• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan, Retensi Etnobotani dan Perubahan Tahunan Penilaian pengetahuan etnobotani dari kemampuan responden dalam

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

12. Tumbuhan Hias dan Pagar Batas

3.3.2 Tingkat Pengetahuan, Retensi Etnobotani dan Perubahan Tahunan Penilaian pengetahuan etnobotani dari kemampuan responden dalam

pengenalan spesies tumbuhan hutan yang bermanfaat dan sistem sosiokultur di Pegunungan Ruteng. Sistem sosiokultur meliputi infrastruktur material, struktur sosial dan superstruktur ideologis (KMNLH 2001). Infrastruktur material yaitu bahan, teknologi dan benda yang dikembangkan masyarakat sesuai dengan lingkungan dan sumberdaya alam, misalnya: roto atau keranjang yang terbuat dari rotan, rumah adat, dsb. Struktur sosial adalah perilaku yang terlihat karena interaksi dengan sesama manusia dan lingkungan biofisiknya, misalnya: upacara adat penti, barong wae, barong lodok, dsb. Superstruktur ideologis adalah cara-cara terpolakan dalam berpikir, membuat konsep, menilai dan merasa, misalnya sistem pengelolaan tradisional lahan, sistem lembaga adat, dsb.

Rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani (Mg) responden cukup tinggi, yaitu antara 0.85 pada kelas umur (KU) 1 sampai dengan 0.96 pada KU 4 (Tabel 3.24). Perbedaan nilai Mg responden dapat disebabkan oleh faktor tempat tinggal, jenis kelamin, dan kelas umur. Hasil uji beda Kruskal Wallis terhadap faktor tempat tinggal menunjukkan nilai P = 0.173 (>0.05), artinya perbedaan tempat tinggal tidak menyebabkan perbedaan tingkat pengetahuan responden. Jarak ketiga kampung sampel penelitian dari kota kabupaten ternyata tidak memberikan perbedaan terhadap tingkat pengetahuan etnobotani responden. Hal ini disebabkan kesamaan perilaku pemenuhan kebutuhan tumbuhan hutan dan masih berperannya lembaga adat dalam kehidupan masyarakat. Hasil yang sama pada penelitian mengenai pengetahuan masyarakat Baduy, bahwa tidak ada perbedaan pengetahuan etnobotani pada masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar (Hidayati 2013).

Tabel 3.24 Tingkat pengetahuan, indeks retensi, dan perubahan tahunan pengetahuan etnobotani Kelas umur MGj RG RC CA Kampung Mano 1 (≤24 ) 0.83 0.92 0.89 -0.00761 2 (2539) 0.90 0.96 0.95 -0.00329 3 (4054) 0.94 0.99 0.99 -0.0000862 4 (5569) 0.95 1.01 1.01 0.000743 5 (>69) 0.94 1 1 0 Kampung Lerang 1 (≤24) 0.84 0.93 0.89 -0.00698 2 (2539) 0.91 0.96 0.95 -0.00357 3 (4054) 0.94 0.98 0.99 -0.00026 4 (5569) 0.96 1.01 1.01 0.000913 5 (>69) 0.95 1 1 0

Kampung Wae Rebo

1 (≤24) 0.87 0.94 0.92 -0.00525 2 (2539) 0.93 0.98 0.96 -0.00274 3 (4054) 0.95 0.98 0.99 -0.0007 4 (5569) 0.97 1.01 1.01 0.00067 5 (>69) 0.96 1 1 0 Rata-rata 1 (≤24) 0.85 0.93 0.90 -0.00661 2 (2539) 0.91 0.97 0.95 -0.00319 3 (4054) 0.94 0.98 0.99 -0.00035 4 (5569) 0.96 1.01 1.01 0.000775 5 (>69) 0.95 1 1 0

Keterangan: Mgj = rata-rata tingkat pengetahuan kelas umur j; RG = tingkat retensi etnobotani; RC = tingkat retensi kumulatif; CA = tingkat perubahan tahunan

Uji Mann Whitney terhadap faktor perbedaan jenis kelamin menunjukkan nilai P = 0.00 (<0.05), artinya perbedaan jenis kelamin responden menyebabkan perbedaan tingkat pengetahuan etnobotani. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas untuk mengambil hasil hutan sedangkan perempuan yang mengerjakan tugas di rumah dan membantu untuk bekerja di kebun. Sebagian spesies untuk bahan bangunan dibawa ke rumah sudah dalam bentuk bahan bangunan sehingga perempuan kurang mengenal spesies tersebut.

Uji beda Kruskal Wallis terhadap faktor kelas umur (KU) menunjukkan nilai P = 0,00 (<0.05), artinya bahwa masing-masing KU memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Tingkat pengetahuan terendah adalah pada KU 1 dan semakin meningkat sampai KU 4 karena semakin bertambahnya pengalaman dalam hal pemanfaatan spesies tumbuhan hutan dan tanggung jawab dalam lembaga adat. Pada KU 5 terjadi penurunan tingkat pengetahuan karena faktor usia yang menyebabkan penurunan daya ingat (Zent 2009).

Tingkat retensi pengetahuan etnobotani (RG) merupakan kemampuan masyarakat tradisional untuk mempertahankan pengetahuan etnobotaninya (Zent

0,75 0,8 0,85 0,9 0,95 1 >69 55 - 69 40 - 54 25 - 39 <24 T ingka t Pe n ge ta h u an Kelas Umur

Wae Rebo Lerang Mano Rata-rata

2009). Responden yang memiliki RG paling rendah adalah pada KU 1 karena usia yang muda menyebabkan belum banyak terlibat dalam lembaga adat sehingga beberapa istilah adat tidak dapat dijelaskan dengan baik. Penyebab lain rendahnya nilai RG pada KU 1 adalah pengalaman untuk masuk hutan dan memanfaatkan tumbuhan hutan yang lebih rendah dibandingkan KU diatasnya sehingga mempengaruhi tingkat pengenalan spesies tumbuhan hutan.

Gambar 3.11 Perbandingan tingkat pengetahuan (Mgj) etnobotani masyarakat. Masyarakat Suku Manggarai di Pegunungan Ruteng mengalami penurunan pengetahuan etnobotani (Gambar 4.3). Perbedaan tingkat retensi etnobotani (RG) pada semua KU mempengaruhi tingkat perubahan pengetahuan tahunan etnobotani (CA). CA terbesar adalah pada KU 1 dan kemudian KU 2. CA sebesar -0.00661 per tahun pada KU 1 artinya setelah 151.29 tahun mendatang pengetahuan etnobotani KU 1 akan hilang. Tingkat perubahan tahunan sebesar -0.00319 per tahun pada KU 2 artinya setelah 313.48 tahun mendatang pengetahuan etnobotani pada KU 2 akan hilang.

Masyarakat pada usia tua memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dan tugas di lembaga adat. Oleh sebab itu, masyarakat usia tua meluangkan waktu lebih banyak di dalam hutan untuk mengambil hasil hutan memenuhi kebutuhan hidup sehingga memiliki pengetahuan dalam pengenalan spesies tumbuhan liar bermanfaat yang lebih baik. Pembuatan peralatan tradisional (infrastruktur material) juga umumnya dilakukan oleh generasi tua sehingga mengenal dengan baik peralatan tradisional dan bahan tumbuhan untuk menyusunnya. Tanggung jawab pada lembaga adat menyebabkan generasi tua memiliki pengetahuan yang baik dalam hal upacara adat dan istilah-istilah adat (struktur sosial) dan juga pengetahuan yang baik dalam hal sistem pengelolaan lahan secara tradisional dan sistem lembaga adat (superstruktur ideologis).

Menurunnya pengetahuan tradisional disebabkan karena berkurangnya waktu untuk berinteraksi dengan hutan akibat perubahan aktivitas pekerjaan, misalnya sebagai pengantar turis atau porter pembawa barang, dan sistem pendidikan formal yang memarginalkan pengetahuan lokal etnobotani. Sistem permukiman masyarakat kampung yang telah berubah dari sistem melingkar menjadi sistem

permukiman yang dibangun sepanjang jalan raya merubah sistem sosial dalam hal pewarisan pengetahuan etnobotani. Perubahan sistem permukiman ini sudah dimulai sejak tahun 1960 an. Pengetahuan masyarakat Manggarai terutama generasi muda lebih banyak didapatkan dari pendidikan formal dan media informasi dari pada pewarisan pengetahuan dari generasi yang lebih tua (Lawang 2004; Sinu et al. 1999). Hal inilah yang menyebabkan masyarakat pada kelas umur IV (55-69 tahun) memiliki pengetahuan tradisional lebih tinggi dari kelas umur sebelumnya karena masyarakat yang hidup pada sekitar tahun 1960-an tersebut masih hidup sampai saat ini. Informasi dapat menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya bahwa untuk mendapatkan pengetahuan tradisional pada masyarakat Manggarai cukup didapatkan pada masyarakat yang berumur antara 55-69 tahun.

Gambar 3.12 Perubahan tahunan (CA) tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat Hal yang sama dinyatakan oleh Vasques et al. (2013) pada masyarakat Isthmus Zapotecs di Mexico, bahwa penyebab penurunan pengetahuan etnobotani adalah perubahan mata pencaharian dan pendidikan formal. Menurunnya pengetahuan tradisional pada generasi muda juga terjadi pada wilayah lain, seperti: Baduy Banten (Suansa 2011; Hidayati 2013), Isthmus Zapotecs di Mexico (Vasques et al. 2013), Tsimane Bolivian Amazone (Garcia et al. 2013), Tibetan Nepal China (Boesi 2014). Hilangnya pengetahuan tradisional akan menyebabkan masyarakat tradisional tidak lagi mengetahui cara mengelola sumberdaya hutan secara lestari sehingga secara tidak langsung merupakan indikator degradasi hutan.

Penurunan pengetahuan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati pasti terjadi karena adanya perubahan sosial sehingga dokumentasi secara menyeluruh melalui penelitian yang komprehensif dan publikasi mutlak diperlukan. Pengetahuan tradisional yang sudah terdokumentasi semestinya menjadi mata ajaran muatan lokal pada sekolah-sekolah formal. Pendidikan semestinya berorientasi memperkuat keunikan sistem lokal. Kurikulum sekolah harus diintegrasikan dengan persoalan kehidupan nyata sehari-hari.

Hal lain yang menjadi tanggung jawab pemerintah adalah pemberian akses pemanfaatan pada masyarakat tradisional yang memiliki lembaga adat yang baik serta penguatan kelembagaan adat sehingga masih tetap berperan dalam

pengelolaan hutan secara lestari. Pihak perguruan tinggi juga memiliki tanggung jawab menyambungkan pengetahuan tradisional dengan IPTEK sehingga sebagai pembelajaran dan penelitian bersama-sama dengan masyarakat agar dapat mendokumentasikan, mempertahankan serta meningkatkan kemampuan masyarakat melalui inovasi dan pengkayaan.