• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model ini mengasumsikan bahwa perusahaan cenderung mempertimbang kan risiko dalam hal pendanaan. Menurut Myers

(1984) dan Myers and Majluf (1984), dalam

pecking order theory:

1. Perusahaan cenderung memilih sumber

pendanaan internal terlebih dulu.

2. Perusahaan akan menyesuaikan target

dividend payout terhadap investment opportunity.

3. Kebijakan dividen bersifat sticky, di mana

fluktuasi profitabilitas danpeluang

investasi berdampak pada aliran kas internal dapat lebih besaratau lebih kecil dari pengeluaran investasi.

4. Bila external financing dibutuhkan,

perusahaan akan lebih memilih sumber dana hutang yang dinilai lebih aman dan

penerbitan ekuitassebagai alternatif

terakhir.

Trade-Off Theory

Teori ini mengasumsikan bahwa

struktur modal perusahaan merupakan

keseimbangan antara keuntungan

penggunaan hutang dengan biaya

kebangkrutan dan biaya agensi (Myers, 1984). Penggunaan hutang di samping mempunyai kelemahan, juga memiliki beberapa manfaat bagi perusahaan (Brigham, 1999: 110):

1. Adanya biaya bunga yang mengurangi

penghasilan kena pajak sehinggabiaya hutang menjadi lebih rendah.

2. Kreditur hanya mendapat biaya bunga

yang bersifat relatif tetap,

kelebihankeuntungan akan menjadi klaim bagi pemilik perusahaan.

3. Bondholder tidak memiliki suara sehingga pemilik perusahaan dapatmenjalankan perusahaan tanpa intervensi bondholder.

METODE PENELITIAN

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer

diperoleh dari pengamatan langsung,

wawancara dengan para pedagang di alun- alun kota Ponorogo.

Penggalian data dan informasi menggunakan teknik wawancara secara langsung yang dipandu dengan kuesioner dan metode penentukan responden menggunakan metode purposive sampling. Adapun jugment yang digunakan adalah ; 1) pedagang yang berjualan di alun-alun kota Ponorogo mulai sore sampai dengan malam hari 2) Pedagang yang lama berjualan lebih dari lima tahun 3) pedagang yang omzet penjualannya kurang

dari Rp 10 juta.Guna mendukung data

tersebut, makasample atau informan dalam penelitian ini sebanyak dua puluh (20) pedagang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pedagang di alun-alun Kota Ponorogo merupakan salah satu jenis usaha yang termasuk dalam golongan sektor informal pedagang kaki lima. Sesuai dengan pendapat Kartini Kartono dkk. (1980), pedagang

warung kakilima mempunyai ciri dan

karakteristik antara lain: a) Mereka umumnya menjajakan barang dagangannya dengan gelaran tikar di pinggir jalan yang dianggap strategis; b) Mereka menjajakan makanan, minuman, dan jajanan serta barang konsumsi lainnya; c) Mereka bermodal kecil, khususnya pada saat memulai usaha tidak membutuhkan modal yang besar; d) Kualitas makanan, minuman dan jajanan yang disajikan tidak ada standartnya; e) Mereka umumnya merupakan

anggota keluarga membantu usaha tersebut; f) Mereka menjalankan usaha mulai sore hari

sampai tengah malam namun tidak

menunjukkan pola yang tetap, yaitu kadang- kadang libur jika kondisi cuaca tidak mendukung; dan g) Mereka mempunyai jiwa entrepreneurship yang kuat, walaupun saling meniru usaha pedagang lain mereka tetap

mampu bertahan dalam menghadapi

persaingan usaha yang semakin ketat. Sesuai dengan pendapat dari Mulyanto (2007), pedagang kakilima dapat digolongkan sebagai bentuk wirausaha karena mulai perencanaan membuka usaha, pengadaan kelengkapan dan kebutuhan usaha, menjalankan usaha, sampai dengan mengontrol dan mengendalikan usaha dilakukan secara mandiri. Selain itu, sesuai

