3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA
KAYU TENO
6. Hutan Sekunder Cadangan Pertanian (Rami)
Rami adalah hutan sekunder yang diperuntukkan untuk lahan pertanian karena masyarakat Manggarai pada mulanya adalah peladang berpindah dalam sistem perekonomian subsisten. Saat ini sistem rotasi tanaman pada lahan pertanian (rami) masih dapat ditemukan di kampung Wae Rebo karena masih adanya ketersediaan lahan pertanian yang akan menghutan kembali apabila diberakan. Rami merupakan lahan cadangan pertanian yang saat ini sulit diterapkan pada wilayah kampung yang kurang memiliki luas lahan yang cukup. Lahan yang belum memiliki nama lingko pada kampung Wae Rebo merupakan cadangan untuk lahan garapan (rami) yang ditumbuhi semak belukar. Lahan yang telah diberakan selama 5 sampai 6 tahun digunakan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar dari jenis sensus (Austroeupatorium odoratum), kenti (Leptospermum flavescen), akasia (Calliandra calothryrsus) dan waek (Albizia lophanta).
7. Hutan (Puar)
Hutan atau puar selain dari hutan keramat (pong cengit) dalam budaya Manggarai adalah tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti: pangan, obat, kayu bangunan rumah adat, kayu bakar dan sebagainya. Wilayah- wilayah hutan ini merupakan hutan negara. Jumlah spesies tumbuhan hutan yang ditemukan dalam seluruh jalur pengamatan dalam penelitian ini adalah sebanyak 232 spesies dalam 86 famili tumbuhan. Jumlah spesies terbanyak ditemukan pada wilayah kampung Mano (Tabel 4.2) karena jumlah jalur pengamatan yang ditempatkan pada setiap ketinggian lebih banyak dari kampung lainnya yaitu sebanyak 8 jalur sedangkan pada kampung Lerang 5 jalur dan Wae Rebo 4 jalur.
Tabel 4.2 Komposisi spesies tumbuhan hutan
No Kampung Jumlah Ditemukan
Pohon Tiang Pancang *ATB Total Spesies
1 Mano 82 85 105 145 185
2 Lerang 65 71 88 115 148
3 Wae Rebo 67 79 87 116 171
Keterangan: * = Anakan dan tumbuhan bawah
Penghitungan indeks kesamaan komunitas komunitas tumbuhan menunjukkan bahwa Indeks of Similarity (IS) pada ketiga kampung memiliki nilai lebih dari 50%, artinya komunitas hutan pada ketiga kampung memiliki kemiripan. Komunitas hutan Lerang dan Mano memiliki nilai IS yang paling tinggi (76%), artinya hutan pada kedua kampung memiliki kemiripan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan Wae Rebo (Tabel 4.3). Hal ini disebabkan oleh kedekatan jarak antara kampung Mano dan Lerang yang masih dalam satu kelompok hutan Ruteng. Hutan di kampung Wae Rebo berada di hutan Todo yang dipisahkan oleh lembah dan sungai Wae Mese sehingga kemiripannya lebih rendah dibandingkan dua kampung lainnya.
Tabel 4.3 Indeks kesamaan komunitas tumbuhan hutan di Pegunungan Ruteng No Indeks Kesamaan
Komunitas (%) / Kampung
Lerang Wae Rebo
1 Mano 76.51 67.05
2 Wae Rebo 61.43
Penghitungan indeks kemerataan spesies tumbuhan hutan menunjukkan bahwa pada ketiga kampung memiliki nilai lebih dari 60% yang artinya spesies tumbuhan hutan tersebar merata pada semua komunitas hutan yang diteliti (Tael 4.4). Kemerataan spesies memungkinkan pmanfaatan tumbuhan tidak dilakukan pada habitat tertentu sehingga habitat hutan beragam atau tidak didominasi oleh spesies tertentu.
Tabel 4.4 Indeks kemerataan spesies tumbuhan hutan di pegunungan Ruteng Indeks Kemerataan (%)
/ Kampung
Tingkat Pertumbuhan
Pohon Tiang Pancang *ATB
Wae Rebo 71.23 77.38 74.94 67.72
Mano 71.47 75.38 77.31 68.87
Lerang 74.16 76.01 79.36 70.87
Keterangan: ATB = anakan dan tumbuhan bawah
Ekosistem hutan yang baik ini menunjang budaya masyarakat sekitar hutan dalam pemanfaatan lestari (Amusa et al. 2010). Keragaman tumbuhan yang tinggi
(H’>3) pada hutan menyediakan keragaman tumbuhan yang dapat dimanfaatkan
(Pei et al. 2009). Penelitian Gueze (2011) pada hutan Amazon menemukan bahwa hutan yang mengalami pemanfaatan intensitas sedang (intermediate) memiliki keanekaragaman tumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan hutan alam yang tidak dimanfaatkan.
