• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

KAYU TENO

5 INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVAS

5.1. Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi 1 Kearifan Budaya yang Mendukung Konservas

5.1.2 Kearifan Pemanfaatan Tumbuhan Hutan

Efisiensi dalam hal pemanfaatan spesies tumbuhan dapat ditemukan dalam 3 spesies kunci budaya Manggarai, yaitu teno (Melochia umbellata), ara (Ficus variegata) dan worok (Dysoxylum densiflorum).

1. Teno (Melochia umbellata)

Pohon ini memiliki manfaat paling banyak dari semua tumbuhan hutan bermanfaat. Himbauan untuk memanfaatkan kayu teno dihubungkan dengan mitos bahwa kayu ini membawa kerukunan dan persatuan seisi rumah sehingga setiap rumah penduduk di Manggarai memanfaatkan kayu teno minimal sebagai satu tiang penyangga rumah. Nama pohon teno memiliki kesamaan dengan nama roh penjaga kebun dan nama tua adat pembagi tanah serta pemanfaatan kayu teno yang di tancapkan di pusat kebun bundar (lingko) sebelum membagi tanah sehingga semakin menambah nilai spiritual kayu dalam pembangunan rumah tinggal. Pesan penting konservasinya adalah memelihara anakan yang tumbuh alami di kebun dan halaman rumah.

Heyne (1987) menyatakan bahwa Mellochia umbellata menyebar di seluruh Nusantara, tumbuh sangat cepat, diameter batang hingga 30 cm. Wagner et al. (1999) juga menyatakan bahwa pohon teno cepat tumbuh namun tidak dapat tumbuh di bawah naungan sehingga sangat umum ditemukan pada lahan terbuka. Informasi dari literatur ini sesuai dengan pengetahuan masyarakat, yaitu pohon teno tumbuh paling lama 15 tahun dan diameter paling besar 40 cm dan sulit tumbuh ditemukan dalam hutan lebat karena tidak dapat hidup di bawah naungan. Hal ini merupakan indikasi efisiensi pemanfaatan spesies, yaitu bahwa untuk memenuhi keperluan bahan bangunan rumah penduduk dalam jumlah besar masyarakat Manggarai memanfaatkan kayu cepat tumbuh yang tumbuh pada lahan terbuka dan juga memenuhi kebutuhan dengan cara melakukan budidaya.

2. Ara (Ficus variegata)

Pohon ini merupakan spesies pohon kedua paling penting dalam budaya Manggarai. Pohon ara (Ficus variegata) tidak dimanfaatkan untuk kayu bangunan karena anggapan mampu meningkatkan debit air di mata air yang dikaitkan dengan upacara adat penghormatan terhadap dewa penjaga mata air. Perlindungan ara (Ficus variegata) dengan sanksi adat menyebabkan tumbuhan ini menjadi spesies tumbuhan yang paling dominan di Pegunungan Ruteng.

Ficus spp dari famili Moraceae merupakan salah satu genus tanaman yang penting dari hutan tropis dan hutan sub-tropis, dengan lebih dari 800 spesies di seluruh dunia (Harrison 2005). Ficus spp memiliki kelas kuat dan awet yang rendah sehingga tidak berguna secara langsung untuk bahan bangunan maupun perkakas rumah tangga (Heyne 1987) namun memiliki nilai tinggi secara budaya. Bentuk pohon yang tinggi dan tajuk yang lebar menyebabkan Ficus spp memiliki perakaran yang dalam, menyebar dan mencengkeram sehingga berperan dalam peningkatan air tanah. Kemampuan Ficus spp sebagai tanaman epifit, semi-epifit dan pohon membuat tumbuhan mampu tumbuh dalam banyak kondisi yang berbeda sehingga berumur panjang dan sangat berguna secara ekologi. Kelompok epifit Ficus menumpang pada pohon lain, semi epifit menumpang pohon lain hingga akarnya mencapai tanah dan jenis pohon mandiri dapat hidup langsung tanpa inang (Berg dan Corner 2005).