dengan pandangan Bromley (Mulyanto,

2007), semakin menjamurnya pedagang kakilima merupakan proses migrasi dari

daerah pedesaan ke perkotaan, yaitu

ditunjukkan dari adanya pedagang kakilima

yang berasal dari luar kota

Ponorogo. Kehadiran pedagang kakilima di alun-alun kota Ponorogo sebagai akibat dari situasi pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi di kota. Mereka memasuki usaha ini, pada

mulanya bertujuan untuk mencari

kesempatan kerja dan menciptakan

pendapatan namun secara bertahap usaha mereka bisa berkembang dan menjadi usaha berskala menengah bahkan diharapkan bisa berskala usaha besar. Ada 3 fenomena penting yang perlu disikapi sedang terjadi dalam ketenagakerjaan pada berbagai kota di negara yang sedang berkembang (Asis 2014) yaitu : (1) Kecenderungan semakin meningkatnya peranan usaha sektor informal dalam ketenagakerjaan dan mampu memberikan

pendapatan bagi pelakunya.(2)

Kecenderungan fleksibelnya sektor informal

dalam pemberdayaan pada dasarnya

merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi dan polotik yang merangkum nilai- nilai sosial, menerima tenaga kerja dari berbagai latar belakang yang berbeda (jenis

kelamin, umur, pendidikan,

ketrampilan/keahlian dan modal ); dan (3) Adanya peluang sektor informal untuk berkembang atau produktif sama seperti sektor formal. Pedagang kakilima di alun-alun kota Ponorogo rata-rata membuka usahanya mulai sore hari (sekitar jam 16.00) sampai dengan dini hari (sekitar jam 01.00). Tempat

usaha mereka sudah ditandai dengan

perlengkapan untuk usaha yang mereka tinggal (tidak dibawa pulang), misalnya meja, tiang penyangga, dan terpal. Mereka sudah percaya bahwa tempat usahanya tidak dipakai orang lain dan perlengkapan yang mereka tinggal juga tidak akan diambil orang lain. Diantara para pedagang kakilima di alun-alun

kotaPonorogo tersebut sering saling

membantu jika terdapat pedagang yang kekurangan dan membutuhkan bantuan, misalnya pada saat kehabisan air bersih, menukar uang recehan, dan berbarengan pulang dengan satu kendaraan. Saling membangun kepercayaan dan saling bantu diantara pedagang kakilima tersebut dapat menjadi pondasi untuk berjalannya modal sosial diantara mereka. Pedagang kakilima di

alun-alun kota Ponorogo mempunyai

semangat usaha dan jiwa pantang menyerah. Mereka mayoritasjuga berjualan barang di tempat lain baru sore harinya menjual dagangannya di alun-alun kota Ponorogo. Usaha pedagang kakilima di alun-alun kota

Ponorogo ini mereka tekuni ada yang sudah sampai bertahun-tahun, bahkan sudah ada yang menjalani sampai 10 tahun lebih. Hal ini

menunjukkan bahwa usaha pedagang

kakilima ini masih mampu bertahan dan telah mampu menghidupi keluarga mereka.

Sumber Modal Usaha

Modal usaha para pedagang kakilima di alun-alun kota Ponorogo mayoritas berasal dari modal sendiri atau tabungan sendiri, dan

untuk pengembangan usaha mereka

mayoritas tidak pinjam ke bank atau lembaga keuangan formal lainnya, apalagi bank thithil yang identik dengan bunga tinggi, mereka sudah banyak tahu dan mampu berfikir logis tentang bunga utang, sehingga mereka memutuskan untuk tidak pinjam ke bank maupun lembaga keuangan formal lainnya yang menurut mereka cenderung memungut biaya tinggi. Mereka lebih suka memanfaatkan lembaga keuangan informal seperti arisan, paguyuban serta pinjam kepada teman, karena dengan lembaga ini mereka lebih nyaman dan tidak takut dengan beban bunga yang nanti akan membebani mereka dan