Suatu ekosistem yang memiliki keanekaragaman tinggi lebih bertahan pada gangguan yang stabil dan periodik. Komunitas yang sangat stabil dan homogen akan memperlihatkan keanekaragaman yang rendah dibandingkan dengan yang mendapatkan gangguan pada waktu tertentu secara periodik. Komunitas yang mendapatkan gangguan yang tinggi akan cenderung memiliki keanekaragaman yang rendah dan sebaliknya yang mendapatkan gangguan yang rendah akan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Komunitas yang memiliki keanekaragaman yang paling tinggi adalah yang mendapatkan gangguan pada tingkatan sedang (MacKinnon 1984). Keanekaragaman akan semakin tinggi pada komunitas yang tua dan rendah pada komunitas yang baru dibentuk. Keanekaragaman yang tinggi akan menunjukkan kestabilan yang tinggi dan tingkat kompleksitas yang tinggi menyebabkan interaksi yang tinggi sehingga akan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya (Odum 1971).
Hutan Ruteng memiliki keragaman tumbuhan yang tinggi, yaitu antara 3 – 4 (Tabel 4.5). Studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan hutan Ruteng memiliki keanekaragaman Shannon (H ') berkisar 3-4 (Simbolon 1998; Iswandono 2007). Keragaman tumbuhan yang tinggi (H'> 3) pada hutan
memberikan keanekaragaman tumbuhan yang dapat dimanfaatkan (Pei et al. 2009). Tingkat keragaman tumbuhan hutan yang tinggi memberikan kesempatan bagi pemanfaatan berbagai tujuan yang dapat mengurangi tekanan pada spesies tertentu dan melindungi ekosistem hutan dalam persepsi publik (Pei et al. 2009).
Tabel 4.5 Indeks Keanekaragaman Shanon (H’) Tumbuhan No Kampung Ketinggian Nama Hutan Keanekaragaman (H’)
(m dpl) Pohon Tiang Pancang *ATB
1 Wae Rebo 1 100 Wae Regang 2.99 3.60 3.63 3.83 2 Wae Rebo 1 200 Todo 3.17 3.21 3.37 2.56
3 Wae Rebo 1 300 Todo 3.44 3.51 3.72 3.61
4 Wae Rebo 1 400 Todo 3.05 3.42 3.23 3.48
5 Mano 1 200 Pong Dode 2.91 2.74 2.55 2.43 6 Mano 1 300 Mandosawu 3.29 3.37 3.56 3.44 7 Mano 1 400 Mandosawu 3.12 3.05 3.64 3.53 8 Mano 1 500 Mandosawu 3.10 3.39 3.35 3.59 9 Mano 1 600 Mandosawu 3.13 3.38 3.62 3.46 10 Mano 1 700 Mandosawu 2.95 3.23 3.64 3.55 11 Mano 1 800 Mandosawu 2.95 3.39 3.71 3.39 12 Mano 1 900 Mandosawu 2.43 3.17 3.63 2.76 13 Lerang 1 100 Ranamese 2.96 2.93 3.59 3.41 14 Lerang 1 200 Ranamese 3.45 3.48 3.81 3.62 15 Lerang 1 300 Ranamese 3.18 3.41 3.41 3.39 16 Lerang 1 400 Ranamese 3.02 3.43 3.67 3.82 17 Lerang 1 500 Ranamese 2.98 3.36 3.24 2.61
Keterangan: * = anakan dan tumbuhan bawah
Pada sebagian lokasi memiliki nilai keanekaragaman Shanon sedang antara 2 – 3, yaitu pada Hutan Pong Dode Manodosawu karena luas hutan ini hanya sekitar 4.3 hektar. Sempitnya luasan hutan pong ini yang menyebabkan terbatasnya jumlah spesies yang tumbuh. Pada wilayah Mano ketinggian 1.600, 1.700 dan 1.800 keanekaragaman hayati mulai menurun kurang dari 3 karena faktor ketinggian tempat yang membatasi jumlah spesies pohon yang hidup di wilayah ini. Wilayah lainnya pada kampung Lerang ketinggian 1.100 mdpl keanekaragaman hayati kurang dari 3 karena faktor kedekatan dengan wilayah kampung yang menyebabkan tingginya tekanan pemanfaatan kayu untuk bahan bangunan. Tekanan pemanfaatan yang cukup berat melampaui batas kemampuan kawasan untuk dapat mentolerir pemanfaatan secara lestari.
Tingkat keanekaragaman hutan yang tinggi menyediakan berbagai keperluan makanan, bahan bakar, bahan bangunan, obat-obatan dan produk non kayu lainnya sehingga menurunkan tekanan pada spesies langka serta melindungi ekosistem hutan dalam persepsi masyarakat (Pei et al. 2009). Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas yang tinggi yang lebih tidak terganggu oleh pengaruh lingkungan, kendali umpan balik negatif yang lebih besar yang dapat mengurangi gangguan sehingga meningkatkan kemantapan.