Pohon dari Ficus spp berbuah sepanjang tahun (Miao et al. 2011) dimakan oleh kurang lebih 60 spesies burung dan 17 mamalia di hutan dataran rendah di Semenanjung Malaysia (Lambert et al. 1991) dan juga lebih dari 1.000 spesies burung serta mamalia makan buah ficus matang (Shanahan et al. 2001) dan merupakan spesies kunci hutan hujan tropis (Herre et al. 2008). Secara ekologi Ficus spp juga bermanfaat memperbaiki kualitas udara dan tanah, mencegah erosi dan secara ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan serta religi Masyarakat tradisional(Dhanya et al. 2012). Manfaat Ficus spp secara ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat tradisional ini menjadi dasar yang kuat untuk menjadi spesies yang prioritas dalam strategi konservasi pengawetan spesies.

3. Worok (Dysoxylum densiflorum).

Pohon ini penting secara budaya karena pemanfaatannya secara khusus untuk tiang utama (siri bongkok) rumah adat. Pentingnya kayu worok dalam budaya Manggarai ini sesuai dengan idiom orang Manggarai, yaitu: porong neho worok eta golo, pateng wa wae” yang artinya semoga kokoh seperti worok di atas bukit

dan berteras bila berada di dalam air. Kerapatan pohon worok per hektarnya adalah 5.6 pohon sehingga pada wilayah hutan kampung Wae Rebo seluas ± 100 ha adalah sebanyak ± 560 pohon. Pemanenan pohon worok adalah sebanyak 7 pohon yang sudah berumur 70 tahun setiap 30 tahun sekali menunjukkan bahwa pemanenan worok oleh masyarakat kampung Wae Rebo adalah lestari sebagai upah untuk menjaga kelestarian hutan.

Pohon-pohon dalam hutan yang memiliki kualitas yang baik untuk bahan bangunan memiliki pertumbuhan yang lambat sehingga pemanfaatannya secara selektif. Kayu bangunan dari pohon worok (Dysoxylum densiflorum) termasuk ke dalam kelas kuat II dan kelas awet II (Martawijaya et al. 2005) dan merupakan kayu bangunan terbaik yang ada di pegunungan Ruteng karena belum ditemukan kayu dengan kelas kuat dan kelas awet I. Orang Manggarai memahami hal ini sehingga kayu yang memiliki kualitas yang baik untuk bahan bangunan seperti worok (Dysoxylum densiflorum) hanya untuk pembangunan rumah adat.

Dysoxylum densiflorum memiliki penyebaran di Pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Lombok dan Flores. Pohon ini tumbuh pada dataran rendah hingga pada ketinggian sampai 1 700 m dpl hutan hujan primer. Berkembangbiak dengan biji dengan pertumbuhan yang sangat lambat, dapat mencapai ketinggian hingga 45 m, tinggi bebas cabang 13 m dan diamater 65 cm. Kayu terasnya agak berat, padat dan cukup halus, berwarna coklat kuning hingga merah muda atau coklat merah muda dan mengkilap (Mabberlay et al. 1995). Kayu worok untuk tiang penyangga utama rumah adat ditebang dengan ritual yang rumit sebagai suatu cara pemanfaatan kayu secara selektif yang menunjukkan efisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya.

Pelarangan pemanfaatan pohon ini di dalam hutan Ruteng menyebabkan masyarakat mensubtitusi kayu worok dengan spesies lainnya seperti lumu (Manglietia glauca) atau ampupu (Eucalyptus urophylla). Meskipun sudah disubtitusi dengan spesies lain namun karena syarat kayu untuk pembangunan rumah adat adalah harus pohon yang tumbuh alami bukan hasil budidaya maka pembangunan rumah adat tetap sulit dilakukan. Pengambilan pohon untuk rumah adat di wilayah sekitar Hutan Ruteng dari kebun milik masyarakat. Batang pohon tersebut dipikul terlebih dahulu ke dalam hutan untuk upacara adat.