menjadi mereka tidak nyaman dalam

berusaha. Walaupun jumlah dana yang mereka peroleh tidak banyak tetapi cukup untuk bisa menambah modal mereka secara bertahap sesuai dengan kemampuan mereka dalam mengembalikan pinjaman. Hal ini sesuai dengan pendapat/ penelitian Hasil penelitian Timothy Bates(1997) mengenai imigran dari Cina dan Korea yang menjadi wirausahawan di Amerika menunjukkan selain dari lembaga keuangan sumber kredit juga dapat berasal dari keluarga dan teman.Menurut Kadri Cemil Akyqz, at al. (2004) mengenai pembiayaan UMKM disektor

industri produk hasil-hasil hutan di Turkey menunjukkan selain dari lembaga keuangan, keluarga teman dan relasi, kredit juga dapat bersumber dari tabungan pemilik. Sumber modal usaha para pedagang kakilima di alun- alun kota Ponorogo dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 2.

Modal Sendiri

Menurut Mardiyatmo (2008)

mengatakan bahwa modal sendiri adalah modal yang diperoleh dari pemilik usaha itu sendiri. Modal sendiri terdiri dari tabungan, sumbangan, hibah, saudara, dan lain sebagainya.

Kelebihan modal sendiri adalah:

a) Tidak ada biaya seperti biaya bunga atau biaya administrasi sehingga tidak menjadi beban perusahaan;

b) Tidak tergantung pada pihak lain, artinya perolehan dana diperoleh dari setoran pemilik modal;

c) Tidak memerlukan persyaratan yang rumit dan memakan waktu yang relatif lama;

d) Tidak ada keharusan pengembalian modal, artinya modal yang ditanamkan pemilik akan tertanam lama dan tidak ada masalah

seandainya pemilik modal mau

Kekurangan modal sendiri adalah:

a) Jumlahnya terbatas, artinya untuk

memperoleh dalam jumlah tertentu sangat tergantung dari pemilik dan jumlahnya relatif terbatas;

b) Perolehan modal sendiri dalam jumlah tertentu dari calon pemilik baru (calon pemegang saham baru) sulit karena mereka akan mempertimbangkan kinerja dan prospek usahanya ;

c) Kurang motivasi pemilik, artinya pemilik usaha yang menggunakan modal sendiri motivasi usahanya lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan modal asing.

Jenis dan Jangka Waktu Pinjaman

Pedagang kakilima di alun-alun kota Ponorogo dalam mengembangkan usaha mayoritas dengan modal sendiri (50%), namun ada yang pinjam ke Bank walaupun hanya 25% dari responden, dan sisanya ada yang pinjam teman dan ada yang dari arisan serta paguyuban maupun koperasi. Mereka yang pinjam ke bank jenis pinjamannya adalah pinjaman modal kerja jangka pendek dan menengah, yaitu kredit modal kerja untuk

menambah modal usaha yang jangka

waktunya kurang dari satu tahun dan yang menengah kurang dari lima tahun. Mereka

pinjam sifatnya hanya santai tidak “ngoyo

yang penting bisa untuk menambah barang dagangan mereka sehingga mereka sesuaikan dengan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman.Jangka waktu pinjaman responden dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. Rekapitulasi Jangka waktu pinjaman responden

Modal adalah merupakan faktor

penentu utama dalam dunia usaha. Pengusaha khususnya pada usaha sektor informal sering kita jumpai begitu banyak masyarakat yang berpenghasilan rendah masuk pada sektor ini hanya karena masalah modal. Banyak masyarakat yang mempunyai etos kerja yang tinggi tapi tidak memiliki modal yang cukup akhirnya untuk memenuhi keinginannya mereka melakukan pinjaman dengan tingkat bunga yang tinggi. Masyarakat bawah

kebanyakan mereka dalam melakukan

pinjaman modal (uang) mengalami kesulitan terutama mengenai pengurusan administrasi dan persyaratan yang berbelit-belit.

Pedagang di alun-alun kota Ponorogoyang enggan menggunakan jasa bank itu karena takut dengan bunga dan enggan mengurus persyaratan-persyaratan kredit yang harus dipenuhi ketika akan mengajukan kredit.

Lembaga yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendanaan oleh pedagang kakilima di alun-alun kota Ponorogo?

