• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 ETNOBOTANI MASYARAKAT SUKU MANGGARA

12. Tumbuhan Hias dan Pagar Batas

3.3.5 Spesies prioritas konservasi lokal

Tumbuhan hutan yang memiliki prioritas tinggi untuk konservasi lokal di Pegunungan Ruteng sebanyak 13 spesies (Tabel 3.29). Spesies tumbuhan yang memiliki nilai prioritas konservasi lokal paling tinggi adalah kempo (Palaquium obovatum) yang memiliki kegunaan sebagai papan untuk bahan bangunan, buah, sayur dan kayu bakar. Spesies yang memiliki prioritas tinggi untuk konservasi di Pegunungan Ruteng terutama disebabkan oleh belum dilakukannya budidaya pada kebun milik masyarakat dan pemanfaatan komersial untuk memenuhi kebutuhan uang tunai. Spesies yang memiliki nilai ICS rendah juga memiliki nilai prioritas konservasi yang rendah karena rendahnya nilai manfaat dari spesies tumbuhan tersebut menyebabkan rendahnya frekuensi pemanfaatan sehingga mudah ditemukan di alam.

Tabel 3.29 Spesies prioritas konservasi lokal tumbuhan hutan

No Nama Ilmiah Nama Penye- Kegu- Nilai Status Nilai

Lokal baran naan ICS PKL

1 Calamus sp Nanga 3 2 2 3 10

2 Cryptocarya densiflora Wuhar 3 2 2 3 10 3 Dysoxylum

caulostachyum

Wuapuu 3 2 2 3 10

4 Dysoxylum densiflorum Worok 3 2 2 3 10

5 Dysoxylum sp Dora 3 2 2 3 10

6 Elaeocarpus floribundus Damu 3 2 2 3 10

7 Elatostachys sp Maras 3 2 2 3 10

8 Manglietia glauca Lumu 3 2 2 3 10

9 Palaquium obovatum Kempo 3 2 3 3 11

10 Planchonella firma Natu 3 2 2 3 10

11 Planchonia valida Ngancar 3 2 2 3 10 12 Podocarpus imbricatus Ruu 3 2 2 3 10 13 Podocarpus neriifolius Ruas 3 2 2 3 10

Keterangan: ICS = Index Cultural Significance; PKL = Prioritas Konservasi Lokal

Spesies yang memiliki nilai ICS tinggi namun tidak tergolong dalam prioritas tinggi contohnya adalah pohon teno (Melochia umbellata) dan ajang (Toona sureni) karena walaupun memiliki nilai kegunaan untuk kayu bangunan namun masyarakat membudidayakannya pada kebun milik masyarakat sehingga kedua spesies pohon tersebut mudah ditemukan. Pohon ara (Ficus variegata) meskipun belum dibudidayakan namun karena tidak dimanfaatkan sebagai kayu bangunan maka pohon tersebut masih mudah ditemukan dalam kebun atau hutan sehingga belum menjadi prioritas konservasi.

Dari 13 spesies konservasi tersebut yang memiliki habitus bukan pohon adalah nanga (Calamus sp). Nanga merupakan sejenis rotan yang digunakan untuk kerajinan seperti keranjang, dan tidak dipergunakan untuk tali pengikat karena diameter batang liananya yang cukup besar. Spesies rotan lainnya yang ada di Pegunungan Ruteng adalah wua (Calamus heteracanthus) yang memiliki batang liana lebih kecil sehingga digunakan sebagai tali pengikat terutama pada rumah adat dan masih mudah ditemukan di dalam hutan Pegunungan Ruteng.

3.4 Simpulan

Masyarakat Suku Manggarai memanfaatkan tumbuhan hutan secara lestari dengan cara pemanfaatan yang beragam. Masyarakat memanfaatkan lebih dari 60% dari seluruh tumbuhan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama pangan dan kesehatan. Pemanfaatan beragam menyebabkan tekanan terhadap hutan tidak bertumpu pada spesies dan habitat tertentu sehingga tidak berdampak negatif pada kelestarian hutan.

Tingkat pengetahuan yang paling tinggi terdapat pada generasi tua terutama pada kelas umur 55-69 tahun karena tanggung jawab pemenuhan kebutuhan keluarga dan tugas pada lembaga adat. Tingkat pengetahuan etnobotani mengalami penurunan terutama pada generasi muda karena pengaruh perubahan sosial namun yang saat ini berperan dalam lembaga adat adalah generasi tua sehingga hutan relatif masih terjaga. Pemanfaatan tumbuhan liar secara komersial dan kurangnya peranan lembaga adat terjadi di Hutan Ruteng karena adanya penutupan akses pemanfaatan sehingga lembaga adat tidak berperan dalam pengaturan pemanfaatan tumbuhan hutan.

Spesies yang paling penting secara budaya dikonservasi dengan cara memelihara anakan yang tumbuh secara alami di dalam kebun, memberikan nilai religius dan pengaturan pemanfaatan secara khusus untuk rumah adat. Spesies yang penting secara ekologi dikonservasi dengan cara memberikan sanksi adat bila melakukan penebangan pohon dan memberikan nilai religius. Spesies prioritas konservasi lokal di dalam hutan pegunungan Ruteng sebanyak 13 spesies yang disebabkan pemanfaatan secara komersial namun tidak dilakukan budidaya.

4

ETNOEKOLOGI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

4.1 Pendahuluan

Masyarakat tradisional di Indonesia memiliki peran dalam konservasi melalui pengelolaan tradisional lahan turun temurun. Pola kehidupan tersebut bersumber dari nilai budaya, religi dan adat istiadat yang membentuk nilai-nilai kearifan lokal, salah satunya adalah kearifan lokal dalam pengelolaan lahan. Pengalaman selama ratusan tahun memberikan gagasan yang unik dan spesifik mengenai hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lingkungannya.

Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat tradisional dipercayai dan dinilai oleh sebagian ilmuwan, sebagai sistem yang paling sesuai untuk pemanfaatan berkelanjutan karena masyarakat tradisional lebih memahami kondisi lingkungannya (Chapagain et al. 2009; Zent 2009; Ballard et al. 2008) dan berdasarkan gaya hidup yang memiliki nilai-nilai keagamaan lokal (Zent 2009).

Keanekaragaman hayati yang tinggi pada suatu ekosistem hutan pada saat ini merupakan hasil interaksi antara masyarakat tradisional dengan hutan pada masa lalu (Conte 2010; Burgi et al. 2013). Pengelolaan sebuah kawasan konservasi harus menekankan pada aspek budaya yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati (Muhumuza dan Balkwill 2013). Penekanan pengelolaan pada aspek budaya

masyarakat akan mendapatkan keuntungan berupa manfaat yang tinggi dalam hal mendukung kemandirian hidup masyarakat tradisional dan kelestarian hutan.

Pengelolaan hutan berbasis ekosistem merupakan pendekatan adaptif yang menyelaraskan koeksistensi ekosistem sehat yang memenuhi aktivitas manusia dan memelihara karakteristik spasial temporal ekosistem sehingga jenis dan proses ekologi lestari (Price et al. 2009). Kearifan lokal merupakan keunggulan budaya lokal berkaitan dengan kondisi geografis tempat hidup masyarakat tradisional. Kearifan lokal konservasi tumbuhan hutan bersumber dari pengalaman hidup warisan nenek moyang dalam interaksi yang selaras dengan lingkungan secara turun temurun. Pengintegrasian pengetahuan tradisional dalam pengelolaan hutan membantu menginterpretasikan dan respon umpan balik dari lingkungan (Berkes et al. 2000; Turner et al. 2000; Pei 2013).

Konsepsi ekologi masyarakat yang terbangun dan terbentuk dalam kehidupan keseharian masyarakat tradisional tersebut melalui proses adaptasi turun temurun serta melalui isu dan mitos karena masyarakat tidak dapat menjelaskan suatu fenomena lingkungan alam secara logis. Namun demikian, pengelolaan kawasan semestinya menjamin kepentingan masyarakat tradisional untuk saat ini dan masa mendatang melalui program pengelolaan hutan yang selaras dengan kepentingan masyarakat tradisional (Anderson dan Putz 2002; Ruheza et al. 2013). Setiap upaya konservasi hutan tanpa mengakomodasi kepentingan masyarakat tradisional dalam jangka panjang akan kurang berhasil sehingga disamping perlindungan yang ketat terhadap hutan, diperlukan sebuah konsep terpadu antara konservasi hutan dan pengelolaan lahan tradisional berkelanjutan.

Salah satu ketidakberhasilan upaya konservasi ditandai oleh meningkatnya degradasi hutan. Salah satu penyebab adanya degradasi hutan adalah hilangnya atau merosotnya hubungan atau interaksi antara masyarakat tradisional yang memiliki budaya mengenai lingkungan yang spesifik dengan lingkungannya (Pei et al. 2009) dan pengelolaan lahan yang sesuai strategi konservasi (Msuya dan Kidegheso 2009). Salah satu contoh merosotnya relasi antara masyarakat tradisional dengan lingkungan juga bisa dilihat di komunitas tradisional Manggarai. Pengetahuan tradisional di Manggarai mengalami penurunan terutama pada generasi muda. Penurunan pengetahuan tradisional menjadi indikator degradasi hutan karena adanya penurunan pengetahuan mengenai cara mengelola lahan secara berkelanjutan sehingga diperlukan sebuah penelitian yang mendokumentasikan kearifan lokal tersebut untuk dapat diintegrasikan dalam konservasi.

Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan rekomendasi kebijakan pelestarian ekosistem hutan pegunungan dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat tradisional yang ada di sekitar hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan.

4.2 Metode

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2014 pada wilayah Pegunungan Ruteng. Jarak ketiga kampung tersebut dari kota Ruteng, yaitu kampung Mano sejauh 10 km, kampung Lerang 20 km, dan Wae Rebo sejauh 60 km. Pada pegunungan Ruteng terdapat 70 desa sekitar Hutan

Ruteng dan 22 desa sekitar Hutan Todo. Lokasi penelitian meliputi tiga kampung, dua kampung terletak di Pegunungan Ruteng dan satu kampung lainnya di sebelah selatan Pegunungan Ruteng pada wilayah terisolir di Hutan Todo sebagai data pembanding (Gambar 2.1).

Kampung Wae Rebo merupakan wilayah terisolasi di dalam enclave Hutan Todo sebagai patokan sebuah kampung yang mengindikasikan kondisi penutupan hutan yang baik yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Pada wilayah hutan Todo masyarakat diberikan akses untuk memanfaatkan kayu untuk pembangunan rumah adat dan mengelola ekowisata sedangkan pada Hutan Ruteng tidak diberikan ijin. Pertimbangan lain pemilihan ketiga sampel adalah kesamaan suku, budaya dan bahasa (Verheijen 1991) dan kesamaan ekosistem hutan pegunungan (Trainor dan Lesmana 2000).

Pengambilan data penelitian berupa data etnografi yang mengungkap sembilan hal, yaitu lokasi lingkungan alam dan demografi, asal mula dan sejarah suku bangsa, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian dan sistem teknologi (Kontjaraningrat 2002) melalui observasi partisipatif, wawancara terbuka dan studi pustaka. Wawancara menggunakan wawancara terbuka dengan menetapkan beberapa informan berdasarkan status dan perannya dalam masyarakat berdasarkan kecukupan informasi dengan cara purposive dan snowball (Sugiyono 2010).

Penentuan informan secara sengaja (purposive) berdasarkan petunjuk awal seseorang informan yang selanjutnya merekomendasikan informan lainnya (Pendekatan Snowball). Tujuan dilakukan wawancara terbuka adalah untuk mendapatkan data etnografi. Wawancara terbuka dengan penduduk desa melibatkan 3 orang kepala kampung (tua golo) dan 3 orang penduduk desa yang sering mengambil hasil hutan. Informan pada setiap kampung berjumlah 5 orang yang terdiri dari tua golo, pemimpin kampung yang bertugas membagi lahan (tua teno) dan 3 orang masyarakat yang biasa mengambil hasil hutan. Interview dilakukan di tempat terbuka seperti di halaman rumah, kebun, hutan dan di pinggir danau supaya informan merasa bebas untuk menyampaikan informasi.

Selain wawancara dengan penduduk desa, juga dengan 2 orang pemimpin LSM Yayasan Pembangunan Tani dan Sanggar Lawe Lenggong yang juga bekerja di bidang konservasi dan budaya serta 2 orang pejabat pemerintah daerah yang mengerti mengenai konservasi. Validitas pengukuran data melalui pemahaman masyarakat tentang kearifan lokal dengan triangulasi, yaitu membandingkan hasil wawancara dengan informan dan observasi partisipatif.

Peralatan untuk penelitian adalah peralatan survei seperti: peta wilayah kerja, alat perekam, GPS (Global Positioning System), kamera digital dan kuesener pengambilan data. Pemetaan lahan menurut masyarakat (mental map), peta kawasan hutan, kontur, sungai dan software ArcGis 10.1. Pemetaan pengelolaan lahan menurut masyarakat (mental map) dengan pengambilan koordinat geografis menggunakan GPS melalui pengecekan kondisi lapangan. Gambaran pengelolan lahan masyarakat merupakan hasil dari wawancara, pemetaan dengan koordinat geografis sehingga memberikan gambaran pembagian dan pemanfaatan lahan masyarakat secara detil.

Analisis penutupan lahan hutan menggunakan citra landsat TM Image LT5113066199332 untuk tahun 1993, LT5113066200330 untuk tahun 2003 dan

7.1 dan pengecekan lapangan. Untuk peta kawasan hutan menggunakan data peta administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 dan peta menurut peraturan Menteri Kehutanan nomor: SK.3.911/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 14 Mei 2014 tentang kawasan hutan dan konservasi perairan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Untuk melihat kesamaan komunitas tumbuhan antar kampung sampel digunakan indeks kesamaan komunitas (index of similarity) Sorensen yang dimodifikasi oleh Bray dan Curtis 1957 (Magurran, 1988), yaitu:

Dimana:

IS = Kesamaan komunitas

W = Jumlah spesies yang muncul di dalam plot kajian a = Jumlah spesies di plot kajian a

b = Jumlah spesies di plot kajian b

Untuk mengetahui kemerataan individu spesies tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat di TWA Ruteng digunakan indeks kemerataan (Evennes) (Magurran, 1988), yaitu:

Dimana:

H' = Indeks keanekaragaman Shanon S = Jumlah spesies

Penghitungan ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan menggunakan rumus Shanon – Wiener Index (Krebs, 1978), yaitu:

Keterangan: H' = Indeks keanekaragaman Shanon; ni = Jumlah individu spesies ke i; N = Jumlah total individu untuk seluruh spesies tumbuhan

Bila H' = 0 maka hanya terdapat satu jenis dalam satu komunitas dan H' maksimum jika kelimpahan jenis-jenis penyusun terdistribusi secara sempurna (Ludwig dan Reynolds 1988).

4.3 Hasil dan Pembahasan