• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1 Simpulan

Masyarakat Suku Manggarai mampu melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan budaya yang mendukung konservasi yang merupakan hasil dari berinteraksi dengan lingkungannya secara turun menurun. Hal ini merupakan strategi untuk mempertahankan hidupnya melalui dua hal, yaitu efisensi pemanfaatan spesies dan pengaturan ruang pemanfaatan. Strategi ini memiliki kaitan dengan kepercayaan tradisional yang masih dipatuhi.yang dapat ditemukan dalam produk budaya antara lain adalah idioms, mitos, legenda dan ritual adat. Strategi perlindungan sistem penyangga kehidupan dikaitkan dengan perlindungan hutan sekitar mata air dan tempat keramat untuk melakukan ritual kepercayaan tradisional. Strategi pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dikaitkan dengan tumbuhan sakral dan satwa ceki (totem) yang pantang untuk dirusak. Strategi pemanfaatan secara lestari diatur dengan aturan-aturan dan upacara adat yang mengikat.

Tingkat pengetahuan yang paling tinggi terdapat pada generasi tua terutama pada kelas umur 55-69 tahun karena tanggung jawab pemenuhan kebutuhan keluarga dan tugas pada lembaga adat. Tingkat pengetahuan etnobotani mengalami penurunan terutama pada generasi muda karena pengaruh perubahan sosial namun yang saat ini berperan dalam lembaga adat adalah generasi tua sehingga hutan relatif masih terjaga. Pemanfaatan tumbuhan liar secara komersial dan kurangnya peranan lembaga adat terjadi di Hutan Ruteng karena adanya penutupan akses pemanfaatan sehingga lembaga adat tidak berperan dalam pengaturan pemanfaatan tumbuhan hutan. Spesies yang paling penting secara budaya dikonservasi dengan cara memelihara anakan yang tumbuh secara alami di dalam kebun, memberikan nilai religius dan pengaturan pemanfaatan secara khusus untuk rumah adat. Spesies yang penting secara ekologi dikonservasi dengan cara memberikan sanksi adat bila melakukan penebangan pohon dan memberikan nilai religius. Spesies prioritas konservasi lokal di dalam hutan pegunungan Ruteng sebanyak 13 spesies yang disebabkan pemanfaatan secara komersial namun tidak dilakukan budidaya.

Masyarakat Suku Manggarai memiliki sistem tata guna lahan yang mendukung konservasi tumbuhan hutan dan ekosistem Pegunungan Ruteng serta memberikan kesejahteraan. Masyarakat menjaga ekologi dengan menempatkan permukiman pada wilayah rata, wilayah perbukitan untuk kebun agroforestry dan menjaga hutan pada wilayah gunung yang lebih tinggi. Pengelolaan lahan secara tradisional masih dipertahankan karena lahan komunal merupakan ikatan sosial kekerabatan dan tempat ritual tradisional yang memiliki nilai keagamaan lokal yang dipatuhi. Penutupan wilayah Hutan Todo lebih baik dibandingkan dengan Hutan Ruteng karena adanya dukungan masyarakat tradisional karena adanya manfaat ekoturisme.

Konsep integrasi kearifan lokal dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng semestinya menyentuh pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari agar masyarakat mengerti dan mendukung konservasi. Strategi pemanfaatan dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan subsisten termasuk pemenuhan kebutuhan kayu untuk pembangunan rumah adat dan rumah tinggal. Pengawetan

tumbuhan hutan berkaitan dengan fungsi ekologi ketersediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perlindungan sistem penyangga kehidupan berkaitan dengan keberadaan mata air pada setiap kampung danau dan hutan yang dikeramatkan.

6.2 Implikasi 6.2.1 Implikasi Teori

Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pengelolaan kawasan hutan seharusnya mempertimbangkan keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan. Sistem pengelolaan hutan tersebut telah berkembang dalam waktu yang lama secara turun temurun sehingga terintegrasi dengan sistem religi, sistem sosial dan kelembagaan lokal. Sistem lokal ini merupakan modal sosial budaya yang diyakini akan mampu menghentikan laju kerusakan hutan di Indonesia. Kearifan lokal yang mendukung kelestarian sumberdaya alam semestinya diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan untuk keberlanjutan pengelolaan hutan di Indonesia. Pengelolaan kawasan konservasi harus memasukkan teori ekologi manusia sebagai dasar pengelolaan kawasan mencakup pendekatan etnografi dan etnobiologi.

Penelitian mengenai integrasi kearifan lokal dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem hutan pegunungan ini masih terbatas sehingga membuka peluang bagi peneliti lain untuk mengembangkan beberapa konsep dan teori untuk membedah masalah integrasi kearifan lokal di Indonesia. Penelitian ini membuktikan bahwa masyarakat tradisional masih memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan dan ruang yang mendukung konservasi sehingga persoalan pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya didekati dengan ilmu sains modern. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini dapat dielaborasi untuk mengurangi kesulitan dalam implementasi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi saat ini dan masa mendatang.

6.2.2 Implikasi Kebijakan

Pengelolaan kawasan konservasi selama ini dilakukan secara seragam untuk semua kawasan konservasi di Indonesia namun pada kenyataannya setiap kawasan memiliki kekhasan ekosistem, kekhasan budaya dan juga kearifan lokal pada masyarakat tradisional, kecil, kompak, terspesialisasi dan turun temurun yang mendukung konservasi. Oleh karena itu pemerintah perlu membuat dan menyempurnakan aturan yang mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan konservasi dalam mengelola kawasan konservasi.

Pemerintah semestinya menerapkan pengelolaan hutan secara lestari dengan melibatkan masyarakat tradisional sebagai subyek yang berperan aktif dalam pengelolaan hutan. Keterlibatan masyarakat setempat karena adanya nilai-nilai konservasi lokal, norma-norma dan tradisi dalam pengelolaan hutan yang menjamin kelestarian sumberdaya hutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat ditujukan pada membangkitkan kembali kemandirian kampung konservasi dengan memanfaatkan sumberdaya biodiversitas setempat. Pergeseran paradigma pengelolaan hutan membutuhkan tindakan perubahan yang berani dan jujur dalam

mengambil kebijakan kehutanan nasional untuk pelaksanaan pengelolaan yang efektif dan efisien di tingkat lokal.

Jika pemerintah tetap menjalankan pengelolaan konservasi dengan menutup akses masyarakat tradisional yang memiliki kelembagaan dan kearifan lokal yang memadai untuk memanfaatkan tumbuhan hutan sesuai dengan adat/budaya lokal maka akan mustahil pengelolaan kawasan hutan akan mendapatkan dukungan masyarakat tradisional. Faktanya sampai saat ini pengelolaan berakhir dengan semakin rusaknya hutan konservasi diberbagai lokasi di Indonesia, oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma dalam konservasi hutan dengan membuat aturan mengenai pemanfaatan spesies yang memiliki kepentingan adat/budaya yang ada di dalam kawasan. Jika selama ini konservasi lebih mengutamakan perlindungan dan pengawetan dan pemanfaatan tumbuhan dan satwa untuk memenuhi kebutuhan adat/budaya terbatas pada blok/zona tradisional kawasan konservasi maka ke depan harus dirubah menjadi pemanfaatan spesies untuk kebutuhan adat/budaya dapat dilakukan pada semua blok/zona dalam kawasan konservasi secara lestari.

Pengelola kawasan perlu mendelegasikan sebagian kewenangannya dalam pengelolaan kawasan melalui mekanisme devolusi sehingga masyarakat tradisional memiliki ruang dalam ikut mengelola kawasan dengan kearifan lokal. Oleh karena itu pengelola kawasan perlu untuk segera membuat sistem blok pengelolaan kawasan termasuk didalamnya blok/zona pemanfaatan tradisional yang dapat didesentralisasikan kewenangan pengelolaannya kepada masyarakat tradisional.

Ruang pemanfaatan untuk masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya saat ini dibatasi hanya pada blok/zona pemanfaatan tradisional sehingga pada kawasan konservasi yang belum memiliki blok/zonasi pengelolaan tidak memiliki ruang pemanfaatan untuk masyarakat tradisonal maupun kearifan lokal dalam pengelolaan tradisional lahan. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk menerbitkan aturan mengenai pemanfaatan spesies pada wilayah kawasan konservasi yang belum memiliki blok/zonasi kawasan.

Pemanfaatan sumberdaya hutan secara tradisional berdampak pada kelestarian hutan sehingga aturan yang melarang pemanfaatan dan memperlakukan pengelolaan kawasan hutan sebagai pulau terisolir seperti UU no 18/2013 pasal 11 (3) dan 101 (2) perlu peninjauan ulang. Aturan yang melarang pemanfaatan oleh masyarakat di dalam dan luar kawasan hutan dengan ancaman sanksi pidana kontraproduktif dengan semangat pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Sektor kehutanan merupakan faktor pembatas (limited factor) yang secara tidak langsung menjadi faktor penentu kapasitas pembangunan sektor lainnya. Pembangunan sektor kehutanan belum didukung dengan sumberdaya manusia dengan sistem insentif dan reward memadai. Sumberdaya Manusia sektor kehutanan terutama yang bekerja pada wilayah terpencil untuk kelestarian hutan diperlukan sistem insentif yang memadai sehingga lebih berperan dalam mendorong majunya pembangunan kehutanan. Pembangunan kehutanan ke depan perlu dukungan sektor lainnya terutama sektor pertambangan sehingga dapat lebih berperan dalam memajukan sektor pembangunan lainnya yang dituangkan dalam peraturan pemerintah.

Pengaturan ruang pemanfaatan masyarakat Suku Manggarai secara tradisional sudah memperhitungkan aspek ekologi dan ekonomi. Pengaturan tersebut juga memperhitungkan sisi keadilan sosial dengan sistem pembagian lima jari serta nilai estetika. Oleh karena itu perencanaan tata ruang pemerintah

kabupaten Manggarai perlu untuk memperhatikan sisi budaya masyarakat setempat dalam melakukan sistem tata ruang.

Pengetahuan tradisional adalah aset bangsa yang berharga untuk itu diperlukan aturan perlindungan yang memadai. Aturan perlindungan pengetahuan tradisional saat ini sulit dilaksanakan karena sifat pengetahuan tradisional adalah bukan untuk perdagangan, milik komunal, turun temurun (tidak tertulis), tidak berorientasi pasar dan tidak diketahui inventornya. Oleh karena itu, diperlukan solusi hukum yang menekankan pada kebutuhan komunitas akan suatu pengakuan hak-hak kolektif atas pengetahuan kolektif yang mereka miliki.