Pedagang kakilima di alun-alun kota Ponorogo merupakan salah satu jenis usaha yang termasuk dalam golongan sektor

informal yang mempunyai ciri dan

karakteristik tertentu dan juga digolongkan sebagai bentuk wirausaha karena mulai perencanaan membuka usaha, pengadaan

menjalankan usaha, sampai dengan

mengontrol dan mengendalikan usaha

dilakukan secara mandiri. Pedagang kakilima

di alun-alun kota Ponorogo saling

membangun kepercayaan dan saling bantu

diantara mereka, Selain itu, mereka

mempunyai semangat usaha dan jiwa pantang menyerah. Meskipun mereka berjualan di sore sampai malam hari , mereka juga berusaha buka dilain tempat di pagi harinya., mereka tetap bersemangat untuk tetap berusaha dan melihat selalu peluang membuka usaha baru. Usaha oleh pedagang kakilima di alun-alun

kota Ponorogo telah ditekuni sampai

bertahun-tahun, bahkan sudah ada yang menjalani sampai 10 tahun lebih. Hal ini

menunjukkan bahwa usaha pedagang

kakilima di alun-alun kota Ponorogo masih

mampu bertahan dan telah mampu

menghidupi keluarga mereka. Dalam hal pengembangan usaha mereka mayoritas memanfaatkan lembaga keuangan mikro yang

informal seperti arisan, paguyuban,

dibandingkan dengan yang formal seperti Bank maupun koperasi, hal ini sebagaimana bisa dilihat dalam gambar 4 berikut.

Gambar 4. Lembaga yang dimanfaatkan responden

Hasil usaha pedagang kakilima di alun- alun kota Ponorogo tersebut secara umum mereka gunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, memperbaiki rumah, dan

untuk biaya pendidikan anak. Selain itu, hasil usaha pedagang kakilima ini juga mereka gunakan untuk membeli barang konsumtif lainnya, misalnya televisi, hand phone, baju atau pakaian, dan kendaraan sepeda motor. Sampai saat ini mereka tetap percaya bahwa usaha pedagang kakilima ini masih mampu bertahan dan mampu menghadapi persaingan di masa akan datang. Keyakinan para pedagang tersebut dengan alasan bahwa masyarakat Ponorogo suka santai dan suka jalan-jalan ke alun-alun kota Ponorogo terutama tiap malam hari, karena ke alun-alun adalah bagi pengunjung merupakan tempat rekreasi yang murah meriah.

Harapan Responden terhadap Pemerintah

Secara konseptual, pemberdayaan

masyarakat adalah upaya untuk

meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Berbagai tanggapan dan persepsi responden mengenai apa dan bagaimana harapan mereka dalam meningkatkan pemberdayaan usaha sektor informal, berikut harapan- harapan yang dimaksud: 1) Pemberian pelatihan dalam meningkatkan pendapatan, 2) bantuan modal usaha, 3) cara-cara pengelolaan usaha dan 4) pendampingan usaha sangat diharapkan dari pemerintah agar usaha mereka bisa lebih eksis dan bisa terus berkembang.

Manurung (2006) mengatakan dalam upaya pembinaan dan pengembangan usaha kecil dapat juga dilakukan dengan menerapkan system pembinaan melalui:

1. Kelembagaan dan manajemen dengan

menggunkan system dan prosedur

organisasi yang baku.

2. Peningkatan sumber daya manusia dengan

memberikan pelatihan serta memberikan transfer pengetahuan tentang mengelola dunia usaha.

3. Permodalan, hal ini dilakukan dengan cara membantu akses permodalan.

4. Distribusi/pemasaran, dengan

memberikan bantuan informasi pasar dan mengembangkan jaringan distribusi.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Pedagang kakilima di alun-alun Kota Ponorogo merupakan salah satu jenis usaha yang termasuk dalam golongan sektor informal pedagang kaki lima yang mempunyai ciri dan karakteristik tertentu dan juga digolongkan sebagai bentuk wirausaha karena mulai perencanaan membuka usaha, pengadaan kelengkapan dan kebutuhan usaha, menjalankan usaha,

sampai dengan mengontrol dan

mengendalikan usaha dilakukan secara mandiri.Usaha pedagang kakilima di alun- alun kota Ponorogo ini telah ditekuni sampai bertahun-tahun, bahkan sudah ada yang menjalani sampai 10 tahun lebih. Hal ini menunjukkan bahwa usahanya masih mampu bertahan dan telah mampu menghidupi keluarga mereka.