4.3.2Siklus Tahunan dan Mata Pencaharian
Kegiatan tahunan secara teratur terjadwal dalam satu kalender Manggarai. Kalender pertanian menandai perayaan tahun baru dengan upacara penti yang menandai awal kegiatan musim hujan (Tabel 4.6). Kalender ini adalah perhitungan waktu untuk kegiatan pertanian yang terkait dengan musim hujan dan kemarau, menggunakan sistem luni solar dengan tanda-tanda alam sebagai penanda waktu dimulainyai suatu bulan baru. Kalender orang Manggarai ini saat ini yang masih dapat ditelusuri adalah pada kampung Wae Rebo yang menandakan sistem kepercayaan adat masih dilakukan oleh masyarakat sampai saat ini. Tahun baru dirayakan setiap tanggal 16 November yang dirayakan oleh masyarakat keturunan Wae Rebo baik yang tinggal di kampung asli maupun yang merantau jauh dari kampung.
Tabel 4.6 Kalender Orang Manggarai Kampung Wae Rebo
No Nama Bulan Tanda-tanda Alam Kegiatan Masyarakat 1 Beko
(September)
Sejenis herba dinamakan beko mulai tumbuh, hujan pertama tanda akhir musim kemarau dan mulainya musim tanam.
Pembakaran dan
pembersihan lahan untuk tanaman pangan.
2 Reka (Oktober)
Reka (sejenis herba) tumbuh, curah hujan tinggi.
Penanaman benih pangan seperti padi dan jagung. 3 Ohet
(Nopember)
Ohet (sejenis liana) berbunga dan berbuah.
Perawatan tanaman 4 Nderu
(Desember)
Tanaman jeruk (nderu) berbunga, berhembus angin kencang.
Pembersihan kebun
5 Lenta (Januari)
Tumbuhan lento berbuah, masyarakat memakan buah lento atau untuk sayur.
Pembersihan kebun
6 Lideng (Februari)
Waktu panen tanaman jagung. Pemanenan tanaman jagung
7 Rampeng (Maret)
Perubahan arah angin dari musim barat ke timur pembawa penyakit.
Upacara kasawiang
penolak bala penyakit. 8 Huhung
(April)
Hujan lebat dan kabut tebal, suasana kampung sunyi dan gelap
Pembersihan kebun
9 Lalak (Mei) Suasana kampung terang, hampir tidak ada kabut tebal
Pernikahan, kelas dan kenduri lainnya. 10 Rangkang
Kalo (Juni)
Dadap (kalo) berbunga merah dengan burung-burung
penghisap madu diantara bunganya
Pembersihan kebun
11 Rasi (Juli) Pohon pinang (rasi) mulai berbunga
Pembersihan kebun 12 Waek
(Agustus)
Waek menggugurkan daun pertanda perbahan arah angin.
Upacara kasawiang
penolak bala penyakit.
Sumber: Wawancara dengan Yosep Katup, tua adat Wae Rebo.
Untuk mendapatkan protein hewani masyarakat beternak dan berburu satwa liar secara tradisional. Hewan ternak peliharaan umumnya babi dan ayam kampung,
sebagian kecil kerbau, sapi, kambing dan kuda. Anjing merupakan binatang peliharaan untuk membantu dalam berburu walaupun masyarakat juga memakan dagingnya. Hasil beternak hanya mencukupi kebutuhan sendiri dan keperluan pesta. Berburu merupakan kegiatan penting masyarakat terutama jenis mamalia besar seperti babi hutan dan monyet ekor panjang (Sus sp). Hewan buruan lainnya adalah tikus raksasa flores (Papagomys armandvilley) menggunakan jerat terbuat dari kawat besi pada saat bulan purnama, jenis-jenis burung terutama pergam dan ayam hutan. Masyarakat juga berburu burung ekonomis terutama punglor (Zoothera interpres) dan kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea) dan menjualnya pada pedagang burung.
Rusa (Rusa timorensis) dahulu merupakan satwa buru namun menurut masyarakat sejak tahun 1987 sebelum meletusnya gunung Ranaka, rusa keluar dari hutan menuju ke kampung dan tertangkap oleh masyarakat. Sejak saat itu satwaliar ini langka namun terkadang masih terlihat di wilayah timur pegunungan Ruteng.
Masyarakat Manggarai menggunakan peralatan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat menggunakan barang dari plastik, alumunium dan peralatan tradisional terbuat dari bambu, rotan dan pandan. Peralatan penting ke kebun adalah parang untuk menjaga diri, menebas alang-alang, kayu bakar, menyembelih hewan dan mengupas kelapa. Peralatan utama untuk mengolah tanah sawah adalah banjik (sekop) dan banjik kecil (tofa) yang gagangnya terbuat dari kayu kopi robusta atau jambu biji. Pembuatan lubang tanam menggunakan kayu yang ujungnya lancip. Peralatan berternak umumnya terbuat dari anyaman bambu dan rotan.
Kondisi kampung pada wilayah studi adalah seperti dijelaskan sebagai berikut: