• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

KAYU TENO

5 INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVAS

5.1. Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi 1 Kearifan Budaya yang Mendukung Konservas

5.1.5 Pengetahuan, Sikap Masyarakat dan Pengelolaan

Salah satu kegagalan konservasi adalah adanya bias pemahaman pengelola kawasan yang lebih menekankan pengelolaan pada aspek perlindungan tanpa memberikan ruang pemanfaatan oleh masyarakat tradisional. Penyebab lainnya adalah bahwa masyarakat tradisional sekitar kawasan hutan telah terpengaruh informasi dan budaya globalisasi sehingga memiliki pemahaman yang bias dalam hal konteks nilai-nilai alamiah (bio-ekologi dan kelangkaan), nilai-nilai manfaat (ekonomi) dan nilai-nilai religius (agama, keikhlasan, moral dan sosio-budaya) (Zuhud 2007). Penyelesaian permasalahan tersebut antara lain adalah mendidik dan membangun sikap dan perilaku setiap individu pro konservasi secara sistematis dan berkesinambungan melalui pendidikan formal dan informal. Sikap konservasi

masyarakat harus dibangun dan merupakan wujud dari kristalisasi “tri-stimulus amar pro-konservasi”. Sikap masyarakat yang seperti ini merupakan prasyarat terwujudnya aksi konservasi secara nyata di lapangan.

Sikap konservasi masyarakat tradisional sangat dipengaruhi oleh kebijakan pengelola kawasan konservasi. Pada wilayah Hutan Ruteng pemanfaatan untuk kayu bangunan belum diperbolehkan sekalipun untuk mencukupi kebutuhan pembangunan rumah adat (Gambar 5.1). Hal ini berdampak adanya sikap acuh dan tidak merasa memiliki hutan sehingga pemanfaatan hutan tanpa ada pengaturan. Hutan menjadi milik umum meskipun status hutan adalah hutan negara sehingga masyarakat berperilaku eksploitatif dan merusak.

Gambar 5.1 Masyarakat kampung Lerang kesulitan menyelesaikan pembangunan rumah adatnya karena larangan pengambilan kayu dari pohon yang tumbuh alami sebagai syarat pembangunan

Pemanfaatan hutan pada hutan Ruteng hanya didasarkan pada manfaat ekonomi. Aksi konservasi perlindungan masih dilakukan oleh masyarakat tradisional melalui perlindungan daerah-daerah keramat seperti hutan pong, danau, hutan sekitar mata air dan daerah keramat lainnya di dalam hutan. Aksi konservasi pengawetan dengan melindungi pohon ara (Ficus variegata), pohon ficus spp dan satwa ceki (totem). Hal ini membuktikan bahwa stimulus religius merupakan stimulus yang kuat yang mendasari masyarakat untuk melakukan konservasi tanpa mengharapkan imbalan.

Belum adanya peran dalam mengelola wisata menyebabkan masyarakat sekitar hutan Ruteng memanfaatkan hasil hutan untuk mencukupi kebutuhan uang tunai (komersial). Pemanfaatan menjadi kurang terkontrol sehingga menyebabkan kerusakan kawasan yang terbukti dengan menurunnya penutupan hutan secara tajam (decline) pada kawasan hutan Ruteng selama 20 tahun terakhir. Hal ini sesuai

dengan pendapat Zuhud (2011), bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh tidak adanya pengaturan dalam pemanfaatan hasil hutan sekalipun untuk pemanfaatan hasil hutan non kayu.

Pada wilayah Hutan Todo masyarakat tradisional memiliki akses pemanfaatan kayu untuk kebutuhan subsisten dan adat/budaya sehingga melakukan pemanfaatan yang berdampak kelestarian hutan. Pemberian kesempatan mengelola wisata menyebabkan masyarakat memiliki kesempatan mendapatkan uang tunai. Pemberian akses ke dalam kawasan konservasi memberikan sikap merasa memiliki, tanggung jawab dan konservasi sehingga menyebabkan perilaku konservasi.

Tabel 5.1 Stimulus dan aksi konservasi masyarakat tradisional Manggarai

No Stimulus Aksi Konservasi

I Alamiah

Fungsi ekologis - Pembagian tata guna lahan, yaitu: beo (kampung), roas (halaman sekitar rumah), lingko (kebun komunal), rami (hutan sekunder cadangan pertanian), puar (hutan), pong (hutan keramat), cengit (daerah keramat).

- Menanam pohon ara (Ficus variegata) di sekitar mata air.

II Manfaat

1. Sumber mata air - Melindungi hutan daerah sekitar mata air dengan sanksi adat.

- Melindungi danau 2. Manfaat tumbuhan

untuk 12 jenis pemanfaatan

- Pemanfaatan untuk subsisten

- Merawat anakan pohon teno yang tumbuh secara alami untuk digunakan dalam 5 kegunaan

- Memanfaatkan pohon worok (Dysoxylum densiflorum) yang berumur 70 tahun untuk bahan bangunan rumah adat

III Religius/Rela

1. Daerah keramat Perlindungan daerah keramat, seperti: sekitar mata air dan danau

2. Pohon-pohon keramat

Perlindungan pohon Ficus spp 3. Satwa ceki Perlindungan satwa ceki (totem)

Masyarakat tradisional memahami stimulus alamiah, manfaat dan religius/rela sehingga konservasi terwujud di wilayah pegunungan Ruteng (Tabel 5.1). Konservasi atau pengelolaan pemanfaatan berkelanjutan tumbuhan hutan terwujud karena tri stimulus amar yang dapat ditangkap dan dilakukan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Zuhud (2007) bahwa prasyarat

terwujudnya sikap masyarakat “tri stimulus amar konservasi” di lapangan, adalah:

(1) untuk masyarakat tradisional yang spesifik dan unik yang berinteraksi dengan hutan dan sumberdaya hayati setempat dalam kehidupan sehari-hari, dan sudah turun temurun dan memiliki pengetahuan tradisional sumberdaya hayati, (2) hak

akses, hal kepemilikan, hak memanen dan hak memanfaatkan sumberdaya hayati bagi masyarakat yang dimaksud pada butir (1) harus jelas; (3) harus ada keberlanjutan pengetahuan tradisional dari generasi tua ke generasi muda dan harus ada pembinaan dan penyambungan pengetahuan tradisional ke pengetahuan modern dalam masyarakat pada butir (1) (Zuhud 2007).

Perbedaan pokok antara konservasi dan kearifan lokal orang Manggarai dalam konservasi tumbuhan hutan di pegunungan Ruteng adalah bahwa program konservasi belum memberikan akses pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk adat/budaya masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan konservasi di Hutan Ruteng kurang sesuai harapan karena masyarakat tradisional belum melakukan pengaturan dalam pemanfaatan tumbuhan hutan. Belum adanya akses mengelola wisata alam pada hutan Ruteng melengkapi kegagalan konservasi karena masyarakat hanya memandang hutan Ruteng sebagai sumber pemenuhan kebutuhan uang tunai atau hanya memahami stimulus manfaat ekonomi.

Pengelolaan hutan semestinya terkait dengan budaya, kelangkaan sumberdaya dan ekonomi masyarakat hutan (Blancas et al. 2013). Bentuk pengelolaan hutan semestinya mengakomodasi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat (Kosmaryandi et al. 2012). Masyarakat mempertahankan keberadaan spesies tumbuhan karena nilai guna spesies tersebut.

Stimulus yang paling kuat untuk melakukan konservasi adalah stimulus religi, seperti: perlindungan daerah keramat, pohon ficus spp dan satwa ceki (totem). Stimulus rela karena adanya motivasi memanfaatkan spesies tumbuhan juga akan menjadi stimulus yang kuat untuk melakukan konservasi apabila ada stimulus religi seperti pada contoh kasus pemanfaatan pohon teno. Stimulus kerelaan masyarakat untuk melakukan konservasi pada masyarakat kampung Wae Rebo karena adanya manfaat pengambilan spesies tumbuhan dalam hutan dan mengelola wisata secara mandiri.