2. Sumber modal usahapara pedagang

kakilima di alun-alun kota Ponorogo mayoritas berasal dari modal sendiri atau tabungan sendiri. Untuk pengembangan usaha mereka mayoritas tidak pinjam ke bank atau lembaga keuangan formal

lainnya, apalagi bank thithil yang identik dengan bunga tinggi, mereka sudah banyak tahu dan mampu berfikir logis tentang bunga utang, sehingga mereka memutuskan untuk tidak pinjam ke bank

maupun lembaga keuangan formal

lainnya. Mereka lebih suka memanfaatkan lembaga keuangan informal seperti arisan, paguyuban dsb, karena dengan lembaga ini mereka lebih nyaman dan tidak takut dengan beban bunga yang nanti akan membebani mereka dan menjadi mereka tidak nyaman dalam berusaha.

3. Jenis pinjaman yang mereka lakukan

adalah pinjaman modal kerja jangka pendek dan jangka menengah.

Saran

1. Pemerintah kabupaten Ponorogo

diharapkan memberikan 1) pelatihan dalam meningkatkan pendapatan, 2) bantuan modal usaha, 3) cara-cara pengelolaan usaha dan 4) pendampingan usaha, agar usaha mereka bisa lebih eksis dan bisa terus berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Asis riat Winanto SE,ME, Pemberdayaan kelompok usaha informal melalui lembaga keuangan mikro

Bermacam Lembaga Keuangan Mikro,

http://www.wirausaha.com/bisnis/ua ng/bermacam_lembaga_keuangan_mikr o .html

Kartini Kartono, dkk., , Pedagang Kaki

Lima sebagai Realita Urbanisasi dalam

Rangka Menuju Bandung Kota Indah ,

FISIP Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung.

Mukbar, Deni, Apakah orang miskin layak dipercaya? Yakinkah memberikan pinjaman terhadap orang miskin?

http://dienim.wordpress.com/2008/03/26/l embaga-keuangan-mikro-untuksiapa/

Mulyanto, , Pengaruh Motivasi dan

Kemampuan Manajerial Terhadap

Kinerja Usaha Pedagang Kaki Lima Menetap (Suatu Survai pada Pusat Perdagangan dan Wisata Di Kota

Surakarta) , dalam Jurnal BENEFIT,

Volume 11, Nomor 1, Juni 2007,

Fakultas Ekonomi Universitas

Muhammadiyah Surabaya.

Ponorogo dalam Angka 2012 dan 2013, Badan Pusat Statistik Kota Ponorogo

Shyam-Sunder.Laksmi., Stewart C. Myers, (1999), Testing Static Trade-Off Against Pecking Order Models of Capital Structure Journal of Finance, vol51 Thies., Mark Klock., (1992), Determinant of

Capital Structure, Review of Financial Economics (Spring)

Taswan SE Akuntansi Perbankan YKPN

Titman, S., Roberto Wessels., (1988), The Determinant of Capital Structure Choice

Journal of Finance, vol 43, March Wiharty, Dinny., (2002). Analisis Perilaku

Keputusan Pendanaan: Pengujian Pecking Order Theory di Bursa Efek Jakarta (periode Sebelum dan Selama Krisis). Tesis S2 tidak dipublikasikan.

Program Studi Magister

Manajemen.Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial. UGM Yogyakarta

Wibowo, P, & Munawar, W., Studi Kredit Kecil Perkotaan di Kota Yogyakarta, SMERU, Juni 2002

THE COMPETITIVE ADVANTAGE OF FAMILY FIRM CHINESE ETHIC: