• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

KAYU TENO

5 INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVAS

5.1. Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi 1 Kearifan Budaya yang Mendukung Konservas

5.1.4 Strategi Konservasi Masyarakat Suku Manggara

Hutan secara alamiah memiliki 3 fungsi, yaitu: fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya (Nugraha dan Murtijo 2005). Secara ekonomi, hutan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tradisional terutama dalam hal pangan, papan dan sandang. Sumberdaya hutan ini adalah sumberdaya yang tinggal mengambil tanpa perlu melakukan upaya budidaya. Pemenuhan kebutuhan dari hutan ini melengkapi kebutuhan masyarakat dari wilayah di luar hutan. Spesies tumbuhan dari hutan melengkapi spesies tumbuhan dari wilayah budidaya (Zhang et al. 2013). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan berbagai spesies tumbuhan hutan oleh masyarakat justru berperan dalam kelestarian hutan (Pei et al. 2009; Pei 2013, Gueze 2011, Odum 1971; MacKinnon 1990).

Secara ekologi, hutan berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mengendalikan erosi, mencegah banjir dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi ekologi yang terlalu ditonjolkan secara berlebihan menyebabkan pengelola hutan memarginalkan masyarakat tradisional dengan cara menutup akses ke dalam hutan. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa penutupan akses masyarakat tradisional berdampak negatif pada kelestarian hutan (Pei et al. 2009; Pei et al. 2013; Gueze 2011; Baird dan Dearden 2003; Negi 2010; Turner et al. 2011).

Hutan sebagai kebutuhan rohani adalah hutan merupakan tempat melakukan berbagai ritual adat. Orang Manggarai menganggap hutan sebagai tempat kehidupan makhluk halus adikodrati yang menghubungkan antara dunia nyata dan dunia halus (Verheijen 1991; Hadiwiyono 1985). Perwujudan kepercayaan ini adalah daerah keramat pada wilayah hutan, danau dan mata air. Kepercayaan tradisional yang merupakan nilai sosial tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang membuktikan hubungan yang selaras antara masyarakat adat dengan hutan.

Strategi perlindungan sistem penyangga kehidupan terkait dengan istilah keramat tempat melakukan ritual adat sehingga setiap kampung di Manggarai memiliki mata air dan hutan keramat di sekitarnya. Perlindungan dalam konsep budaya masyarakat tradisional ini menguntungkan dari sisi konservasi. Penerapannya dalam konservasi dijelaskan secara sains bahwa hutan merupakan daerah tangkapan air yang berfungsi memperbaiki sistem tata air yang menyediakan air secara kontinyu pada musim hujan dan kemarau.

Strategi pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa dalam konsepsi budaya masyarakat tradisional adalah tumbuhan sakral Ficus spp yang tidak boleh dimanfaatkan sebagai kayu bangunan dan satwa ceki (totem), yaitu satwa yang tidak boleh diganggu apalagi diburu untuk dimakan. Perlindungan Ficus spp menguntungkan konservasi karena peranannya penting secara ekologi. Satwa ceki menguntungkan dalam pengawetan satwa liar karena merupakan budaya perlindungan satwa liar meskipun secara khusus umumnya hanya mengikat satu kampung. Dalam penerapannya satwa berstatus dilindungi dapat dijadikan satwa ceki untuk setiap kampung di Manggarai melalui upacara sumpah adat yang mengikat setiap penduduk kampung sepakat memasukkan satwa dilindungi menjadi satwa ceki.

Strategi pemanfaatan berkelanjutan berkaitan dengan pemanfaatan beragam tumbuhan hutan. Hutan Pegunungan Ruteng memiliki keanekaragaman yang tinggi yang menyediakan pemanfaatan beragam spesies hutan. Masyarakat memiliki pengetahuan untuk memanfaatkan beragam spesies tumbuhan hutan sehingga hutan dapat dipandang sebagai sumberdaya terbarukan yang berkelanjutan yang menyediakan berbagai produk berguna yang dapat diekstraksi terus menerus.

Pengetahuan etnobotani masyarakat suku Manggarai merupakan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup turun temurun, yaitu sandang, papan, pangan serta sosial budaya masyarakat. Jumlah tumbuhan liar yang dimanfaatkan sebanyak 161 spesies lebih dari 60 spesies di dalam Hutan Ruteng sebanyak 276 spesies (Wiriadinata 1998), sebanyak 252 spesies (Verheijen 1977). Pemanfaatan tersebut merupakan pemanfaatan beragam yang menurut Odum (1971) dan MacKinnon (1990) merupakan gangguan tingkatan sedang (intermediate) yang berdampak pada kelestarian kawasan hutan. Pemanfaatan beragam menurut Pei et al. (2009) merupakan pemanfaatan tidak pada satu spesies dan habitat tertentu sehingga berperan dalam pemeliharaan ekosistem. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan tumbuhan secara tradisional itu merupakan konservasi tumbuhan dan ekosistem atau perlindungan dengan cara memanfaatkan.

Kearifan lokal dan konservasi memiliki tujuan yang sama, yaitu kelestarian hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Perbedaan antara keduanya adalah cara mencapai tujuan tersebut. Masyarakat dengan kearifan lokalnya menganggap hutan sebagai tempat hidup berbagai macam spesies tumbuhan dan hewan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan upacara adat serta melindungi sebagian sumberdaya keanekaragaman hayati tersebut dalam bentuk daerah keramat dan spesies totem. Konservasi semestinya mengakomodir pemanfaatan subsisten masyarakat melalui kearifan lokal dengan tetap mempertimbangkan aspek perlindungan kawasan.

Program konservasi yang memisahkan hutan dari masyarakat sekitar adalah keliru. Pemberdayaan masyarakat dengan memberikan bantuan ternak, uang tunai dan sebagainya dengan konsep “reward and punishment” dengan maksud supaya masyarakat tidak lagi bergantung pada hutan adalah program yang tidak mendidik masyarakat dan kotra produktif dengan konservasi. Masyarakat yang tidak berinteraksi dengan hutan diberikan hadiah materi sehingga akan diikuti oleh seluruh masyarakat lambat laun akan menghilangkan pengetahuan lokal sehingga terjadi penurunan kemampuan untuk mengelola hutan secara lestari.

Pengelolaan hutan semestinya memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa menurunkan fungsi ekologisnya. Manfaat tersebut adalah berupa pemanenan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan kebutuhan untuk adat/budaya.

Salah satu indikator adanya degradasi hutan di Pegunungan Ruteng adalah adanya penurunan pengetahuan etnobotani pada generasi muda karena adanya perubahan sosial. Penurunan pengetahuan tradisional karena sistem transfer pengetahuan dari generasi tua kepada generasi muda sudah berubah karena adanya sekolah formal dapat dicegah dengan memberikan muatan lokal. Pengetahuan tradisional merupakan aset bangsa yang tidak ternilai sehingga perguruan tinggi semestinya berperan dalam menyambungkan antara pengetahuan tradisional dan IPTEK yang akan lebih berguna untuk kesejahteraan masyarakat. Penutupan akses pemanfaatan tumbuhan hutan dapat menurunkan pengetahuan tradisional sehingga semestinya memberikan akses pemanfaatan kepada masyarakat tradisional yang memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan hutan secara lestari. Adanya penutupan akses terhadap pemanfaatan menyebabkan kurang berperannya lembaga adat dalam pengaturan pemanfaatan sehingga pemanfaatan hutan menjadi pemanfaatan komersial. Pemerintah semestinya berperan dalam penguatan kelembagaan adat dan program pemberdayaan difokuskan pada kemandirian kampung dengan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.