajaran normatif dalam Al

Qur’an dan Al Hadist.

Pemerintah memberikan dukungan

dengan diterbitkannya Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang salah satu bagian di dalamnya berhubungan dengan prinsip bagi hasil. UU ini masih belum sepenuhnya dapat digunakan sebagai dasar acuan. Karena ada beberapa kerancuan, seperti banyaknya jenis jasa bank syariah yang tidak dapat dilakukan oleh ban

konvensional, dilarangnya bank umum

melakukan penyertaan modal kecuali pada unit usaha keuangan, dilarangnya bank konvensional dalam transaksi jual beli barang, dan sebagainya. Keterbatasan dari ketentuan pemerintah tersebut kemudian disikapi positif oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dengan mengupayakan membuat standar khusus

tentang akuntansi berdasarkan prinsip

syariah untuk mengatur penyajian laporan keuangan bank syariah. Harapannya adalah munculnya transaksi yang berbeda antara bank konvensional dengan bank syariah. Hal tersebut sejalan dengan pemahaman system ekonomi Islam yang tidak mengedepankan

output, tetapi lebih mengutamakan proses yang ada secara berkesinambungan, mulai dari input, process, output. (Yusanto dan Wijayakusuma 2002, 17-24).

IAI kemudian mengesahkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 59 sebagai wujud komitmennya dalam

memberikan kontribusi terhadap

perkembangan akuntansi syariah. Dengan

disahkannya PSAK’59, maka lembaga-lembaga

keuangan syariah wajib menjalankan

operasionalisasinya berdasarkan PSAK’59 tersebut. Tetapi di dalam penerapan PSAK’59

juga masih terdapat kelemahan mendasar yang bersumber dari kebijakan teknisnya. Beberapa diantaranya adalah pada tahapan perlakukan akuntansi mengenai pengakuan dan pengukuran. Sebagai contoh, munculnya perbedaan pemahaman terhadap pengakuan pendapatan pada transaksi bank syariah,

yaitu pembiayaan profit sharing

(mudharabah). Masih terdapat perbedaan penafsiran dalam pengakuannya, antara menggunakan accrual basis atau cash basis.

Selain itu juga disebabkan oleh kompleknya system transaksi yang terus berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dapat menjadi faktor pengganggu atas konsistensi nilai syariah di dalam akuntansi. Sebenarnya hal tersebut tidaklah berlebihan, mengingat akuntansi syariah

memang dikembangankan berdasarkan

akuntansi kapitalis (Triyuwono, 2001,

Harahap, 2001 dan 2003).

Triyuwono (2002c), melakukan kajian

PSAK’59 dengan melihat konsep teori yang

dijadikan pijakan dalam pengembangannya. Berdasarkan kajian yang dilakukan, ternyata

konsep teori yang membentuk PSAK’59 masih

mengedepankan unsur-unsur teori

kapitalisme. Hal itu terlihat dari aspek dasar teori yang masih memakai teori entitas (entity theory). Konsep entity theorymerupakan pengakuan atas kepemilikan yang dianut oleh prinsip kapitalisme. Harahap (2001, 2003)

juga melakukan kajian atas PSAK’59 dengan

temuan yang sama, yaitu adanya entity theory

dalam konsep kepemilikan dan distribusi

income. Ratmono (2004), melihat PSAK’59

dari konsep pengungkapan. Hasil analisisnya

menjelaskan bahwa ; 1) konsep

masih terbatas pada direct stakeholders dan belum terakomodasinya item item yang mengarah pada sosial lingkungan. 2) perlu adanya dekonstruksi atas PSAK ’59 supaya sifat syariah yang ada di dalamnya tidak terbatas pada persoalan materi (informasi), tetapi juga memiliki sifat akuntabilitas. Akuntansi syariah semestinya dikembangkan menjadi konsep hidup, sosial, ekonomi, dan akhirnya masuk dalam konsep bisnis dan akuntansi secara nyata. Triyuwono (2003),

menjelaskan bahwa untuk melakukan

pembenahan diperlukan pikiran yang bersifat

breakthrough dalam mengubah akuntansi menjadi lebih humanis dan emansipatoris.

Pandangan singkat yang dilakukan Triyuwono (2003) tersebut mengantarkan kita pada suatu perenungan atas proses pengembangan ilmu. Pada prinsipnya ilmu diciptakan untuk digunakan oleh manusia sebagai makluk sosial yang hidup di alam. Oleh karena itu, manusia semestinya harus peka terhadap hukum-hukum alam. Merujuk pada teori Imanuel Kant dalam Salim (2001), manusia memiliki dua dunia sekaligus, yaitu fenomena dan noumena. Fenomena diartikan sebagai keterkaitan manusia dengan hukum alam. Sedangkan dalam kontek noumena, manusia memiliki jiwa yang bersifat free will.

Walaupun manusia dikendalikan dan

dikonseptualisasikan sebagai makluk pasif karena di dorong dan dibentuk oleh kekuatan di luar kendalinya (lingkungan makro dan mikro), tetapi manusia juga bisa sebagai makluk aktif kerena kemampuannya dalam melaksanakan fungsi kontrol, membentuk dan bertindak secara bebas (Salim, 2001).

Berdasarkan konseptualisasi tersebut

tentunya kita tidak bisa mensikapi

perkembangan dunia hanya berdasarkan lingkungan yang membentuknya saja, tetapi

harus diseimbangkan dengan nilai-nilai

kodrati manusia pada posisi yang semestinya. Kodrat manusia menurut Islam adalah sebagai seorang khalifatullah fil ardh. Artinya, adanya manusia karena memiliki tugas sebagai seorang pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan

masyarakat dengan alam semesta.

Transformasi nilai-nilai Islam dalam tataran kehidupan masyarakat sebagai makluk sosial menjadi sangat penting dan relevan untuk menjadi bukti Islam sebagai rahmatan lil alamin.(Afifudin, 2004).

Penjelasan tersebut menunjukkan persoalan pada ilmu sosial (ekonomi dan akuntansi) yang semestinya juga mampu menjembatani persoalan tersebut di atas dengan menitik beratkan pada sinergi

beberapa nilai-nilai dasarnya. Dalam

pandangan Islam, nilai-nilai dasar yang dimaksud adalah ajaran dalam Al Qur’an dan Al Hadist. Sedangkan sinerginya adalah dengan praktek di dunia ekonomi dan akuntansi. Sehingga dalam hubungan kedua elemen tersebut, harus dibentuk sebuah

jembatan” yang mampu menghubungkan

antara perintah normatif dengan praktek di dunia secara riil. Proses transformasi tersebut harus selalu terjadi supaya ilmu sosial yang ada tidak terjerumus kepada arah yang salah.

Dalam kaitannya dengan

transformasi ilmu sosial, Kuntowijoyo (1998) menawarkan konsep Ilmu Sosial Profetik. Ilmu sosial profetik menurut Kuntowijoyo

( 998) merupakan manifestasi dari Al Qur’an

pada surat Ali Imran ayat 110 dan Al Baqarah 282. Adapun nilai yang tergambar dalam ilmu

sosial profetik ada empat hal pokok, yaitu;

humanis, emansipatoris, transendental dan

teleologikal.

Penelitian ini bermaksud untuk

melakukan sinergi berfikir dalam upaya mengembangkan pendekatan pengakuan dan pengukuran prinsip bagi hasil pada transaksi mudharabah. Transaksi ini sudah diatur

secara teknis di dalam PSAK’59. Akan tetapi

karena adanya beberapa permasalahan

mendasar pada parakteknya, maka penulis bermaksud untuk melihat pengakuan dan pengukuran prinsip bagi hasil dengan

menggunakan PSAK’ 05. Supaya proses

penerapannya lebih mendasar dan sesuai

dengan fitrah diri” manusia, maka dilakukan

proses transformatif antara kontek riil pada ranah praktek akuntansi mudharabah dalam

PSAK’ 05, dengan dimansi kodrat manusia

sebagai seoarang khalifatullah fil ardh.

Transformasi sosial tersebut dilakukan

dengan konsep Ilmu Sosial Profetik.

TINJAUAN TEORITIS